Terkait makian, saya jadi teringat dengan kesaksian Sutan Muhammad Amin Nasution. Dia pernah memperkuat asumsi kita mengenai tak ada satupun pidato Soekarno yang sunyi dari kata-kata makian. Di mana pun Soekarno berpidato, kerap terlontar makian berupa ‘Penjeleweng’, ‘pengchianat’, ‘anti-revolusioner’, ‘reactioner’, ‘ganjang’, dan sebagainya. Makian-makin berhamburan jika dia mengetahui ada yang tidak sepakat dan ingin makar.
Namun kita akan salah jika mengatakan Soekarno lantang menebar makian tersebut tanpa dasar yang jelas. Masa kecilnya kala masih belajar di negeri Belanda penuh dengan caci maki. Berkali-kali Soekarno mendapatkan makian ‘inlander’, ‘anak kulit coklat yang goblok’, ‘bumiputera’, dan lain-lain. Itu sebabnya ia sering berkelahi dengan anak-anak Belanda karena merasa direndahkan.
Maka ada dua hal yang membuat masa tua Soekarno penuh dengan muntahan caci maki. Pertama mengenai rasisme yang dihantamkan pada dirinya. Sedangkan yang kedua karena Belanda sangat berkuasa.
Lantas bagaimana dengan polemik dalam dunia sastra kita selama ini, apakah tanpa dibumbui makian?
Silahkan menyisir tiap helai perdebatan kebudayaan yang dibukukan dalam ‘Prahara Budaya’ terbitan Mizan, kilas balik peristiwa kebudayaan era 65. Jika tak anda temukan jejak berisi makian, maka mungkin saya tak bisa lagi dipercaya. Sudahi saja membaca tulisan ini. Tapi bukan hanya saya, jangan percaya juga pada Asrul Sani. Sebab dia yang menyatakan bahwa perdebatan antara Lekra dan Manikebu itu bukan lagi perdebatan level budaya, melainkan sudah merupakan teror mental.
Sebelumnya ada polemik kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana, R. Sutomo, Sanusi Pane, dan sebagainya. Secara terpencar terisi makian berupa , ‘mata duitan’, ‘rakus’, ‘berwajah cantik tetapi berhati busuk’, ‘kolot’, dan sebagainya. Polemik Kebudayaan 1935 tersebut berisi perbincangan antara Faust atau Arjuna, modern atau tradisional, dan pilih barat atau karifan negeri sendiri.
Ada pula polemik ‘sastra daerah’ versus ‘sastra dunia’ yang disulut oleh Ajip Rosyidi kala era 50an. Lalu Lekra versus manikebu 1960 antara politik sebagai panglima atau estetika seni. Ada pula perdebatan panjang sastra kiri atau sastra kontekstual antara Arief Budiman, Afrizal Malna, Abdul Hadi WM, Korrie Layun Rampan, dan sebagainya. Rata-rata makian dibutuhkan untuk menunjukkan penekanan pada keinginan agar pembaca mendalami, ketidaksengajaan, kebiasaan, kritik terbuka, kultur majemuk Indonesia, dan sebagainya.
Barangkali anda akan seperti saya memikirkan, mengapa tak muncul kriminalisasi di seluruh era itu? Mungkin karena tak ada akses internet. Jika hal itu menjadi asumsi mutlak, maka ada pula perdebatan kesusastraan kekinian yang muncul dari ruang cyber kita. Salah satunya yang dimunculkan Linda Christanty dalam status Facebooknya.
Dua tahun yang lalu Linda Christanty membahas karya AS Laksana ‘Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu’. Kala itu Linda menganggap karya itu sebagai benteng terakhir sastra Indonesia bermutu. Namun tidak memenangkan Khatulistiwa Literary Award (KLA) untuk kategori prosa. Lalu dengan tajam Linda berpendapat, “Para jurinya sama sekali ‘tidak bermutu’. Pilihan mereka untuk kategori prosa menunjukkan ‘rendahnya selera’ mereka terhadap sastra, ‘lemahnya pengetahuan’ mereka, dan ‘kurangnya wawasan’ mereka.”
Damhuri Muhammad, salah satu juri KLA tak terima dengan makian Linda. Lantas Damhuri mengajak Linda bertemu di satu forum. Dia menantang membahas karya sastra jenis apapun sembari berdebat habis-habisan. Namun Linda menolak tawaran itu, dia justru meminta para juri memberikan alasan mengapa karya AS Laksana tak menang. Dalam comment Facebook itu berjajar makian lain dari mereka yang berinteraksi ada yang melontarkan kata ‘bodoh’, ‘cengeng’, ‘Asu’, dan sebagainya.
Terkait masalah KLA, Saut juga tak diam. Dia menolak buku puisinya ‘Biografi’ terbitan [sic] 2007 dimasukkan dalam Long-list Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2008. "Sebagai salah satu 10 besar kategori Puisi, dengan ini saya nyatakan menolak pengikutsertaan buku saya tersebut." Sejak awal Saut Situmorang menganggap keberadaan KLA tidak layak dan tidak representatif bagi kesusasteraan Indonesia. Alasannya karena dasar dan sistem penilaian karya tidak pernah jelas, inkonsisten, improvisasi, dan tidak profesional. Bagi Saut Situmorang, pemenang KLA setiap tahun sesungguhnya memang telah disetting dengan serius.
Siapalah Saut Situmorang ini, mengapa dia menanggapi polemik macam apapun yang mengalir di dunia sastra kita? Seakan dia bersikukuh ingin menjadi penjaga bagi lalu lintas kesusastraan Indonesia. Dia tak haus kuasa dan selalu tak terima jika arah sastra kita dipolitisasi oleh lingkar elite tertentu.
Terkait polemik Salihara versus boemipoetra, dalam suatu waktu saya pernah bertanya dengan sangat hati-hati pada Goenawan Mohamad. Pertanyaan saya seputar bagaimana dia menanggapi kritik sastra boemipoetra yang tak henti mengulas dirinya dan Salihara. Dia bilang kritik itu perlu dan bagus, ada bagian yang ia baca sedangkan sebagian lain ia abaikan karena tercecer makian. Tapi dia menegaskan bahwa dirinya juga banyak belajar dari kritik yang dilontarkan boemipoetra. Kemudian dia mengingatkan sosial media sangat rawan konflik jika dijadikan medan dialog.
Pemidanaan Polemik Sastra
Kembali lagi, siapalah Saut Situmorang ini. Tak gentar dia mengumbar perdebatan tak kunjung usai dengan kubu tim 8, Fatin Hamama, dan Denny J.A. Perdebatan silih berganti dengan pembahasan yang semakin dalam mengenai siapa perantara Denny J.A. Bergeser pada buku lainnya terkait antologi puisi esai 23 penyair. Memang benar pada akhirnya puisi esai dari 23 penyair tersebut mengukuhkan dan membuat nama Denny J.A. melesat. Tentu bukan di dunia sastra akan tetapi di ruang cyber.Di kesempatan itu terkaitkan permasalahan Fatin Hamama terhadap proyek puisi esai yaitu buku puisi esai 23 penyair. Antologi tersebut dieditori Fatin Hamama. Ahmadun Yosi Herfanda merupakan salah satu penyair, ia ditawari oleh Denny J.A. melalui Fatin Hamama untuk menulis puisi esai. Awalnya Ahmadun tak sepakat karena itu model pelacuran, tapi Fatin terus merajuk dan memintanya. Akhirnya Ahmadun mau melacurkan diri dengan setiap puisi esai bikinannya dibandrol harga 10 juta. Menurut pengakuan Fatin Hamama, 22 penyair lainnya dibayar senilai 3 juta, kecuali Ahmadun. Akhirnya beberapa hari menjelang naik cetak Ahmadun Yosi Erfanda, Chavcay Saifullah, Kurnia Effendi, dan Sihar Ramses Simatupang merasa diperalat.
Maksud Ahmadun sebagai pelacuran ialah proses menjual karya hanya didasari hasrat mendapat uang melimpah. Jika dianalogikan, serupa dengan perlakuan egosentris menggadaikan proses kreatif atas pencapaian karyanya. Atau dengan bahasa Saut Situmorang, kata ‘pelacur’ berubah menjadi ‘lonte’. Tapi saya bisa saja salah karena hanya menampilkan remahannya di sini, tak menyeluruh pada apa konteks pembahasannya.
Sedangkan dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, perlahan bermunculan berbagai permasalahan ke permukaan. Hanafi menyebut tim 8 telah mengambil tanpa izin lukisannya yang berjudul, 'Dalam Genangan' untuk sampul buku terbitan KPG tersebut. Sedangkan Jamal D Rahman menuntut agar 5 esai yang sudah ditulisnya segera dicabut dari buku itu. Beberapa esai tersebut yakni tentang Marah Rusli, Muhammad Yamin, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Achdiat Karta Mihardja. Jamal D Rahman juga akan mengembalikan honorarium yang dia terima sebesar 25 juta.
Dari Jamal D. Rahman pula muncul pernyataan Ariany Isnamurti, Kepala Pelaksana PDS HB Jassin. Menurut Ariany PDS H.B. Jassin tidak terlibat sama sekali dengan proses penyusunan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Entah itu dalam hal keberadaan tim penyusun yang sering disebut tim 8, pemilihan 33 sastrawan yang dimaksud dalam buku tersebut, maupun penentuan judul dan ungkapan persembahan berbunyi: Diterbitkan untuk PDS H.B. Jassin.
Polemik terjerumus dalam antiklimaks ketika Saut Situmorang mulai menyelipkan makian-makian khas dalam argumennya. Fatin Hamama tak terima dikatain ‘lonte’ dan ‘bajingan’. Kemudian ia melaporkan Saut karena dia klaim telah melakukan perusakan nama baiknya. Fatin menyamakan tingkah Saut dengan Pasal 27 ayat (1) dan (3) dalam UU ITE.
Apakah dalam tulisan ini selanjutnya akan mencari tau siapa yang paling baik di antara keduanya? Tentu tidak, sebab saya tak mau memunculkan bias baru.
Jum’at pagi, 27 Maret 2015 terjadi penjemputan paksa Saut Situmorang di rumahnya oleh tiga petugas dari Polres Jakarta Timur. Ini semua karena Saut Situmorang tak bisa diam. Dia tak mungkin membiarkan proyek pembodohan melenggang riang berjalan di depannya. Maka dengan tegas dia menolak 33 Sastrawan yang dibaptis dalam buku itu, menjadi kanon sastra. Siapa yang bakal membiarkan institusi-institusi kekuasaan mengkooptasi dan membiaskan laju kesusastraan di Indonesia. Apalagi politik kanonisasi akan menimbun ingatan bawah sadar generasi penerus kita melalui kurikulum pendidikan.
Barangkali ada kesamaan antara menyelesaikan sengketa pers melalui undang-undang pers dengan menyelesaikannya melalui kepolisian. Jika terjadi pemukulan maka sebaiknya masuk kriminalisasi tindak pidana. Jika tidak maka konsekuensinya tetap diatur dalam penyelesaian sengketa ala pers. Lantas bagaimana jika hal itu terjadi di dunia sastra kita? Sederhana sekali, penyelesaian hanya bisa dilakukan melalui mediasi. Itu saja.
Akan tetapi Fatin gegabah. Satrio terlanjur mempersenjatainya dengan dasar-dasar pengaduan UU ITE. Sedangkan Denny J.A. mendukungnya untuk melaporkan pada kepolisian sebagai tindak pidana pencemaran nama baik.
Barangkali kita benar jika mengatakan, menggeser perdebatan sastra kita pada ruang kriminal adalah modus pelemahan yang paling kekanak-kanakan. Saut akan kehilangan stamina, proses produksi karya, yang paling penting waktu senggang. UU ITE bukanlah perangkat dialektika dalam memperkuat sendi kesusastraan kita. Justru malah aparatus keamanan sastra yang diutus Fatin Hamama, mirip dengan tentara pretoria yang siap mecakup lawan bicaranya. Tidak hanya itu, potensi terbesar bagi pretoria ialah menjaga citra tuannya.
Penghakiman sepihak lewat otoritas aparatus hukum justru akan membentuk kemacetan dialog.
Sekilas saja, mengapa Denny J.A.
Lalu apa yang membuat tim 8 menyelipkan nama Denny J.A., mari kita telusuri. Setelah perdebatan menjadi semakin licin, pledoi dari Ahmad Gaus, salah satu tim 8 muncul. Isinya berupa pandangannya mengenai Denny J.A. memang dianggap paling fenomenal. Denny J.A. merupakan penyair baru namun karya puisinya dibaca begitu banyak orang. Satu tahun pasca penerbitan buku puisi esainya yang berjudul, ‘Atas Nama Cinta’ dipublikasikan di web puisi-esai.com. Lantas puisi itu dibaca (di-hit) hampir 8 juta orang. Gaus juga membandingkannya dengan kalangan selebriti, yang mampu membuat penikmat internet membuka websitenya hanya Agnes Monica.Bagaimana jumlah hit netizen tak sampai segitu jika melalui website tersebut, Yayasan Denny J.A. juga mengadakan lomba foto esai dan foto tunggal? Ada 5 tingkatan pemenang yang mendapatkan antara 5 sampai 15 juta. Banyak sekali perlombaan lain dan terakhir pada tahun 2014, setiap orang memperebutkan hadiah dari lomba puisi esai sebesar 50 juta.
Ahmad Gaus juga menyindir para penyair yang menerbitkan buku puisinya 1000 eksemplar tapi lebih dari 20 tahun menumpuk di gudang, tak laku. Terlalu dangkal pula sebenarnya jika Gaus menganggap bahwa puisi hanya berfungsi untuk dibaca. Tapi ada benarnya kalau untuk Denny J.A., sebab puisi esai miliknya hanya butuh untuk di-klik saja oleh netizen. Terus terang dengan begitu grade situs akan meningkat sesuai jumlah pengunjung. Itu saja, tak ada capaian kesusastraan yang jelas selain pengepul riuh semata. Jadi sulit dibedakan antara terpengaruh dan terjebak lalu pergi begitu saja. Jelas pula terjadi kerancuan antara puisi yang tertanam estetika dengan rangkaian kata-katan rombengan.
Sebenarnya pledoi Ahmad Gaus tersebut sekaligus menjadi titik kelemahan dari raison d’etre Denny J.A. dalam buku ‘33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh’. Kekuatan Denny J.A. bukan pada pencapaian estetik puisinya, melainkan strategi promosi yang membabi-buta. Buzzer bayaran berkeliaran di sosmed, akun baru dengan jutaan follower dibeli Denny J.A., membayar para kurator dan endorsment, membayar pula para penulis resensi, dan kelicikan lainnya.
Jika saja Syahrini bikin puisi, otomatis jajaran postingan selfie pantatnya akan membuat dirinya mudah menjadi sastrawan berpengaruh. Bisa jadi akan menggeser posisi Denny J.A., sekaligus menyamakan posisi Syahrini dengan Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisjahbana, Iwan Simatupang, Rendra, Ajip Rosidi, dan sebagainya.
Akan tetapi jika anda belum tau apa itu puisi esai, baiklah saya akan bersedia jelaskan setitik saja. Puisi esai merupakan barisan diksi rapuh yang tuna estetika. Ketika meraba dalam gelapnya sampai jenuh, lalu menemukan pemaknaan terhadap puisi Denny J.A., jangan kaget jika saat itu pula pemaknaan yang kita bangun roboh kembali. Maka dari itu setiap puisinya membutuhkan penopang berupa kaki. Meski belum tentu kaki-kaki itu tak pincang. Jangan-jangan secara sederhana kita bisa menganggap bahwa puisi esai Denny J.A. tak ubahnya postur janin kurang gizi, namun tetap dipaksakan berbentuk puisi.
Tentu saja akan susah dibedakan antara esai yang sebetulnya sudah puitis dimasuki daya puitis dari puisi. Sungguh bentuk yang melacurkan dirinya sendiri. Barangkali puisi esai lebih cocok dianggap sebagai dongeng pseudo-ilmiah. Abaikan saja pandangan saya tentang puisi Denny J.A. ini, bisa jadi besar kemungkinan saya salah.
Tapi bagaimana lagi Denny J.A. sudah terlanjur berpengaruh. Dia dianggap sejajar dengan Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisjahbana, Iwan Simatupang, Rendra, Ajip Rosidi, dan sebagainya. Meski nampaknya terlalu cepat dan dangkal dalam memutuskan hal tersebut. Maka dari itu jangan pedulikan orang lain yang nyinyir dan berkata bahwa, pengaruh Denny J.A. lahir dari mental kaum dagang yang diciptakan dari kekuasaan. Tentu karena pencapaian kekaryaan Denny J.A. merupakan salah satu cabang dari aliran kesusastraan kita yang eksotis. Meskipun daya eksotis sendiri mengandung kebiasan tak terhingga.
Barangkali bisa dikatakan bahwa pemunculan puisi esai merupakan peristiwa politik, akan tetapi perdebatan keberadaannya masuk pada peristiwa budaya. Maka dari itu dalam rongga dada dunia sastra kita, feedback pembaca sekalipun sangat dibutuhkan. Tentu untuk membuatnya tetap sehat dan sustainable. Bisa jadi laju hidup sastra yang sehat ialah yang tidak didikte oleh dominasi kepentingan kelompok tertentu. Maka dari itu kita harus saling mewaspadai, munculnya manipulasi kesusastraan kita oleh kelompok elite feodal baru yang manapun.
Sedangkan upaya kriminalisasi jelas tak lebih dari modus menutupi kekalahan dengan melumpuhkan dan mendistorsi konteks perdebatan. Maka tidak heran jika UU ITE dianggap sebagai perlengkapan untuk para diktator yang paling canggih. Apalagi yang bisa dijadikan sebagai obat bagi kemiskinan argumen dan penguatan fakta. Satu-satunya jalan yaitu kebengisan melalui kriminalisasi berupa sensor terhadap pendapat. Sekali lagi yang harus kita junjung ialah kritik sebagai salah satu bentuk kerja sosial untuk kemanusiaan.
Hanya orang yang kekanak-kanakan yang menganggap setiap kritik adalah lontaran permusuhan. Dalam realitas kita, kritik sastra sangat dibutuhkan bukan dari para kritikus saja akan tetapi pembaca yang manapun. Sedangkan Saut Situmorang sangat dibutuhkan oleh perkembangan dunia sastra kita. Dia yang dengan setia menjaga lalu lintas dengan kritik yang terbuka.
Polemik ini masih belum usai. Di luar sana masih banyak mereka yang tak merelakan begitu saja jika sastra kita hanyalah serentetan hasil kalkulasi jumlah penggemar. Mungkin lebih tepatnya bukan jumlah penggemar tapi jumlah rating website.
Sumber: Jakartabeat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar