Posisi komunisme dalam sejarah perjuangan Indonesia.
Bagaimana meletakkan komunisme dalam 65 tahun kemerdekaan Indonesia?
Posisinya kerap dituduh sebagai pengkhianat. Kebeadaannya masih dianggap sebagai ideologi terlarang. Buku ini usaha untuk membantah tuduhan komunisme adalah sosok kejam dalam peradaban. Manuskrip ini memaparkan bukti-bukti yang sulit dibantah tentang peran Partai Komunis Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Manuskrip ini selesai ditulis Busjarie Latif yang hilang pada peristiwa 1965. Tanpa disangka ia ditemukan setelah 47 tahun menghilang dan kembali ke Tanah Air. Sumaun Utomo, mantan Sekretaris Lembaga Sejarah PKI, kemudian mengangkat buku ini untuk dicetak dan diabadikan.
Buku ini hasil penelitian dengan riset lama. Bahan dan data-datanya dari kompilasi dokumen partai, riset kepustakaan, dan kuliah Akademi Politik Aliarcham.
Penerbit Ultimus memberikan pengantar selayang pandang posisi PKI dalam sejarah nasional. PKI adalah partai politik pertama yang menggunakan nama Indonesia, 25 tahun sebelum bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Karena peristiwa berdarah 1 Oktober 1965, nama PKI seolah najis untuk diabadikan. PKI dianggap dalang pemberontakan yang menewaskan para jenderal terbaik Indonesia pada zamannya.
Ketika PKI masih diakui, ada usaha menulis naskah buku sejarah 45 tahun perjalanan partai ini. Busjarie Latif melakukan riset untuk mengabadikan sejarah besar partai ini. Naskah buku ini awalnya 210 halaman kertas folio. Naskah diketik ulang menyesuaikan ejaan yang disempurnakan.
Nama orang, organisasi, dan tempat dipertahankan seperti ejaan aslinya. Pengantar Koesalah Subagio Toer, adik Pramoedya Ananta Toer, menjelaskan posisi buku ini sebagai upaya memahami dengan perspektif PKI tentang sejarah organisasi itu di Indonesia.
Tentu ada banyak hal baru. Mengingat selama ini propaganda Orde Baru yang menyudutkan PKI teramat kuat melekat dengan bangsa ini, sehingga temuan-temuan yang menunjukkan PKI pernah menjadi harapan masyarakat agak susah dipahami.
Ditulis pula pembagian babak kelahiran bangsa Indonesia. Perihal kesatuan ekonomi, bahasa, dan wilayah sebagai satu kesatuan kejiwaan. Busjarie menggunakan perspektif gerakan kebangsaan untuk menjahit berbagai kelompok politik saat itu dalam usaha kemerdekaan Indonesia, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Tiap-tiap organisasi ini mendambakan sebuah nation yang besar dan merdeka.
Busjarie juga menggali sejarah pergerakan buruh dan pergerakan nasional sebagai cita-cita sosialisme di Indonesia. Ia menganggap gerakan buruh, seperti protes dan pemogokan, merupakan salah satu modal mencapai kemerdekaan.
Dengan protes-protesnya, buruh yang menjadi nyawa dari kolonialis kerap menyulitkan dan mengganggu. Peran mereka selayaknya disejajarkan dengan para pemikir dan pejuang kemerdekaan.
Revolusi Agustus 1945 sebagai perjuangan rakyat, bukan elite, dalam mencapai kemerdekaan juga dibahas. Ini ditandai munculnya komune rakyat di desa-desa. Namun pada saat yang sama semangat revolusi menurun karena partai-partai pelopor terpecah. Busjarie secara khusus membahas PKI yang dianggap mengalami keguncangan akibat tak ada garis partai.
Pada catatannya, Busjarie mengatakan penyelesaian Revolusi Agustus 1945 hingga ke akar dengan mengombinasikan tiga bentuk perjuangan. Baginya, penting ada pemimpin tunggal yang menyatukan batas-batas geografis Nusantara. Ada banyak istilah khas agitatif pada zaman itu, seperti Manipol Usdek, Nasakom, hingga kontrarevolusioner.
Buku ini penting untuk membuka perspektif lebih luas dan berbeda dari sejarah “resmi”. Posisi PKI yang dicap buruk mungkin akan membuat kita berat membaca buku ini. Namun secara umum apa yang dilakukan Busjarie perlu diapresiasi dengan kritik mendalam.
Arsip-arsip, data-data, dan segala argumen di buku ini mesti ditelaah secara adil tanpa pretensi kebencian. Dengan demikian, buku ini layak dianggap sebagai buku yang ditulis sesuai kaidah keilmuan yang baik.[*]
Sumber: Geotimes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar