SAYA akan mengenang Wijaya Herlambang tanpa melankoli. Sebab ia meninggalkan pada kita setumpuk tugas yang masih belum usai, tugas-tugas yang masih perlu dikerjakan. Oleh karena itu, saya tak akan membuang waktu dengan pertunjukan kesedihan dan parade air mata, melainkan dengan memikirkan tugas-tugas itu. Karya besarnya, Kekerasan Budaya Pasca 1965, telah membukakan ruang penyelidikan yang begitu luas. Melalui tulisan ini, saya akan mengenang Wijaya Herlambang sebagai buku-buku yang akan datang, sebagai kitab-kitab yang belum dituliskan, sebagai sehimpun pekerjaan yang masih harus disudahkan, yang menyusun sebagian jalan menuju sosialisme Indonesia.
Tampilkan postingan dengan label Martin Suryajaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Martin Suryajaya. Tampilkan semua postingan
Kamis, 31 Desember 2015
Senin, 14 September 2015
Marxisme dan Video Game
VIDEO Game bagi anak muda masa kini mirip seperti kesusastraan bagi anak muda di di zaman Renaisans. Video Game adalah bentuk termaju dari budaya pop masa kini. Namun anehnya, berbeda dari film, musik dan komik, bentuk budaya pop kontemporer ini jarang diutak-utik oleh para pengkaji budaya pop. Padahal video game bisa dikatakan merupakan bentuk budaya pop yang paling mampu memproduksi dan mereproduksi budaya dan ideologi dalam benak para penikmatnya. Mengapa demikian? Karena berbeda dari film, musik atau komik yang menempatkan para penikmatnya dalam posisi pemirsa yang pasif mengikuti cerita, video game memposisikan para penikmatnya sebagai subjek cerita yang melalui pilihan-pilihannya membentuk hasil akhirnya sendiri. Kalau pada film, musik dan komik, ruang keaktifan pemirsa hanya terbatas pada interpretasi, pada video game ruang partisipasi aktif itu tak hanya tersedia pada aras penafsiran, tetapi juga pada keseluruhan proses permainan itu sendiri. Misalnya, apabila multiple endings dalam film terwujud secara metaforis sebagai hasil dari tafsiran penonton, multiple endings dalam video game terwujud secara harfiah sebagai akibat dari perbuatan sang pemain game sebagai si tokoh utama cerita. Dimensi partisipasi aktif inilah yang menyebabkan video game memiliki kekuatan yang lebih besar untuk memproduksi dan mereproduksi ideologi melampaui bentuk-bentuk budaya pop lainnya. Itulah sebabnya, aneh bila para pengkaji budaya pop yang menggunakan perspektif Marxis tak pernah membuat studi khusus tentang video game. Ada berjubel kajian Marxis tentang film atau musik dan beberapa tentang komik, tetapi tidak ada satupun tentang video game—apalagi di Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)