Kamis, 31 Desember 2015

Bukan Menara Gading

Di atas Selat Madura pada 1971 sebuah pesawat terbang meledak dan jatuh ke laut biru. Seluruh penumpang raib. Tak ada yang tahu pesawat meledak karena menabrak mesin waktu. Satu orang selamat, tapi terdampar ke masa silam.

Akhir Perjalanan Bersepeda Motor Ekspedisi Indonesia Biru

Setahun sudah dua pengelana bersepeda motor "Ekspedisi Indonesia Biru" Dandhy Dwi Laksono (39) dan "Ucok" Suparta Arz (34) berkeliling Indonesia.

Sejumlah Figur Ternama Tutup Usia pada 2015

Dari Ali Wardhana, Pak Raden, hingga Ben Anderson

Wijaya Herlambang Dalam Kenangan Pemuda Islam Kiri

BEBERAPA hari setelah kepergian Wijaya Herlambang, kawan Martin Suryajaya menuliskan obituari yang bertenaga dan tak biasa sebagaimana umumnya sebuah obituari. Di sana Martin membabarkan tugas maha berat bagi gerakan kiri untuk melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh Wijaya melalui karya terkenalnya “Kekerasan Budaya Pasca 1965”. Untuk hal ini kita semua—yang mengaku kiri—bersepakat dengan Martin. Begitupun dengan saya.

Kematian yang Tak Puitis

Manusia tidak pernah tahu, apakah usianya nanti akan sepanjang polemik sastra di Indonesia, atau sesingkat isapan rokok. Manusia hanya tahu, usia membentang dari lahir ke mati, sejak tangis tunggal sampai tangis massal. Hari-hari ini kita dibikin terkejut oleh kabar wafatnya Wijaya Herlambang, yang masyhur lewat buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (2013). Pasalnya, Wijaya Herlambang terhitung muda dan masih penting perannya dalam kajian sastra Indonesia. Buku yang ditulisnya pun sekadar awal, dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian.

Berpulang dengan Kemenangan

Kaget. Tak ada yang menyangka jalan kematian begitu lekas menemui Wijaya Herlambang. Semua yang mengenal Bang Jay, sapaan akrabnya, tentu tahu kalau ia menderita penyakit kanker. Kanker pankreas. Namun semua kita juga tahu, kalau kondisi Bang Jay mulai membaik malah sudah banyak beraktivitas lagi.

3 Warisan Wijaya Herlambang untuk Anak Muda di Indonesia

Yang Saya Kenang dari Wijaya Herlambang

SAYA akan mengenang Wijaya Herlambang tanpa melankoli. Sebab ia meninggalkan pada kita setumpuk tugas yang masih belum usai, tugas-tugas yang masih perlu dikerjakan. Oleh karena itu, saya tak akan membuang waktu dengan pertunjukan kesedihan dan parade air mata, melainkan dengan memikirkan tugas-tugas itu. Karya besarnya, Kekerasan Budaya Pasca 1965, telah membukakan ruang penyelidikan yang begitu luas. Melalui tulisan ini, saya akan mengenang Wijaya Herlambang sebagai buku-buku yang akan datang, sebagai kitab-kitab yang belum dituliskan, sebagai sehimpun pekerjaan yang masih harus disudahkan, yang menyusun sebagian jalan menuju sosialisme Indonesia.

RIP Wijaya Herlambang: Membongkar Dusta Agen Kebudayaan

Wafat: Jumat, 4 Desember 2015

Peristiwa terbunuhnya 7 jenderal pada 30 September 1965 masih belum menemukan jawabnya yang pasti. Siapa pelakunya? Namun bagi pendukung Suharto dan Orde Baru gampang saja: PKI satu-satunya yang harus bertanggung jawab. Tidak demikian dengan para peneliti, akademisi, dan aktivis. Jawabannya tidak sesederhana menjentikkan telunjuk ke arah PKI.

Belajar dari Tsunami

Menyusuri pantai barat Aceh dengan perahu di hari kelima setelah tsunami, 10 tahun lalu, saya hanya bisa membayangkan betapa dahsyat gelombang laut menghajar daratan.

Rabu, 30 Desember 2015

Kado Natal untuk Papua

Pelajaran Geografi atau IPS di bangku sekolah masa Orde Baru memperkenalkan kita deretan 27 provinsi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat itu salah satunya adalah Provinsi Irian Jaya, yang sebelumnya adalah New Guinea, dan saat ini menjadi Papua. Berkali-kali berganti nama pada kenyataannya tidak membuat nasib rakyat Papua bergeser dari kemiskinan dan keterbelakangan, sekalipun kandungan perut buminya tak ada duanya (apalagi tiga) di tempat lain.

Natal dan Teologi Cinta

Dulu saat masih remaja, saya (dan mungkin sebagian besar kita) dijejali dengan doktrin kebencian terhadap agama lain, terutama Kristen. Kalau melintasi gereja dan melihat orang-orang menghadiri upacara misa di dalamnya, dada kita terasa mangkel menahan gejolak benci, dendam, dan kehendak untuk menyerang.

Faktor Raam

Oleh: Ade Armando

Film Buruan Cium Gue (BCG) diprotes dan diminta ditarik dari peredaran. Sebagian pihak menganggap ini sebagai pertanda menguatnya konservatisme cara beragama di Indonesia. Memang, ada kesan bahwa keberatan datang terutama dari kalangan beragama. Yang datang ke LSF, mendatangi Kementerian Budaya dan Pariwisata, serta melakukan kampanye ''boikot BCG'' adalah Aa Gym bersama rombongan yang di dalamnya ada beberapa artis berjilbab. Begitu pula Majelis Ulama Indonesia, beberapa rohaniawan Kristen dan Katolik, bersuara.

Selasa, 29 Desember 2015

"Buruan Cium Gue" dan Kontroversinya

"Buruan Cium Gue" dan Kontroversinya
(Surat Terbuka buat Penandatangan Petisi Utan Kayu)

Dari: Farid Gaban
----------------------------
Pena News Service Syndicate

Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya melupakan aspek substansial dari apa yang diperdebatkan. Salah satunya tentang kontroversi film "Buruan Cium Gue" yang diproduksi raja sinetron Raam Punjabi.

Orang Indonesia Boros Energi?

Salah satu argumen yang sering mengemuka dalam perdebatan subsidi BBM adalah bahwa harga BBM yang rendah cenderung membuat orang boros energi. Argumen ini mencakup alasan lingkungan: harga BBM rendah memicu pemborosan energi minyak (fosil) yang tak ramah lingkungan, sehingga memicu polusi dan global warming.

Kamis, 24 Desember 2015

Papua dalam Dua Nasionalisasi

1930-an. BOVEN Digoel, Papua, tiba-tiba kedatangan tamu tak diundang: ‘orang buangan’. Pemerintah kolonialisme Belanda yang gerah pada sejumlah aktivis politik dan aktivitas politik mereka yang dianggap berbahaya saat itu, akhirnya ‘merumahkan’ paksa para tokoh pergerakan nasional dari Batavia ini. Boven Digoel, belantara penuh wabah malaria itu, kini punya penghuni baru—selain binatang buas dan legenda yang menyelimutinya. Tapi hal ini tidak berlangsung lama: desakan dari berbagai pihak terhadap pemerintah Belanda akhirnya membuahkan hasil. Kebebasan. Tapi kebebasan (dan pembebasan), sebagaimana kita tahu, mesti bersyarat—meski tak langsung: frekuensi dari aktivitas pergerakan ‘nasional’ dibatasi.

Selamat Ulang Tahun Papua

Tidak ada yang lebih menyakitkan hari ini selain mengucapkan selamat ulang tahun kepada bangsa yang masih terjajah, diliputi kemiskinan, menghadapi perampasan tanah tanpa henti, pelanggaran HAM dan pembungkaman politik tanpa jeda hingga berita soal kematian anak-anak yang hingga kini belum jelas penyebabnya.

Rabu, 23 Desember 2015

Pilkada Langsung atau Demokrasi Langsung?

Demokrasi Yang Cacat

Sebelumnya dikeluhkan kualitas demokrasi di Indonesia masih buruk, sangat mahal, dan sering hanya menghasilkan kegaduhan politik. Dari segi frekuensi dan jadwal pelaksanaan, Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa dengan jumlah 34 provinsi dan 497 kabupaten/kota, berarti tiap tiga hari ada pilkadal yang diselenggarakan di Indonesia! Proses pemilihan kepala daerah dan presiden/DPR yang berdekatan dianggap menjenuhkan pemilih sehingga berdampak pada tingkat partisipasi. Dalam pemilu 2014 lalu misalnya, jumlah golongan putih (golput) mencapai 57 juta (29,8%).

Selasa, 22 Desember 2015

Berpuasa, Tapi Di Malam Harinya Mabuk-Mabukan

Tanya:
Assalamu’alaikum ustad, bagaimana hukumnya orang puasa tapi pada waktu malam harinya minum minuman beralkohol? Wassalam..

(Urip via Surel)

Selasa, 01 Desember 2015

Remaja yang Mandiri Lebih Tahan terhadap Konten Berbahaya

Tidak diragukan lagi bahwa kini sangat banyak remaja yang menggunakan internet. Internet kini menjadi bagian yang penting dan tempat yang mengasyikkan bagi remaja terutama karena tersedianya banyak layanan yang membuat mereka senang. Namun, tentu orangtua khawatir dengan aktivitas anak-anaknya di internet sehingga mereka pada usia tertentu perlu didampingi. Namun, mungkin orangtua perlu tidak terus-menerus mendampingi mereka. Mereka perlu diberikan kepercayaan untuk mengelola sendiri layanan yang mereka gunakan atau mandiri agar mereka bisa lebih tahan banting terhadap konten berbahaya.

Duo Srigala dan Hal-hal yang Menggantung

Belakangan ini, entah mengapa, semesta kerap mendekatkan saya dengan dangdut. Pertama, meski tak dangdut-dangdut amat jika dilihat dari analisis dangdut studies derajat manapun, saya terkejut bukan alang-kepalang ketika mendengar Ridho Rhoma punya lagu moving on. Selain karena saya pernah menghitung selama sehari lagu ini pernah diputar hingga 14 kali di salah satu stasiun radio, saya tak menyangka bahwa lagu ini dinyayikan Ridho Rhoma, anak Si Raja Dangdut. Saya terkejut sebab warna suara Ridho di lagu itu jelas tidak mencerminkan seorang pewaris brewok dan bulu dada trah Irama.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...