Rabu, 10 Desember 2014

Khazanah: Pemahaman Islam yang Dikerdilkan?

Belajar Islam dari tayangan Khazanah? Tunggu dulu!

Oleh Abdul Wahid

Sejak 15 Mei 2012, Khazanah tayang selama 30 menit di saluran Trans 7, setiap Senin-Jumat pukul 05.30 WIB. Menggantikan beberapa program harian seperti Jalan Dakwah, Tabir Sunnah, Rahasia Sunnah, Ngaji Wali, dan Khalifah; Khazanah mulai tayang perdana pada 15 Mei 2012. Awalnya, Khazanah memosisikan sebagai program yang mengangkat ensiklopedi dunia Islam, baik mengenai sejarah Islam, perkembangan peradaban Islam, maupun ulasan mengenai hukum Islam. Kita dapat merujuk, misal, pada 30 Mei 2012 “Tanda akhir zaman”, 14 Mei 2013 berjudul “Laba-Laba dan Keunikannya dalam Islam”, 22 Mei 2013 dengan “Jejak Islam di Spanyol dan Perkembangannya hingga Saat Ini”, dan berbagai tema mengenai Islam.

Secara umum, Khazanah berusaha menghadirkan memori ‘manis’ mengenai sejarah Islam yang megah, keagungan ajaran agama, dan nilai-nilai lainnya baik yang bersifat moral maupun saintifik. Titik tekannya satu; Islam adalah agama yang sempurna. Tayangan ini pun rajin mengorek ingatan lama tentang Islam yang pernah jaya.

Jejak Islam di Spanyol, edisi 14 Mei 2013 misalnya, mengisahkan sejarah agung saat Islam berkuasa di kurun abad ke 8 hingga abad ke 15 Masehi, setelah pertama kali Thariq bin Ziyad berhasil memasuki Spanyol. Di masa ini, Spanyol mengalami perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang; seni, arsitektur, matematika, kedokteran, astronomi, dan bidang lain. Beberapa ilmuan Islam seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Alfarabi menjadi beberapa nama rujukan untuk memelajari ilmu tertentu. Bahkan, masyarakat Eropa disebut menyerap peradaban Islam melalui Ibnu Rusyd yang mengajarkan masyarakat Eropa berpikir secara rasional.

Namun demikian, penghadiran memori manis kejayaan Islam ini hanya akan meninabobokkan umat jika melepaskan realitas sosial. Menciptakan kesan Islam sebagai ajaran sempurna yang membawa kemajuan, mengharapkan perubahan masyarakat semata lewat penghadiran sejarah kejayaan, tak akan mengubah apa pun jika tidak diikuti dengan analisis sosial di zaman masyarakat itu hidup. Kejayaan Islam di masa lampau tidak bisa menjelaskan, apalagi menyelesaikan, kemiskinan masyarakat muslim dunia, korupsi yang dilakukan Surya Dhama Ali, ketimpangan harta seorang tokoh agama dan masyarakat ‘biasa’, serta deretan masalah lain yang tidak pernah dibicarakan tayangan ini.

Pola ensiklopedis ini sedikit bergeser, terutama memasuki 2013 dan setelahnya. Meski beberapa program mengenai peradaban Islam tetap dimunculkan, porsinya sedikit. Khazanah berusaha pindah dari tema-tema sejarah, kejayaan, dan nilai-nilai Islam yang luhur menuju pembahasan praktik kehidupan masyarakat sehari-hari. Sepanjang Februari 2014, hanya tiga episode yang mengangkat tema-tema kejayaan dan nilai luhur Islam; Peradaban China dalam Perspektif Islam (02 Februari 2014), Perkembangan Islam di Eropa (11 Februari 2014), dan Perang Masa Rasulullah (27 Februari 2014). Selebihnya, Khazanah lebih banyak mengangkat mengenai perilaku sehari-hari dalam beribadah, dan tampak berusaha untuk menjadi tayangan ‘rujukan pemahaman Islam’. Lihat saja episode-episode Aliran Sesat (03 Februari 2014), Tabah Menghadapi Musibah (12 Februari 2014), atau Mengundi Nasib (24 Februari 2014).

Pergeseran ini malah sering malahirkan protes dari lembaga keagamaan maupun elemen masyarakat. Beberapa lembaga keagamaan seperti Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, serta tokoh masyarakat seperti KH Tobali, dari Majelis Ulama Indonesia Jakarta Utara, pernah menyampaikan keberatan atas program acara ini[1]. Keberatan ini didasarkan pada beberapa episode tayangan Khazanah yang dianggap menyudutkan praktek laku ibadah, pada tataran ubudiyah (cara menjalankan ibadah). Dari aduan yang diterima Komisi Penyiaran Independen (KPI) Pusat, tayangan Khazanah ini selalu terkait dengan corak laku ibadah atau beragama di masyarakat. KPI mencatat, misalnya, protes Front Pembela Islam (FPI) atas episode Istighosah (02 April 2013)[2], atau protes Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) atas episode Syiah Bukan Islam (31 Oktober 2013)[3].

Konten dan Cara Pandang Sempit dalam Beragama

Tidak seperti program siraman rohani Islam seperti talkshow yang menitikberatkan pada narasumber, Khazanah mengandalkan narator sebagai pembangun utama narasi program acara. Narator ini kemudian membacakan skrip yang telah disusun tim produksi melalui intonasi serius dan seringkali dibumbui dengan berbagai lafadz-lafadz Islami; insyaallah, naudzubillah, masyaallah, dan seterusnya. Untuk memberikan legitimasi narasi, berbagai ayat Alquran dan Hadits disajikan dalam bentuk visual maupun voice over. Khazanah tampil meyakinkan karena selalu didukung dengan dalil Qurani.

Narasi ini sebenarnya ada di bawah pengawasan beberapa ustadz seperti Ust. Arifin Nugroho, Ust. Sarif Hidayat, dan Ust. Dr. Haikal Hassan. Rentetan ustadz tersebut hanya disebutkan di bagian akhir credit title, sebagai bagian dari redaksi, bukan sebagai tokoh yang hadir langsung di dalam tayangan, baik sebagai narasumber, bintang tamu, atau peran lain.

Kita mungkin akan berdebat mengenai format dan strategi penyampaian konten dalam hal efektivitas pesan yang sampai di masyarakat. Perlu telaah yang lebih mendalam, atau bahkan mungkin penelitian, untuk mengkaji peran tokoh agama dan anonimitas tokoh agama dalam program siraman kerohanian macam Khazanah. Namun dalam hal konten, Khazanah seringkali ceroboh, terutama dalam mengulas cara beribadah masyarakat yang berbeda (Khilafiah). Tayangan ini seakan-akan membingkai ajaran Islam sebagai ajaran yang dijalankan dengan satu cara.

Edisi 19 Mei 2013 yang membahas soal sholawat misalnya, menyebutkan bahwa membaca sholawat hukumnya wajib karena diperintahkan pada orang-orang yang beriman. Khazanah tidak menyebut kewajiban ini pada ritual sholat secara khusus. Meski disebutkan dalil Qurani sebagai pendukung, “sesungguhnya Allah dan Malaikatnya bersholawat atas Nabi” (QS: Al-Ahzab: 56), tapi kata perintah sholluu (bersholawatlah!) pada ayat yang sama tidak dijelaskan secara terang. Bukankah kata perintah tidak selalu bersifat wajib? Apabila ada pernyataan, “Mandilah sebelum kuliah”, apakah menjadikan kita memiliki kewajiban untuk mandi? Jika tidak mandi, apa tidak dapat berangkat kuliah? Dalam kajian fiqh, cara menghukumi (ijtihad) ini merupakan sebuah metode yang telah lama mendapat tempat di berbagai kajian oleh para pemikir pendahulu (salafiyah).

Kecerobohan ini seringkali menghasilkan hukum yang bersifat umum dan kaku. Jika satu tindakan dihukumi sebagai halal, maka di luar itu menjadi haram, sesat, tidak boleh diikuti, dan seterusnya. Dapat ditebak, program Khazanah hanya mengangkat satu sudut pandang cara beribadah masyarakat, dan menyalahkan praktik beribadah kelompok-kelompok di luar klaim Khazanah. Hal ini dapat dilihat dari klaim kelompok Syiah sebagai sesat (31 Oktober 2013). Khazanah melihat, beberapa hal yang berbeda dalam menjalankan cara beribadah, keyakinan terhadap keimaman Ali, dan perbedaan lain. Perbedaan ini, menyebabkan Syiah kemudian diklaim tidak dapat disebut sebagai Islam. Dengan demikian, Syiah adalah sesat, harus dijauhi, tidak mendapat hak layaknya umat Islam lain, dan seterusnya.

Kompleksitas masalah dalam cara beribadah tidak dapat dihakimi melalui satu sudut pandang tertentu, mengingat konteks sosial yang berbeda di setiap masyarakat. Fiqh merupakan produk zaman saat para mujtahid (pemberi fatwa) berupaya mendialogkan antara prinsip-prinsip ajaran dan konteks sosial yang berkembang di masanya[4]. Perbedaan konteks sosial ini yang melahirkan hukum yang berbeda mengenai cara beribadah. Dengan demikian, perbedaan dalam hal cara beribadah merupakan sebuah kepastian. Pandangan berbeda (khilafiah) ini tidak lantas berarti bahwa masyarakat terbagi dalam kutub muslim-kafir, sesat-taat, patuh-menyimpang, serta kategori-kategori lain yang justru memecah umat. Berselisih pandang tidak dilarang, sepanjang dilakukan melalui metode ketat yang telah disepakati[5]. Metode menghukumi ini dapat ditelaah lebih lanjut melalui kajian fiqh, ushul fiqh, asbabunnuzul, asbabul wurud, ilmu hadits, dan lain sebagainya.

Klaim-klaim di atas secara sederhana hanya akan dipahami sebagai jargon yang merujuk pada kelompok yang salah dan benar. Jargon ini kemudian dikuatkan dengan beberapa kalimat islami seperti masyaallah, alhamdulillah, subhanallah, dan lain sebagainya. Tentu saja, penggunaan kalimat tersebut untuk meyakinkan khalayak, bahwa program Khazanah merupakan program Islami yang dapat dijadikan rujukan memahami ajaran Islam.

Alih-alih menjadi program rujukan dalam memahami agama, Khazanah justru menyempitkan cara pandang masyarakat dalam memahami agama. Ajaran agama hanya dipahami sebagai jargon yang harus didengungkan agar disebut sebagai muslim, tidak sesat, dan patuh. Seakan, dengan mengucapkan alhamdulillah, sudah bisa disebut sebagai muslim yang baik.  Islam hanya ditampilkan secara banal dan dangkal.

Masalah banalitas konten, selanjutnya membawa konsekuensi pada pengerasan cara pandang masyarakat penikmat program ini, terutama masyarakat yang masih awam dengan ajaran Islam. Pengerasan cara pandang ini dilahirkan dari narasi Khazanah yang melupakan praktik sosial dalam masyarakat; bahwa sebelum mengatakan sebagai adzab misalnya, terdapat realitas yang dapat diidentifikasi melalui pengetahuan. Kita dapat melihat misalnya, pada Khazanah, edisi 19 Agustus 2014 yang mengangkat topik Adzab Dunia. Melalui bangunan narasi tunggal dari seorang narator, Khazanah melihat, perbuatan dosa merupakan pangkal dari segala kerusakan di dunia dan akhirat. Kita dapat melihat penggalan narasi berikut:
Sesungguhnya perbuatan dosa dan maksiat itu memiliki pengaruh kuat terhadap kesehatan badan dan hati. Di samping memberikan kesialan yang nyata dalam hidup umat dan bangsa. Perlu diketahui, bahwa perbuatan dosa itu memiliki dampak yang buruk dan dampak buruknya terasa di dalam hati. Sebagaimana racun berdampak buruk ke dalam tubuh.
Khazanah menganggap hidup manusia mengalami kesialan yang nyata jika melakukan maksiat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kesialan ini diukur? Apa keterhubungan logis antara maksiat dan kesialan? Apakah kita dapat menunjuk tsunami sebagai adzab yang disebabkan oleh kemaksiatan di masyarakatnya? Khazanah mengajari kita untuk membedakan antara musibah dari azab; yang pertama untuk orang beriman, yang kedua untuk orang kafir. Atas dasar apa kita mengklaim sebuah masyarakat sebagai beriman atau kafir?

Tuntutan untuk tahu berdasarkan ilmu pengetahuan juga merupakan tuntutan ajaran agama. Peristiwa tsunami, terlepas dari penamaannya sebagai adzab atau cobaan, tentu harus dilihat dari berbagai pengetahuan yang sudah tertata. Tsunami dapat dilihat melalui ilmu geologi, astronomi, dan berbagai ilmu lain secara sistematis. Tsunami tidak cukup disederhanakan dalam term ‘adzab’. Hal yang lebih penting adalah berpikir berdasarkan ilmu, yang merupakan bagian dari hukum alam (sunatullah) itu sendiri.

Dengan menyebut bencana sebagai adzab tanpa usaha menganalisis berdasarkan sistem pengetahuan yang sudah ada, Khazanah hanya menumpulkan umat dalam berpikir. Segala hal akan disederhanakan dalam istilah-istilah “cobaan”, “adzab”, “sesat”, dan seterusnya. Saat Khazanah mengatakan aliran Syiah sesat, klaim ini bisa jadi berimbas pada cara masyarakat memerlakukan penganut Syiah. Padahal, masyarakat sendiri tidak pernah tahu, bagaimana golongan Syiah ini lahir dari kerumitan politik di awal masa perkembangan Islam.

Penempatan isu keagamaan di dalam tayangan televisi memang banyak mendapat kritik, terutama mengenai keengganan melekatkan kajian agama dengan ilmu pengetahuan, serta memunculkan memori kejayaan tanpa melihat praktik sosial di masyarakat.

Masalah-masalah yang mengemuka ini bukan disebabkan oleh agama itu sendiri, melainkan oleh bagaimana agama dipahami. Sepanjang umat diam dalam menghadapi masalah ini, tayangan berbasis keagamaan yang dangkal akan terus beranak pinak. Umat pun dijejali kepalsuan dan imajinasi berlebih sebagai “yang paling muslim”, “yang paling taat”, dan seterusnya.

Khazanah tidak mengajarkan kita untuk melihat realitas secara saintifik, ia tidak mengajarkan kita untuk melihat akar permasalahan sosial secara sistemik di dalam struktur sosial itu sendiri. Ia hanya mengajarkan kita untuk merapal mantra; “Kita miskin, maka kita harus sabar—ini adalah cobaan dari Tuhan”.

----------------------------------
[1] http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/04/18/mleuqe-kpi-peringatkan-khazanah-trans7
[2] http://kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/31296-mui-televisi-harus-hindari-bahasan-khilafiyah-untuk-hindari-kegaduhan-yang-kontraproduktif
[3] http://kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/31689-kpi-mediasi-ijabi-dengan-trans7-soal-khazanah
[4] Haris, Ahmad Faidi. 2012. The Spirit of Islamic Law (Membongkar Teori Berhukum Statis menuju Hukum Islam Dinamis). Yogyakarta: SUKA-Press UIN.
[5] Jum’ah, Ali. 2012. Bukan Bidah: Menimbang Jalan Pikiran Orang-Orang yang Bersikap Keras dalam Beragama. Tangerang Selatan: Lentera Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...