Tampilkan postingan dengan label Salihara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Salihara. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Januari 2016

Polemik Sastra, Makian, Sampai Pemidanaan

Polemik sastra mengenai buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, ternyata belum tunai juga. Meskipun kita tak tahu bagaimana sebuah polemik biasa diakhiri. Akan tetapi ritus saling berbantah tersebut, berawal dari tidak sepakatnya para sastrawan terkait pelibatan Denny J.A. Permasalahan berujung pada Fatin Hamama yang dianggap sebagai pekerja seni penghubung antara Denny J.A dengan dunia puisi. Antiklimaksnya Fatin mengadu pada kepolisian atas pecemaran nama baik yang dilakukan oleh Saut Situmorang. Fatin tak terima karena merasa telah ditimpa makian oleh Saut Situmorang.

Kamis, 15 Oktober 2015

“Yang Terpanggil Tanah Air”: Praktik Politik-Seni di Indonesia Masa Kini

DALAM esai bertajuk “The Island that Literature Forgot”, Wayan Sunarta menjelaskan secara singkat babakan-babakan dalam sastra Indonesia, mulai dari Pujangga Lama, Generasi 1945, Generasi 1960-an, novel-novel Romantis di tahun 1980-an, Generasi Reformasi dengan Wiji Thukul sebagai salah seorang pelaku, Angkatan 2000, Sastra Cyber, Sastrawangi, dan Perang Sastra boemipoetra vs TUK/Salihara. Setelah membabar secara singkat babakan sastra Indonesia sejak era Pujangga Lama hingga Perang Sastra boemipoetra vs TUK/Salihara, Sunarta kemudian membabar tentang politik sastra yang dimainkan oleh Goenawan Mohamad dan para pengkritiknya dalam Frankfurt Book Fair (FBF). Tulisan Sunarta itu tampaknya lahir sebagai kritik terhadap acara FBF yang menampilkan Indonesia sebagai tamu kehormatan.

Rabu, 10 Desember 2014

“Salihara dan Freedom Institute itu Lembaga Sampah!”

Kabar yang sangat menggembirakan kembali datang secara beruntun dari dunia melawan lupa, setidaknya dalam dua tahun belakangan ini. Tahun 2012 yang lalu, kabar gembira itu datang melalui film dokumenter karya Joshua Oppenheimer “The Act of Killing/Jagal” yang fenomenal itu. Film yang bercerita tentang pengakuan para pelaku pembantaian—dalam peristiwa pembantaian massal PKI, afiliasinya serta orang-orang yang dekat dengan mereka— itu memutar balikkan pengetahuan yang dimiliki publik selama ini mengenai peristiwa pembantaian pasca G30S 1965. Banyak yang terheran-heran, mengerenyitkan dahi, sedih, marah, sekaligus tercerahkan: ada fakta lain yang selama ini disembunyikan dan dilanggenggkan buku-buku sejarah resmi (baca: versi dan masih legacy Orde Baru). Film The Act of Killing/Jagal pun menjadi penanda dalam aras kebudayaan dimana monopoli sejarah Orde Baru mengenai peristiwa pembantaian dalam kurun waktu 1965-1966 itu kini berada diambang kehancuran.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...