Senin, 09 Januari 2017

Fidel

Pada awalnya adalah bagaimana manusia melihat dunia.

Fidel Alejandro Castro Ruz, penggerak resistensi terhadap hegemoni, el comandante bagi Amerika Latin, seorang pemimpin revolusi komunis Kuba, telah pergi untuk selamanya.

Setidaknya bagi Kuba, 13 Agustus 1926 adalah hari yang perlu diingat dalam sejarah mereka. Fidel lahir pada tahun tersebut dari keluarga petani kaya di Birán, sebuah desa di Holguín, Kuba. Fidel kecil menempuh pendidikan di salah satu sekolah terbaik di Havana, hingga ia masuk ke Universitas Havana. Di sana ia mengeyam pendidikan hukum dan memulai perjalanan politiknya.

Kehidupan Fidel muda dipenuhi oleh gejolak peristiwa yang melanda dunia di sekitarnya. Kejatuhan diktator Gerardo Macado di tahun 1933, hingga gema Perang Saudara Spanyol di tahun 1936-1939, mengiringi langkah Fidel dalam perjalanan hidupnya. Fidel sempat dipenjara selama hampir dua tahun yang berujung kepada pengasingannya di Meksiko. Pengasingan itu yang kemudian mempertemukannya dengan Che Guevara, kawan seperjuangannya dalam bergerilya di Sierra Maestra. Gerilya yang dilakukan Castro dan Guevara mengubah jalan takdir Kuba.

1 Januari 1959, Fulgencio Batista dipaksa untuk mundur dari kekuasaannya. Pada hari itu pula, Fidel Castro mencapai kemenangan akan gerakan 26 Juli yang dilakukannya. Huru hara di Havana menjadi momen penting bagi Amerika Serikat untuk mengambil langkah strategis dalam berurusan dengan gejolak anti-Amerika di Kuba.

Pemerintahan Batista yang sebelumnya didukung oleh Amerika Serikat, berangsur harus kehilangan pijakannya. Selama sebelas tahun kepemimpinan dari mantan tentara itu, belum pernah ada yang berhasil menjatuhkan rezimnya. Upaya untuk menumbangkan kekuasaan Batista, mulai dilakukan oleh Fidel sejak kedatangannya kembali ke Kuba tahun 1956. Saat itu, korupsi dan kekejaman yang merajalela, menjadi alasan Fidel untuk menggulingkan pemerintahan tersebut.

Ketidakpuasan sosial yang terpendam di masyarakat, digunakan oleh Fidel untuk menumbangkan rezim Batista yang sedang berkuasa. Fidel mampu menciptakan kembali identitas nasional bagi negara yang masih muda. Di Kuba, Fidel melahirkan ‘Komunisme ala Karibia’ dengan pokok pikiran Marx-Lenin yang dibumbui oleh pemikiran pahlawan kemerdekaan Kuba, José Martí. Pemerintahan komunis di bawah Fidel Castro bertahan selama 47 tahun. Pada tahun-tahun tersebut, Fidel menempatkan Kuba di dalam konstelasi politik internasional.

Penggalan narasi terkait kisah perjalanan hidup miliknya dapat ditemukan di mana-mana, akan tetapi perlu kita catat beberapa hal penting yang menjadi sumbangan besar dari Fidel untuk dunia.

Salah satu gagasan utama yang menjadi landasan pemikiran Fidel adalah bahwa perjuangan terhadap masa depan dan masa lalu bangsa, harus melalui revolusi. Bagi Fidel, Kuba tidak akan pernah berhenti menjalankan revolusi. Di balik karisma Fidel yang menjadi salah satu ikon revolusi di abad ke-20, ia memiliki peran substansial dalam membangun perlawanan terhadap dunia Barat. Fidel Castro merupakan simbol perlawanan dan inspirasi bagi pemberontakan, tidak hanya di Afrika dan Amerika Latin, tetapi juga di seluruh dunia. Bagaimanapun caranya, ia menginginkan berakhirnya kolonialisme secara global.

Perjuangan Fidel untuk menentang kolonialisme seringkali dikaitkan dengan pertanyaan penting yang diajukan oleh Fidel, di manakah kesuksesan kapitalisme di Amerika Latin, Asia, maupun Afrika? Fidel beranggapan bahwa kapitalisme membawa umat manusia kepada kompetisi, perang, dan kemunafikan. Revolusi menjadi jawaban dari perjuangan untuk menentang kolonialisme di negaranya.

Fidel Castro merupakan gerilyawan sejati yang berani mengambil posisi di dalam persinggungan antarideologi.

Dalam hal ini, bangsa Indonesia memiliki kisahnya sendiri dengan pemimpin besar revolusi Kuba ini. menjadi daya tarik tersendiri bagi Sukarno pada masa kepemimpinannya.

Bandara Havana menjadi saksi ketika riuh suara rakyat Kuba menyambut kedatangan Sukarno di tanah kelahiran Fidel Castro. Rakyat Kuba membentangkan poster “Viva President Soekarno” saat menyambutnya. (Merdeka, 13 Juni 2012) Gegap-gempita akan revolusi seakan mewarnai kedatangan Sukarno yang sama-sama menentang kolonialisme di Indonesia.

Barangkali terdapat satu kesamaan dari Fidel Castro dan Sukarno, keduanya sama-sama tidak mau didikte oleh bangsa Barat. Bagi keduanya, kolonialisme memiliki forma baru di dalam dunia modern, menembus batas-batas konvensional dalam makna sederhana. Sukarno menginginkan dunia ini terbebas dari apa yang disebutnya neo-kolonialisme dan neo-imperialisme yang tetap hadir di berbagai kawasan dunia. Hal serupa juga dimaknai oleh Fidel Castro, sehingga persahabatan antara keduanya tidaklah sulit untuk terjalin. Pada saat dunia penuh dengan perselisihan, Amerika Serikat terus ‘menuntut’ masing-masing bangsa untuk berpihak kepadanya. Jalan yang diambil oleh Kuba adalah melawan sepenuhnya, lain dengan Indonesia yang memilih untuk bebas tidak terikat dalam kubu manapun.

Ketika runtuhnya komunisme di Eropa pada tahun 1991, Fidel Castro mengatakan "Capitalism has neither the capacity, nor the morality, nor the ethics to solve the problems of poverty.” (The Guardian, 26 November 2016) Idealisme yang dimiliki oleh Fidel, membawa Kuba menghadapi berbagai tekanan dari berbagai negara di dunia, termasuk embargo dari Amerika Serikat. Kedekatan Kuba dengan Uni Soviet dan ideologi komunis, membuat terputusnya hubungan diplomatik Kuba dengan negara tetangganya, Amerika Serikat. Keadaan tersebut kemudian kembali normal pada tahun 2015.

Fidel Castro, bagi sebagian besar masyarakat dunia adalah seseorang yang membawa Kuba kepada kemandirian. Revolusi yang dijalankannya merupakan inspirasi bagi seluruh umat manusia yang menghargai kebebasan. Ketika Kuba menghadapi ancaman dan tekanan dari dunia Barat, Fidel tetap meyakinkan rakyatnya untuk terus menjalankan revolusi.

Mengingat terdapat lebih dari 600 upaya Amerika Serikat untuk menewaskan Fidel, pada tahun 2006, dalam pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Amerika Latin, Fidel mengatakan “I’m really happy to reach 80. I never expected it, not least having a neighbor, the greatest power in the world, trying to kill me every day.” (The Guardian, 27 November 2016) Bagi Fidel, revolusi tidak dapat ditempuh di jalan yang mulus, melainkan penuh dengan perjuangan yang sarat dengan pengorbanan.

Memang sejarah telah mencatat bahwa Kuba tetap mengalami masa-masa sulit di bawah kepemimpinan Fidel. Ia memiliki istilah tersendiri di dalam menggambarkan situasi tersebut, “el período especial” (periode istimewa), saat Kuba mengalami krisis ekonomi pasca terpecahnya Uni Soviet di Eropa.

Pada akhirnya, bagaimana manusia melihat dunia akan mengantarkannya kepada takdirnya.

Barangkali setelah kepergian Fidel untuk selamanya, sebagian masyarakat dunia dapat mengutuk berbagai tindakannya. Boleh jadi Fidel akan mengatakan hal yang sama dengan apa yang diucapkan pada pidatonya tahun 1953:

Condenadme, no importa, La historia me absolverá
(kutuklah aku, tidak masalah, sejarah akan membebaskanku)

Adiós El Caballo

=========================
Sumber: Majalah Loka
=========================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...