Wafat: Jumat, 4 Desember 2015
Peristiwa terbunuhnya 7 jenderal pada 30 September 1965 masih belum menemukan jawabnya yang pasti. Siapa pelakunya? Namun bagi pendukung Suharto dan Orde Baru gampang saja: PKI satu-satunya yang harus bertanggung jawab. Tidak demikian dengan para peneliti, akademisi, dan aktivis. Jawabannya tidak sesederhana menjentikkan telunjuk ke arah PKI.Satu dari banyak peneliti yang konsisten membuka tabir peristiwa 50 tahun itu adalah Wijaya Herlambang. Melalui bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, Wijaya membuka wacana tentang kampanye Suharto dan Orde Baru yang ditiupkan ke dalam pikiran masyarakat selama puluhan tahuan bahwa PKI adalah pihak di belakang G30S dan pembunuh jenderal. Wijaya membuka kesadaran lebih banyak orang tentang pentingnya melihat dan menyadari bahwa jutaan korban yang dibunuh Suharto adalah rakyat jelata yang belum tentu anggota atau simpatisan PKI.
Wijaya Herlambang terutama membongkar kebusukan agen-agen kebudayaan yang bekerja untuk kepentingan Suhato dan Orde Baru. Ia membuka banyak mata tentang sesuatu yang selama ini terlupakan. Bahwa ingatan tentang kejahatan PKI yang dihembuskan Orde Baru dan Suharto adalah hasil kerja agen kebudayaan melalui produk dan produksi kebudayaan selama puluhan tahun. Museum, monumen, diorama, relief, upacara-upacara peringatan, film Pengkhianatan G30S/PKI, buku-buku sejarah, materi penataran, karya sastra, cerita rakyat, dan produk lainnya adalah sengaja dibuat untuk melanggengkan kekuasaan dan melegitimasi bahwa PKI harus dibasmi, dibantai, dan dinistakan.
Agen-agen kebudayaan pendukung Suharto dan Orde Baru dengan demikian melenggang masuk kekuasaan dengan membawa serta jaringan kebudayaan Barat. Aktivis kebudayaan proBarat seperti Soedjatmoko, Mochtar Lubis, Wiratmo Soekito, Sutan Takdir Alisjahbana dan lainnya mulai bermesraan dengan CCF (Congress for Cultural Freedom) yang dibentuk CIA dan dijalankan oleh agen CIA bernama Michael Josselson, yang memiliki anak buah di Asia bernama Ivan Kats. Tugasnya tiada lain ialah memerangi komunisme. Gagasan yang mereka bawa ke Indonesia tentu saja memerangi komunisme dan menggerogoti aktivitas kebudayaan Indonesia.
Ivan Kats inilah seperti ditulis Wijaya yang kemudian menenumakan lahan subur terutama kepada “intelektual yang mengalami demoralisasi”, yaitu mereka yang resah dengan arah pemerintahan Sukarno. Kats menemukan lahan sempurna bagi penyemaian gagasan kapitalisme Barat atas nama “kebebasan” yang digaungkan oleh CCF di bidang kebudayaan. Kats banyak mengirimkan buku-buku kepada Mochtar Lubis dan kepada lebih dari 100 intelektual termasuk H.B Jassin, P.K. Ojong, Rosihan Anwar, dan kepada generasi muda para penulis antikomunis seperti WS Rendra, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Soe Hok Gie dan kakaknya Arief Budiman. Kats membangun hubungan erat terutama dengan Goenawan Mohamad melalui korespondensi. Goenawan Mohamad sebagai tokoh paling berpegaruh dalam mengokohkan liberalisme Barat dalam kebudayaan kontemporer Indonesia. Utamanya setelah penandatanganan Manifes Kebudayaan 1963 yang merupakan petunjuk kuat atas pengaruh liberalisme Barat yang tertanam di lingkaran generasi muda PSI saat itu. Salah satu hasilnya yaitu tepat beberapa hari ketika jutaan rakyat mulai disembelih dan dinistakan, Arief Budiman dan Goenawan Mohamad memperoleh beasiswa untuk belajar ke Eropa. Arief Budiman dikirim ke Paris, sebelum belajar di College of Europe di Bruges, Belgia dan Goenawan Mohamad berikutnya ke tempat yang sama.
Bangkitnya liberalisme dan kelanjutan program CCF yaitu hadirnya sebuah majalah sastra untuk mengakomodasi suara penulis antikomunis, khususnya pendukung Manifes Kebudayaan 1963. Majalah itu terbit dua bulan setelah Mochtar Lubis bebas dari penjara, Juli 1966 dan diberi nama Horison. Majalah Horison terbit di bawah manajemen Yayasan Indonesia yang diketuai Mochtar Lubis. Di kemudian hari antara 1966-1970, Horison memuat cerpen-cerpen yang sangat dipengaruhi oleh gagasan Humanisme Universal yang menekankan konflik psikologis para tokohnya menjadi faktor utama dalam menaturalisasi kekerasan terhadap kaum komunis.
Tahun 1966, semangat antikomunis atas nama ‘kebebasan’ selain diekspresikan melalui demonstrasi pelajar dan mahasiswa yang didukung militer juga melalui praktik kebudayaan para penulis. Pada kurun waktu 1966-1970 setidaknya terdapat sepuluh cerpen bertema peristiwa 30 September 1965. Lima dimuat di Horison dan lima lainnya diterbitkan di majalah Sastra, yang pada awal 1960an menjadi corong para pendukung Manifes Kebudayaan.
Membaca Pelan Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965
Buku karya Wijaya Herlambang yang merupakan disertasi doktoralnya di University of Queensland dibaca secara pelan di Sekretariat Bersama Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung sejak 3 Oktober 2014 hingga 15 April 2015. Reading Group Kekerasan Budaya Pasca 1965 ini saya pandu di antara perkuliahan yang mengharuskan pergi ke Bandung. Pembacaan berlangsung selama 10 pertemuan. Tanggal 3, 10, dan 20 Oktober 2014; 10, 14, dan 24 Desember 2014; 23 Januari 2015; 5 Februari 2015; serta 3 dan 15 April 2015. Pertemuan dihadiri kawan-kawan UPI paling banyak 25 orang dan 5 orang paling sedikit. Kami membaca secara pelan-pelan.Pertemuan pertama dan kedua membaca dan mendiskusikan naskah Manifes Kebudayaan. Pertemuan ketiga dan keempat membaca beberapa tulisan tentang Lekra. Pertemuan kelima membaca Bab 2 dan Bab 3 buku. Pertemuan keenam membaca Bab 4 dan 5. Pertemuan ketujuh membaca Bab 6-8 buku. Pertemuan kedelapan hingga sepuluh membaca cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku. Naskah cerpen-cerpen tersebut saya dapatkan dari Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B Jassin.
Suatu siang saya berkendara menuju TIM. Saya menemukan cerpen-cerpen yang dibahas di buku tersebut antara lain karya Satyagraha Hoerip (“Pada Titik Kulminasi”, 1966), Gerson Poyk (“Perempuan dan Anak-Anaknya”, 1966), Sosiawan Nugroho (“Sebuah Perdjuangan Kecil”, 1967), Zulidahlan (“Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka Bumi”, 1967), Usamah (“Perang dan Kemanusiaan”, 1969), Ugati (“Ancaman”, 1969) dari mengkopi di PDS H.B Jassin. Saya mendapatkan edisi bahasa Indonesianya pada 13 Januari 2015. Kemudian diperbanyak dan dibaca bersama di Bandung.
Saya kembali membuka kotak pesan di Facebook.
Salam kenal juga.
Masalah cerpen-cerpen itu memang sulit mencarinya. Semua cerpen itu saya dapatkan di perpustakaan UQ di Australia.
Tapi mungkin perpustakaan H.B Jassin di TIM masih menyimpan edisi-edisi itu. Coba Anda dan rekan-rekan Anda tanyakan ke perpus H.B Jassin atau mungkin Anda bisa juga tanyakan di situ working papernya Harry Aveling yang berisi kumpulan cerpen-cerpen itu (tapi dalam bahasa Inggris). Sementara yang saya kumpulkan saya tinggalkan di Australia. Semoga berhasil ya.
Saya tersentak, tanggal yang tertulis di pesan tersebut 5 Desember 2014 pukul 22:18. Dan malam ini, tepat satu tahun kurang sehari ketika pesan itu tiba, si penulis pergi untuk selamanya. Terima kasih untuk pencerahannya, Bung. Telah mencoba membukakan yang tersembunyi. Menunjukkan jalan kepada sesuatu yang selama ini dibungkam dan disembunyikan. Terima kasih telah membangun jalan ke kesadaran. Banyak celah yang harus terus diupayakan. Damai selalu. RIP, Bung Wijaya!***
Pondok Petir, 5 Desember 2015
Ubaidilah Muchtar, guru SMPN Satap 3 Sobang dan pemandu Reading Group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.
Sumber: Tikus Merah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar