Tanggapan Untuk Dendy Raditya Atmosuwito
"A theory gains in strength as it attracts the masses” – Karl Marx, sebagaimana disadur oleh N. Bukharin
APABILA kita berpegang pada mantra Marxis di atas, maka observasi akan kondisi objektif seakan membenarkan keberpihakan sejarah pada gerakan Islam. Islam Politik, yang mendapat hembusan angin segar pada aksi di tanggal 4 November dan 2 Desember kemarin, jelas-jelas membuktikan kesaktian agama dalam memobilisasi massa yang (konon) jumlahnya mencapai 7 juta orang. Terlebih lagi, ‘sukses’ kedua aksi tersebut seakan menampik dugaan perpecahan dan fenomena “Takfiri” di antara umat Muslim sendiri. Terlepas dari tercapainya tujuan aksi, kesatuan dan kemampuan gerakan Islam dalam mengorganisir cukup membuat keder mereka yang sama-sama menghendaki perubahan.
Namun di kala umat Islam mengumandangkan takbir dan salawat, si kiri ngedumel, ngiri. Setidaknya, kesan tersebut yang saya dapat dari berbagai keluh-kesah yang terhambur di media sosial, dari mulut kawan-kawan yang masih berjuang. Bagaimana tidak? Metode gerakan progresif di Indonesia, yaitu massa aksi sudah keburu diserobot oleh kalangan reaksioner. ‘Kegagalan’ gerakan progresif untuk menghadirkan massa yang sebanding dengan massa aksi 212 dan 411 kemarin, sebenarnya cukup membuat demoralisasi dalam jajaran. Jangankan kawan Dendy, tidak sedikit aktivis dan simpatisan progresif yang menyalah-nyalahkan dinamika dan polemik yang selama ini begitu mewarnai gerakan, serta kurangnya ‘persatuan’ antar dan intra gerakan sebagai musabab lemahnya gerakan kiri di Indonesia. Sementara umat Islam bisa salat Jumat di Monas, umpamanya, gerakan progresif masih belum keluar dari warung kopi dan ruangan diskusi. Hari ini, Al-Quran dan Hadits jelas lebih sakti daripada tiga volume Das Kapital dan segala karya komunis lainnya.
Seorang pengamat, bermodal anekdot dan kabar burung sekalipun, bisa menyumbang tawa. ‘Kiri Takfiri!’ ujarnya, menertawakan impotensi gerakan ‘Kiri’ yang mati suri sejak 1998. Tapi toh kita tidak perlu menyalahkan dia. Dengan menyorot ramainya diskusi, polemik ataupun status media sosial yang bersifat intelektuil pada gerakan kiri, tidaklah mengagetkan bahwa pandangan masyarakat awam akan gerakan kiri masih didominasi oleh stereotipe-stereotipe negatif. Pandangan keliru ini diperparah dengan tindak-tanduk aktivis yang kurang begitu berkenan untuk sebagian orang. Dari sini muncullah istilah-istilah yang cukup ngetren: Sektarian, dogmatis, “Onani Intelektual”, Kiri (maaf) Kekimchil-kimchilan, ditambah lagi “Kiri Takfiri” sumbangan kawan Dendi itu tadi.
Tapi setidaknya tulisan polemik Kawan Dendy, walau melenceng, mengangkat tanda tanya khayalak ramai. Terlepas dari ketidaksetujuan saya dengannya, nyatanya kawan Dendy mengutarakan pandangan yang cukup umum di kalangan mahasiswa. Tidak jarang saya menemukan antipati terhadap gerakan “kiri” di kampus bukan dari para reaksioner batu, melainkan dari pembaca setia IndoPROGRESS! Malah tak jarang juga kawan-kawan berpandangan progresif enggan berorganisasi, takut akan ‘sektarianisme’ dan dogmatisme Marxis. Lantas mengapa gerakan kiri begitu sektarian? Lebih tepatnya, mengapa politik kiri mengutamakan ketepatan teori, daripada persatuan?
Persatuan Kiri
Che Guevara, ikon gerilya dari Argentina, pernah dengan cukup terkenal berkata: Jika engkau membenci ketidakadilan, maka kau kameradku. Secara luas hal itu menggambarkan tujuan dan karakter gerakan progresif sedunia, dari sosial demokrat paling jinak sekalipun hingga revolusioner yang menggenggam popor senjata: harapan akan dunia yang lebih adil, iman pada kemajuan masyarakat serta kerja nyata untuk membawa serta kesetaraan dan harmoni bagi seluruh umat manusia. Namun, adalah kekeliruan untuk menganggap slogan Che tersebut sebagai taktik dan garis perjuangan. Nyata-nyatanya, perubahan sosial tidak dibawa dengan bergandengan tangan menyambut pelangi dengan senyum dan tawa. Mereka yang ingin mengubah masyarakat harus pertama-tama paham dinamika dan gaya-gaya materiil yang membentuknya. Oleh karena itu, gerakan serius manapun butuh teori.Pada tulisannya, kawan Dendy menyebutkan berbagai aliran dan “mazhab” kiri yang dia baca di Wikipedia: “Marxisme Leninisme, Stalinisme, Trotskysme, Maoisme, Dengisme, Hoxhaisme, Titoisme, Eurocommunisme, Luxemburgisme, Neo Marxisme, Marxisme Mazhab Frankfurt, Post Marxisme, serta banyak varian lain”. Pada saat yang sama, dia juga memperlihatkan berbagai varian Marxisme dan Anarkisme yang hobi mengkafirkan sesama, sebagai bukti dari hipotesa awalnya bahwa kiri itu sektarian, terjebak dalam perlombaan berdarah untuk membuktikan golongan dan mazhabnya yang paling benar. Dan memang, jujur saja, mudahnya aktivis progresif melancarkan kritik pada sesama progresif seakan mengafirmasi tudingan itu.
Namun amat disayangkan bahwa kawan Dendy menuding dengan mengabaikan tradisi progresif untuk melakukan kritik dan otokritik. Kritik dan otokritik itu sendiri bukan dilakukan untuk “membuktikan” siapa yang paling benar. Sebaliknya, kritik dan otokritik merupakan bagian dari rangkaian dialektika untuk menemukan teori dan praksis yang tepat dalam membawa gerakan ke depan. Beranjak dari pandangan kaum progresif bahwa yang abadi hanyalah perubahan, agak naif untuk menuding kaum yang sama bahwa mereka semua mengklaim paling benar dan paling murni dalam mengamalkan ajaran Marx dan kawan-kawan. Tiada kebenaran hakiki yang terpatri pada otak kiri; kritik adalah upaya mengambil langkah yang tepat, yang sesuai dengan kondisi objektif dan tingkat kesadaran masyarakat.
“Kadang-kadang gerakan menang dalam hal ide”, sanggahnya “Tetapi ketika ide-ide besar itu hendak direalisasikan dalam kenyataan konkrit, gerakan justru menemui kegagalan yang menyakitkan”. Sekali lagi kawan Dendy menjawab dirinya sendiri. Justru dengan menyerang “sektarianisme” dan gerakan-gerakan yang mengambil posisi politik yang jelas, semakin terlihat bahwa teori yang tepat semakin dibutuhkan. Kegagalan yang selama ini mencuat merupakan buah dari inkonsistensi garis perjuangan, yang sering melompat ke event politik sana-sini untuk mengais simpati dan dukungan. Tindakan-tindakan yang spontan, reaktif dan kebingungan adalah konsekuensi logis dari gerakan-gerakan yang gagal memperjelas teori dan posisi politiknya, sehingga sering kali hilang di tengah jalan.
Mengkritisi tradisi kritis?
Lantas dengan menyapu lebar semua gerakan kiri dengan cap “takfiri”, apa yang telah kawan Dendy capai? Ketimbang memperjelas garis perjuangan, kawan Dendy malah mengesampingkan perlunya garis perjuangan. Ketimbang menunjuk teori dan praktik gerakan mana yang selama ini tidak tepat, ia malah mengabaikan perlunya mengambil langkah yang tepat. Mungkin kawan Dendy mengira bahwa penggulingan kapitalisme cukup dengan “mengiri” berjamaah di ibukota. Apabila hal tersebut benar adanya, saya tidak perlu menulis ini. Sayangnya, negara kapitalis ini menggenggam berbagai instrumen dan struktur kekuasaan untuk meredam bangkitnya kesadaran kelas: aparat keamanan, peradilan, preman, sekolah dan segala yang lainnya. Dibutuhkan teori dan praksis yang tepat untuk meliuk melewati labirin tantangan menuju masyarakat yang madani. Melalaikan itu semua atas nama “Persatuan” yang nilai gunanya dipertanyakan tiada membantu siapa-siapa.Lantas mengapa bukan persatuan? Tidak ada gerakan progresif yang tidak menghendaki persatuan. Namun persatuan itu haruslah memiliki tujuan, bukan hanya karena gerakan-gerakan ingin berhimpun bagai kawanan kambing. Tujuan itu pun bukan frase kabur macam “Tolak Kapitalisme”. Persatuan dibuat atas dasar yang rasional untuk mencapai tujuan yang spesifik, beserta syarat-syarat yang menjaga hak tiap gerakan untuk berdemokrasi. Partainya Lenin sendiri pecah sebanyak tiga kali sebelum akhirnya sukses meluncurkan revolusi. PKI di masa jayanya pun masih harus berurusan dengan sesama kiri di PSI dan Murba. Persatuan bukanlah tujuan untuk dirinya sendiri, melainkan langkah strategis untuk mencapai tujuan.
Tapi toh mungkin juga kawan Dendy agak berlebihan soal fenomena “takfiri” ini, apalagi dalam lingkup kampus. Belum pernah saya melihat seorang Trotskis yang enggan ikut diskusi karena batok kepala sang nabi dibelah kapak es Stalin tujuh puluh enam tahun yang lalu; diskusi dan aksi anarko pun tidak melulu anathema buat beberapa aliran progresif lainnya. Pada saat yang sama, kebencian berbasis identitas “kiri” semata kurang begitu kentara, apalagi dibandingkan dengan beberapa aliran agama yang menolak untuk berjabat tangan antarsesama. Konflik, bilapun ada, adalah soal ketegasan dan posisi politik yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan karena identitas sebagaimana disiratkan kawan Dendi.
Alangkah baiknya mereka yang mau berkubang sektarianisme dan kritik tajam, daripada berlindung diri di balik netralitas dan “itikad mulia”. Presisi teori dan aksi lebih berharga daripada panggilan-panggilan yang menyentuh hati tapi miskin data dan logika. Barisan progresif di Indonesia terbuka untuk semua, dan janganlah takut dengan tajamnya polemik dan dialektika. Jelas adanya kebutuhan untuk bergerak bersama, bukan “persatuan” semu ala kadarnya. Mungkin ada baiknya kawan Dendy mulai “mengaji” lagi.***
Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional Fisipol UGM angkatan 2015. Staf Kajian Strategis DEMA Fisipol 2015
Sumber: Indoprogress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar