Peristiwa 30 September 1965 merupakan peristiwa perih dan tragis bagi bangsa Indonesia. Peristiwa tragis tersebut, tidak saja menelan korban para jenderal di masa revolusi, namun kemudian juga menjadi bencana yang melibas orang-orang yang tidak berdosa, tidak saja jutaan nyawa tapi juga masa depan anak keturunan mereka.
Wawancara bersama Wijaya Herlambang, Ph.D berikut merupakan refleksi atas peristiwa tersebut. Wijaya Herlambang merupakan sejarahwan muda terkemuka di Indonesia yang intens meneliti seputar kekeraan budaya di masa-masa pasca peristiwa 1965. Bukunya yang telah terbit berjudul "Kekerasan Budaya pasca 1965" adalah buku yang fenomenal dan menjadi referensi unggulan bagi siapa saja yang ingin melihat kebenaran sejarah Indonesia. Berikut wawancaranya.
Tanya: Setiap 30 September ingatan kolektif kita seperti diteror oleh peristiwa pembantaian para jenderal di tahun 1965. Sebagai sejarahwan, anda punya sesuatu yang bisa dijelaskan kepada masyarakat?
Jawab: Nah itulah fakta pertama yang bisa dilihat secara jelas dari keberhasilan Jenderal Suharto dalam melakukan kampanye besar-besaran untuk mendiskreditkan komunisme di Indonesia selama puluhan tahun. Terbunuhnya para jendral pada malam 30 September 1965 tentu saja merupakan sebuah tragedi besar bangsa Indonesia. Namun yang harus diingat adalah: siapa yang melakukan? 50 tahun telah berlalu sejak peristiwa itu terjadi namun pertanyaan itu tetap tidak terjawab oleh siapa pun. Sebelum ada data baru mengenai peristiwa G30S pertanyaan itu akan tetap tak terjawab. Bagi Suharto, Orde Baru dan pengikutnya yang masih tersebar di mana-mana jawabannya sudah jelas: PKI-lah yang bertanggung jawab dan berada di belakang peristiwa itu namun bagi sebagian besar peneliti, akademisi dan aktivis baik dalam maupun luar negeri jawabannya tidak sesederhana itu.
Dari sebagian besar risalah akademik yang ada sampai hari ini, paling tidak, terdapat 6 skenario tentang siapa dalang di balik peristiwa G30S. Pertama: tentu saja versi Orde Baru yang secara membabi-buta menuduh PKI berada di balik pembunuhan para jendral itu. Kedua: versi Prof. Wertheim, Coen Holtzappel dan Jessica Melvin yang mengatakan bahwa Suharto sendirilah yang menjadi dalang peristiwa itu. Ketiga: peristiwa itu merupakan hasil dari konflik internal di dalam tubuh miiliter sendiri seperti yang terdapat dalam karya Ben Aderson, Ruth McVey dan Frederick Bunnell yang dikenal sebagai Cornell Paper.
Keempat, peristiwa itu merupakan puncak dari kerja pemerintah dan intellijen asing terutama USA dalam menghancurkan komunisme di berbagai negara termasuk Indonesia. Kelima, dalam karyanya John Roosa mengatakan bahwa segelintir tokoh PKI seperti Aidit dan Syam Kamaruzzaman memang terlibat dalam plot pembunuhan para jendral itu namun Roosa juga percaya bahwa PKI secara organisasi tidak terlibat sama sekali dalam peristiwa itu. Terakhir adalah argumen yang sangat lemah seperti yang dapat dibaca dalam karya Helen Louis Hunter, seorang ilmuwan yang bekerja untuk CIA, yang mengatakan bahwa G30S adalah perbuatan Presiden Sukarno sendiri. Nah dari enam skenario itu jelas bahwa kita tidak bisa secara sembarangan menuduh PKI berada di balik peristiwa G30S karena masing-masing argumen tadi memiliki data-data yang juga valid. Namun bukankah kenyataan ini selama masa Orde Baru disembunyikan?
Apa yang Anda katakan sebagai “ingatan kolektif yang diteror” sebenarnya adalah hasil dari kampanye Suharto dan Orde Baru yang dihujamkan ke dalam pikiran masyarakat kita selama puluhan tahun bahkan hingga hari ini: bahwa PKI adalah pihak yang berada di belakang peristiwa G30S, membunuh para jendral, penganut atheisme yang berkhianat terhadap negara dan dengan demikian mereka wajib dibasmi, dibantai dan di-iblis-kan. Tidak pernah ada upaya dari pemerintah baik selama Orde Baru hingga sekarang untuk melihat dan menyadari bahwa jutaan korban yang dibunuh oleh Jendral Suharto itu adalah rakyat jelata yang belum tentu anggota atau simpatisan PKI.
Justru sebagian besar dari korban di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali tidak mengetahui apa yang terjadi di Jakarta pada malam 30 September 1965 itu. Ingatan kolektif itu adalah hasil kerja kebudayaan yang dilakukan secara sadar oleh agen-agen kebudayaan Orde Baru melalui produk dan produksi kebudayaan selama puluhan tahun. Kita bisa melihat bagaimana sejarawan militer Nugroho Notosusanto mengelaborasi karyanya ke dalam berbagai macam produk kebudayaan, museum, monumen, diorama, relief,upacara-upacara peringatan, film Pengkhianatan G30S/PKI, buku-buku sejarah, materi-materi penataran, karya sastra, cerita rakyat dan sebagainya selama berpuluh-puluh tahun hingga hari ini, sementara, versi yang lain disembunyikan dan tidak boleh diakses dan dilarang. Jadi, wajar saja jika “ingatan kolektif” kita sebagai bangsa dipaksa untuk melihat peristiwa G30S melalui versi militer yang menuduh PKI sebagai satu-satunya dalang di balik peristiwa itu.
Tanya: Peristiwa kudeta 1965 tentu tidak melibatkan satu unsur saja seperti faksi dalam militer karena bersifat revolusi. Sebelumnya, ada pertarungan pemikiran dalam rangka membentuk cara berpikir masyarakat luas. Bisa Anda jelaskan bagaimana peran Lekra dan Manikebu, misalnya, sebagai bagian dari struktur yang berelasi dalam peristiwa ini?
Jawab: sebetulnya dalam pergulatan politik menjelang peristiwa 1965 itu tidak semua elemen politik bersifat revolusioner. Hanya PKI dan partai pendukung Presiden Sukarno saja yang demikian, minimal seperti yang kerap mereka dengungkan di masa itu. Sementara militer dan para penentang Sukarno seperti PSI dan Masyumi sangat anti terhadap slogan-slogan revolusi a la PKI dan Sukarno. Namun benar apa yang Anda katakan bahwa faksi-faksi baik di dalam tubuh militer dan partai politik sudah sangat terpengaruh dan terpolarisasi oleh arus Perang Dingin yang terjadi di dunia internasional.
Pengaruh itu tidak saja terlihat di dalam bidang politik namun juga bidang kebudayaan. Lekra, lembaga kebudayaan yang dekat dengan PKI, sejak tahun 1950 memang sudah secara jelas memperlihatkan diri sebagai kekuatan kebudayaan yang anti-terhadap nilai-nilai kebudayaan Barat yang mereka anggap identik dengan nilai-nilai kolonialisme dan imperialisme. Ini sebabnya Lekra menjadi salah satu pendukung aktif PKI dan ide-ide nasionalisme Sukarno yang memang memiliki orientasi anti-neokolonialisme dan imperialisme Barat itu. Perlu diingat bahwa Indonesia baru saja merdeka dan Sukarno dan PKI tidak ingin mengulangi sejarah penindasan bangsa Belanda dan Barat pada umumnya di Indonesia. Dengan demikian aktivitas kebudayaan Lekra ditujukan untuk mendukung kebijakan nasional Presiden Sukarno dan orientasi politik PKI yang sangat anti-Barat.
Sebaliknya sebagian intelektual dan seniman lain yang dekat dengan lingkaran PSI dan Masyumi justru semakin memperlihatkan diri sebagai kelompok yang pro terhadap Barat. Harus diingat juga bahwa kedekatan para politisi PSI dan Masyumi dengan pihak Barat sudah terbentuk ketika perundingan Meja Bundar diadakan di tahun 1949. Para politisi ini mulai membuka pintu “persahabatan” dengan Amerika setelah berhasil menekan Belanda untuk menyerahkan kekuasaan kepada pihak Indonesia walaupun Indonesia harus membayarnya dengan harga mahal yang salah satunya adalah membayar hutang Belanda yang sebagian justru digunakan untuk biaya perang terhadap Indonesia.
Melalui pintu yang dibuka oleh para politisi inilah maka para aktivis kebudayaan pro-Barat seperti Soedjatmoko, Mochtar Lubis, Wiratmo Soekito, Sutan Takdir Alisjahbana dan lain-lain mulai membangun jaringan dengan agen-agen kebudayaan Barat terutama melalui CCF. CCF atau Congress for Cultural Freedom itu dibentuk oleh CIA dan dijalankan oleh agen CIA bernama Michael Josselson, yang memiliki anak buah yang bertugas di Asia bernama Ivan Kats, untuk memerangi komunisme di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Jaringan yang terbangun dengan CCF ini, walaupuin terdiri dari sekelompok kecil saja, namun pengaruhnya sangat signifikan dalam menyebarkan gagasan-gagasan Barat dan anti-komunisme di dalam aktivitas kebudayaan Indonesia.
Memang menjelang peristiwa G30S 1965, Lekra semakin menjadi agresif dalam menyerang pihak manapun yang berseberangan dengan ide-ide mereka. Pada gilirannya ini membuat lawan-lawan mereka semakin kuat mengkonsolidasikan diri. Afiliasi antara para penulis anti-komunis dengan partai-partai politik seperti PSI dan Masyumi dan militer serta agen-agen kebudayaan dan politik AS menjadi demikian kokoh sehingga membuat para penulis Lekra, PKI dan Presiden Sukarno tidak memiliki pilihan lain selain menggencarkan kampanye mereka.
Ketika peristiwa G30S meletus, kekuatan-kekuatan revolusioner ini tergelincir dan dilibas habis oleh militer dan antek-antek mereka. Jutaan orang tumpas. Apa yang terjadi kemudian mudah ditebak: kampanye hitam terhadap kekuatan revolusioner mulai dilancarkan selama puluhan tahun dan stigma buruk terhadap mereka yang dituduh komunis melekat hingga hari ini. Semua yang berbau kiri dihancurkan, tradisi kebudayaan dan kesenian kiri disingkirkan dari wacana kebudayaan Indonesia modern. Tradisi itu mati.
Tanya: Dalam dokumen CIA yang telah dipublikasikan baru-baru ini, tidak terbaca apapun yang sering dituduhkan banyak pihak tentang peran misterius tokoh-tokoh tertentu? Sebenarnya seperti apa sih kebenaran sejarah yang terjadi?
Jawab: O ya? Sudah ada yang baru ya? Saya belum tahu. Setahu saya yang terakhir itu keluar tahun 1995 dan diterbitkan oleh Hasta Mitra tahun 2001. Tapi baiklah. Kalau Anda menyebut peran misterius, semua tokoh yang terlibat di dalam peristiwa itu memiliki peran misterius baik dari PKI maupun dari lawan-lawan mereka seperti militer. Sama misteriusnya. Dan sampai sekarang tidak ada yang dapat menyimpulkan secara definitif apa, bagaimana dan siapa yang berada di balik peristiwa G30S itu.
Bisa saja John Roosa benar bahwa Aidit memang terlibat namun PKI sebagai organisasi tidak, bisa juga Ben Anderson benar bahwa itu adalah akibat dari konflik internal AD, atau Prof. Wertheim dan Coen Holtzappel benar bahwa Suharto di belakangnya. Yang mana? Kita semua belum tahu. Maka dibutuhkan penelitian lebih jauh dan mencari dokumen-dokumen baru yang masih dirahasiakan baik oleh militer kita maupun pemerintah AS. Maka kita tidak bisa secara serampangan asal menuduh satu pihak sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. PKI misalnya, kan mereka sudah dituduh secara membuta oleh seluruh lapisan masyarakat kita sebagai partai iblis yang melakukan pembunuhan terhadap para jendral dan mencoba makar terhadap pemerintah Indonesia yang sah.
Itu semua adalah tuduhan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena ada beberapa versi lain yang data dan analisisnya justru jauh lebih kuat dibandingkan dengan versi Orde Baru yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dengan cara yang sangat tidak meyakinkan. Bahkan CIA yang jelas-jelas berusaha mendukung versi Orde Baru pun tidak yakin dengan versi Nugroho itu. Silakan baca bukunya George dan Audrey Kahin deh.
Tanya: Saat ini, banyak kalangan yang memulai mengangkat isu pembantaian massal pada tahun 1965 yang mereka gambarkan sebagai pelanggaran HAM, baik dalam bentuk film atau buku, bahkan mereka adalah dari kalangan yang dahulu jelas pada posisi berseberangan dengan kalangan kiri. Apa yang bisa Anda jelaskan dari peristiwa ini?
Jawab: Siapa yang Anda maksud? Setahu saya, selain Goenawan Mohamad yang dulu menentang ide-ide “kiri” lalu kemudian menyediakan wadah bagi ide-ide kiri itu untuk tumbuh, yang lain tidak ada. Siapa? Taufiq Ismail? Wiratmo Soekito? Mochtar Lubis? Emha Ainun Nadjib? Kan semua konsisten anti-komunis. Goenawan sendiri juga bukan seorang kiri atau membela ide-ide kiri, dia hanya bersikap konsisten terhadap ideologinya sendiri: liberalisme. Tapi dia tidak pernah kiri.
Kalau Anda bicara tentang aktivis lain ya kemungkinan besar mereka adalah sebuah entitas generik yang terdiri dari berbagai latar belakang. Memang produksi karya seni terutama film-film dokumenter tentang peristiwa 1965 sudah mulai bermunculan dan yang karya Oppenheimer itu memang mendobrak keras wacana anti-komunis di Indonesia sekaligus membuka mata internasional tentang apa yang terjadi di tahun 1965 di negeri ini. Walau pun banyak kelemahan di dalam film Oppenheimer itu terutama menyangkut peran negaranya sendiri di tahun 1965 di Indonesia, namun harus diakui bahwa film itu membantu banyak manusia Indonesia untuk mengerti paling tidak 2 hal:
1. Bahwa di tahun 1965 telah terjadi pembantaian secara besar-besaran terhadap orang-orang yang dituduh komunis tanpa proses hukum dan;
2. Bahwa versi Orde Baru atas peristiwa 1965 tidak dapat dijadikan justifikasi terhadap pembantaian jutaan manusia yang menyusul peristiwa G30S itu. Dan untuk itu kita patut mengacungkan jempol kepada Oppenheimer walaupun kita harus memberi kritik keras atas kelemahan karyanya.
Sementara, untuk buku-buku bukankah tidak ada yang memberikan informasi baru di seputar misteri G30S? versi terakhir setelah karya John Roosa (2006) yang kontroversial itu adalah karya Coen Holtzappel (2015) dari Belanda dan Jessica Melvin (2015) dari Australia yang menunjukkan kemungkinan baru bahwa Jenderal Suharto memang berada di balik G30S. Makanya saya berulang kali mengatakan bahwa kita membutuhkan penelitian dan dokumen baru mengenai peristiwa itu.
Tanya: Saya dengar Anda menulis buku baru setelah buku Anda ‘Kekerasan Budaya Pasca 1965’ yang cukup fenomemal. Bisa sedkit Anda paparkan tentang buku baru Anda itu?
Jawab: Ya betul. Saya sedang menulis buku baru tentang pembangunan kebudayaan dari awal masa Orde Baru hingga sekarang. Namun fokus utamanya pada bagaimana para sastrawan kita melakukan perlawanan terhadap praktik kekerasan negara yang dilakukan oleh pemerintah lalim bernama Orde Baru itu. Semoga saya dapat menyelesaikan buku itu dalam waktu yang tidak lama.
Sumber: Koran Opini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar