Jika kita membaca kembali enam rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas terkait subsidi BBM, maka inti dari rekomendasi tersebut sebenarnya adalah hapus subsidi BBM melalui penghapusan Premium (RON 88). Usulan memberikan subsidi tetap kepada RON 92 (setara Pertamax), semisal Rp500 per liter, sesungguhnya cuma dagelan saja.
Dengan dihapuskannya Premium, maka nantinya minimal hanya tinggal ada RON 92 di pasar ritel migas kita. Semua orang mau tidak mau harus mengkonsumsi BBM jenis RON 92. Jika RON 92 diberi subsidi tetap, dan itu dinikmati oleh seluruh segmen pengguna dengan tanpa perkecualian, lalu dikemanakan itu argumen “SUBSIDI SALAH SASARAN” yang selama ini didengungkan pemerintah?! Bagaimana nasibnya argumen “SUBSIDI BBM LEBIH BANYAK DINIKMATI ORANG KAYA” jika skemanya begitu?!
Ya, inti rekomendasi itu tak lain adalah menghapus BBM bersubsidi dari pasar hilir migas kita. Dan bersamaan dengan itu, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya secara tidak langsung Pertamina dituntut untuk segera meng-upgrade kilang-kilangnya agar hanya menghasilkan RON 92 dalam kapasitas yang lebih besar dari sekarang.
Dalam jangka panjang, sebenarnya tidak ada yang bermasalah dari poin kedua ini. Persoalannya, darimana Pertamina bisa memperoleh dana segar untuk melakukan investasi besar-besaran itu, ketika pada saat yang bersamaan Pertamina juga dituntut untuk bisa mengambil-alih, misalnya, pengelolaan blok-blok migas yang selama ini dikelola oleh asing dan akan habis kontraknya pada tahun-tahun mendatang, yang tentunya juga membutuhkan investasi yang tak sedikit?!
Persis di situ rencana jual saham (IPO) Pertamina akan mendapat legitimasi, yang mana porsi penguasaan dan pemilikan negara atas BUMN migas itu akan menjadi berkurang. Masihkah ada artinya pengambil-alihan blok migas oleh Pertamina, jika kepemilikan Pertamina nantinya tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh negara?!
Oleh karenanya, saya bisa memahami kekhawatiran Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI): State oil company kita, Pertamina, memang sedang digerogoti. Jika Premium RON 88 dihilangkan, maka produk valuable Kilang Pertamina jadi jeblok atau hancur. Akibatnya pesaing (pihak asing) akan merajalela, apalagi mereka tidak punya kewajiban dan kemauan untuk supply BBM ke pelosok tanah air
Tiba-tiba saya jadi teringat buku Noreena Hertz yang jadi best-seller pada pergantian Milenium silam, “The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy”. Ketika kita sedang duduk asyik menonton televisi, tulis Noreena, tentakel-tentakel kapitalisme, yang tidak pernah ikut pemilihan umum, menjalar ke mana-mana mengambil alih aset-aset publik dari tangan pemerintah yang telah kita pilih secara demokratis.
Jadi, sementara Anda menonton film “Senyap” yang dibikin oleh Joshua Oppenheimer, dan sibuk memuji atau bertengkar mengenainya, reality show “The Silent Takeover” terus bekerja dalam senyap. Tidak di kelampauan, tapi persis hari ini.
Tarli Nugroho, peneliti pada Mubyarto Institute, Yogyakarta
Sumber: Berisik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar