Jumat, 01 Mei 2015

Anak dan Apresiasi

Di luar hujan deras. Di dalam Djendelo Cafe, tiga perokok sedang ngobrol gayeng. Yang pertama Sheny Wardhani, area manager TB Togamas (toko buku, bukan toko besi). Dua yang lain adalah para papah keren. Ada Mas Arif Doelz, pakar ilmu pertokobukuan, cum pengamat Kejawen. Yang satunya lagi kalian tau siapa dia.

Ini bukan obrolan tentang perniagaan buku, tapinya. Kami sedang mendengar curcolan pilu dari Mas Arief.

Ceritanya, anak laki-laki Mas Arief dulu sekolah di sebuah SD bagus. Dan.. mahal. Haha. Di sana, selain berprestasi secara akademis, Doelz Junior juga ngawu-awu sebagai bintang lapangan. Dia jagoan basket, dan termasuk seleb basket untuk kalangan sebayanya di Jogja. Nah, pada masa-masa itu, Doelz Jr. begitu bersemangat sekolah. Selalu hepi, dan tentu saja ngeksis. Lingkungan di sekolahnya memberikan penghargaan sosial yang tinggi pada dia atas bakat main basketnya.

Lulus dari SD, Doelz Jr. masuk ke salah satu SMP negeri favorit di Jogja. Dan yang namanya sekolah favorit negeri pastilah jadi tempat bertemu para jagoan dari banyak SD. Di situlah Doelz Jr. menjumpai realitas hidup yang berbeda, dan realitas iklim pendidikan yang juga berbeda.

Anak itu sekarang nggak lagi hepi pergi ke sekolah. Semua mata pelajaran sih lancar-lancar saja dia ikuti. Tapinya, kali ini dia nggak lagi duduk di ranking puncak. Maklum, teman-temannya sekarang toh juga para jawara dari SD masing-masing. Sementara, di SMP negeri paporit ini, prestasi basketnya nggak cukup bikin dia ngeksis. Mau segesit apa pun dia men-dribble bola, mau sedahsyat apa pun dia bikin slam dunk, standar final penghargaan sosial di sekolahnya (dari guru, dan akhirnya juga dari teman-teman) adalah satu hal saja: prestasi akademis. Rapot. Nilai untuk pelajaran-pelajaran “penting”.

Akibatnya ya itu tadi. Doelz Jr. agaknya merasa kehilangan keindahan masa-masa SD-nya. Semangat bocah itu untuk ke sekolah pun jadi merosot drastis. Demikianlah.

Kisah sendu Mas Arif Doelz itu ternyata nyambung juga dengan apa yang saya amati dari Hayun, anak wedok saya.

Kemarin-kemarin, sebelum pulang ke Jogja, saya sering ngaplod foto-foto gambar bikinan Hayun. Dia memang gila nggambar waktu itu. Nyaris tak ada hari tanpa menggambar. Tiap kali dia kepingin ngasih hadiah ke seseorang pun, yang dia bikinkan adalah gambar-gambar.

Tapi semua berubah setelah sampai di Jogja. Hayun jadi males-malesan nggambar. Kalau toh nggambar, jauh dari maksimal. Dan satu perubahan yang tak kalah penting: dia klengkat-klengkot, tampak lesu dan malas masuk kelas. Kami bingung, ini kenapa?

Selama beberapa bulan ini, Hayun memang kami sekolahkan lagi di sekolah lamanya, yang dulu pernah ia masuki sebelum Ngostrali. Sekolah ini berbasis Islam. Mungkin itu kata kuncinya. Setelah kami amati agak detail, juga dengan “mewawancarai” Hayun sendiri, tampaknya kegiatan kerajinan tangan di kelasnya mendapat porsi yang jauh di bawah porsi yang didapat Hayun waktu sekolah di Perth. Ini sebenarnya wajar juga sih. Sebagai sekolah Islam, ada menu-menu khusus. Berlatih membaca Iqro’, belajar ini-itu yang terkait keislaman, doa-doa harian, dan tak ketinggalan hafalan surah-surah pendek Alquran.

Khusus hafalan surah ini saya pribadi merasa agak gimanaaa gitu. Anak 5 tahun dikasih tugas hafalan Al-Zalzalah menurut saya sih terlalu berat. Dulu saya ngapalin surah itu baru di kelas 1 SMP.

Poinnya, kasus Hayun agak sama dengan kasus anaknya Mas Arif Doelz. Sepintar apa pun Hayun menggambar, ukuran eksistensial seorang murid di sekolahnya yang sekarang adalah ketika dia hafal surah-surah, doa-doa, dan sholat 5 waktu lengkap. Secara bukti fisik, ini pun sudah kelihatan. Di ruang kelas Hayun nggak ada tempel-tempelan gambar karya anak-anak, misalnya. Yang ada di situ adalah celengan “koin penghargaan” bagi yang sudah hafal surah-surah pendek tertentu.

Harus saya jelaskan secara letterlijk dan super-verbal di sini, bahwa dengan gambaran ini saya TIDAK sedang menjelekkan sistem pendidikan Islam, sambil memuja sistem sekolah di Ostrali. Saya tahu, banyak orang di Fesbuk yang belum punya cukup pengalaman membaca, dan tiba-tiba ketika mulai belajar membaca mereka jatuh ke pelukan fimadani.news dan sebagainya. Jadilah sewaktu terbentur tulisan-tulisan yang tidak berformat pointers ala tulisan saya ini, mereka meleset pengertian alias gagalpaham. Saya capek sama jenis-jenis manusia begituan. Haha.

Jadi ya yang begini lagi-lagi mesti saya tegaskan: saya tidak sedang menjelekkan sistem pendidikan Islami. Saya cuma sedang menggambarkan contoh-contoh nyata, bahwa banyak bakat anak di lapangan pendidikan yang terkikis bahkan lenyap, cuma karena iklim di sekolahnya kurang apresiatif.

Pertanyaannya, apa solusi atas semua itu? Khilafah? Tunggu, tunggu. Sebelum masuk ke sana, bisakah orangtua atau lingkungan di rumah (kakak, om, tante) memberikan ruang apresiasi yang layak pada minat dan bakat anak-anak? Kalau toh bisa, apa ya itu cukup untuk membentuk kepercayaan diri anak, agar anak bisa tetap gembira di sekolah, dan kembali “menemukan dirinya”?

Dalam upaya eksplorasi masalah dan mencari solusi, Kamis sore kemarin, di tengah perjalanan pulang dari njemput Hayun, saya bertanya padanya. “Ndhuk, kamu kok kayak nggak hepi di sekolah je? Kenapa? Kalau emang males, capek, atau kamu nggak suka, boleh kok sesekali nggak masuk.”

Ternyata Hayun semangat banget dengan tawaran dari bapaknya. Dia minta hari Jumatnya bolos. Dan memang kemudian dia bolos. Nah, beneran, seharian selama Hayun bolos sekolah itu, muncullah lagi tangan-tangan usilnya. Siangnya, sehabis bapaknya Jumatan, dia sudah memamerkan boks “tivi dan remote” bikinan dia, juga “layangan gambar frozen”. Haha. Nggak sebagus bikinan dia yang dulu-dulu memang, tapi sepertinya Hayun mulai “pulih”.

Silakan mengambil kesimpulan sendiri.

Oiya. Sebenarnya Mbak Sheny juga punya cerita menarik. Tentang SMA-nya. Di sana, sehebat apa pun seorang anak dengan rapotnya, ia tetap nggak ada “ambu-ambunya” di depan para pelajar yang berprestasi dalam bidang olahraga dan kesenian. Tapi itu saya ceritakan kapan-kapan saja. Sekarang sudah malam. Mari kita tidur.

Sumber: Berisik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...