Daripada Saut Situmorang, saya lebih dulu mengenal Sitor Situmorang. Kadang saya sering salah kaprah dalam membedakan keduanya; yang bahkan antara keduanya, sepanjang sejarah perkenalan saya dengan keduanya, memang ada perbedaan yang amat mendasar. Saut saya kenal lewat media internet sementara Sitor, untuk pertama kali, saya kenal lewat buku puisinya yang dikumpulkan dalam dua antologi besar waktu saya masih menyandang mahasiswa IAIN Walisongo (sekarang UIN) Semarang.
Kesalah-kaprahan saya berlanjut hingga saya benar-benar bisa membedakan kedua penyair itu. Tentu demikian terjadi setelah saya mendengar Sitor telah mangkat pada akhir tahun lalu. Dengan begitu, terkadang sangat naif dan lugu jika saya salah menyebut antara almarhum Sitor dan almarhum Saut dalam berbagai kesempatan kajian sastra. Tapi justru dari sanalah muncul kekonyolan untuk membuat judul tulisan dengan menyertakan kata “Almarhum Saut Situmorang”. Beberapa hari — atau mungkin minggu — saya secara kekanak-kanakan menunggu momen entah apa untuk menuliskan judul itu. Keajaiban datang ketika Saut ditangkap polisi dan memunculkan banyak tanggapan di media sosial. Saya rasa, saya telah menemukan titik konflik.
Ditangkapnya Saut, bagi saya, tidak hanya sekedar memunculkan kesan tapi juga refleksi, mungkin juga reaksi. Pada milenium ini, Saut telah membuka segel baru dalam tradisi kekuatan bahasa dan kriminalisasi atas tutur kata. Kata ‘milenium’ mengukuhkan bahwa tradisi yang semula begitu lumrah diaplikasikan pra-reformasi, menjadi sangat tabu ketika terjadi di zaman demokrasi. Tradisi itu adalah politik kekuasaan atas apa yang tak patut disetir: sastra. Kasus Saut seolah ingin mengulang kembali masa-masa tatkala sastra dilawan dengan senjata dan bayonet. Sastra dibungkam dan disekap dalam rumahnya sendiri.
Tetapi tentu saya tak hendak berlaku gegabah dengan mengatakan bahwa kasus Saut sama dengan kasus yang terjadi pada sastrawan seperti Pram. Keduanya berbeda dalam tataran penggunaan media dan dalam masalah aksensi penuturan dan tentunya, juga dalam objek kritik. Perbedaan itu: Pertama, Saut menggunakan media sosial untuk menyerang dengan bahasa frontalnya: “Bajingan!”. Kedua, aksensi Saut dipandang tidak representatif — jika enggan mengatakannya kurang ajar — untuk mengomentari yang sesungguhnya bisa dikritik lewat bahasa ilmiah (melalui kritik sastra misalnya). Ketiga, objek kritikan Saut bukan politik pemerintahan tapi politik sastra Indonesia yang berusaha menguasai rumah bordil kesusastraan. Ketiganya mengukuhkan bahwa kasus Saut dan Pram beda tapi mirip.
Di zaman internet, sebenarnya, hampir setiap detik manusia disuguhi dengan peralihan budaya baru: bully. Budaya ini mengiringi era panjang perseteruan antara bahasa kasar dan bahasa halus, bahasa ‘tinggi’ dan bahasa ‘rendah’ (dalam bahasa Fayadl). Pun mengiringi perselingkuhan antara bahasa kritik dan kerupuk sarkasme. Saut, yang saya kenal, memang seseorang yang sangat aktif di media sosial. Tidak hanya twitter dan facebook, ia juga menyisir blog dan web. Saya pernah menjumpainya di blog Goenawan Mohamad. Saut berada di antara jurang budaya bully dan bahasa non-naif (yang sebenarnya lebih mampu mewakili isi pikiran). Ia memang tak hendak bersembunyi dalam selimut bahasa.
Saya tak hendak menjadi sok kenal dengan Saut hanya karena berambisi ingin menulis tentangnya dengan sedikit gaya kelakar. Saut tetap berjarak dengan saya dengan jarak yang, mungkin saja, tak akan pernah mendekat atau menjauh. Ketertarikan saya kepada Saut bukan berdasarkan cara ia menyampaikan kritiknya, tapi lebih kepada keberaniannya yang bisa saya nilai sebagai sebuah bentuk sikap heroik. Ketika bahasa naif bertebaran di mana-mana dan menguasai hampir semua cendikiawan (termasuk sastrawan), Saut tampil dengan garang dan algojois. Objek lawannya adalah politisasi sastra dan dominasi kekuatan sastra yang seolah ingin mengadopsi sikap diktator Suharto dan mengulang rezim itu ke dalam dunia sastra. Politisi sastra seperti berhak menentukan siapa emas siapa tinja; berhak menentukan siapa scene dan siapa obscene (meminjam bahasa GM). Agaknya, perilaku Saut bisa dinilai sebagai perjuangan sastrawi di era yang penuh dengan kenaifan ini.
Penangkapan Saut beberapa waktu lalu, memulai sebuah adegan dalam film heroik. Saya membayangkan seorang Saut sebagai Spider-man yang mendadak menjadi berkekuatan ketika ia dianggap berbahaya. Saut memulai filmnya dengan adegan disengat polisi dan ia berubah menjadi ancaman, pada satu sisi, dan menjadi pahlawan, pada sisi yang lain. Hanya saja film ini masih dalam penggarapan Tuhan. Atau jika film itu berupa episode, saya masih menanti episode selanjutnya.
Selain itu, penangkapan Saut didasari atas ketakutan-ketakutan politikus sastra terhadap kekuatan dedemit. Boleh jadi, Saut membangkitkan rasa traumatik mereka atas kekuatan tutur kata. Atau lebih jauh, kata-kata Saut dianggap memiliki daya magis dan menjadi seperti sebuah mantra yang mampu membahayakan lawan dan kawan. Saut, menurut Muhammad Al-Fayadl, memainkan percaturan politik performatif dalam lapangan kesusastraan Indonesia kontemporer. Secara lebih ilmiah, Fayadl menyebut perilaku Saut sebagai sebuah kekuatan politik yang dipelopori oleh sikap suatu golongan. Kekuatan politiknya adalah dalam kata-kata yang menyeberangi selat golongan itu dan memunculkan kegeraman-kegeraman, juga keresahan.
Kehadiran Saut ke permukaan mereduksi paradigma purba: bahwa sastra Indonesia memerlukan Paus seperti yang disandang H.B. Jassin dan yang (menurut klaim sebagian orang) disandang pula oleh Nirwan Dewanto. Sastra Indonesia sebenarnya lebih memerlukan algojo, yang ganas dan tak pandang bulu dan, tentu, tidak bersembunyi dalam selimut bahasa. Sastra Indonesia telah banyak dikepung oleh bahasa-bahasa pujian dan basa-basi. Hadirnya Saut meleburkan makna basa-basi ke dalam kulit keriput bahasa vulgar dan frontal demi kemajuan kesusastraan. Saut semakin menyembul ke permukaan setelah ia ditangkap pihak yang (katanya) berwajib.
Kini, di tengah banyaknya putung rokok yang dihempaskan penulis ke palung asbak, Saut mungkin saja tengah memandang bulan dari balik jeruji besi. Mungkin saja. Dengan begitu, fantasi saya jadi terbang jauh. Jika Saut memang mendekam di penjara, semoga ia tak jadi almarhum. Atau jika ia memang jadi almarhum, semoga ia masih muncul dan membuktikan eksistensinya seperti dalam larik sajaknya: pandanglah aku. aku kembali untuk menghantuimu!. Sastra Indonesia sedang dihantui almarhum Saut Situmorang.[]
Sumber: Medium
Tidak ada komentar:
Posting Komentar