Rabu, 06 Januari 2016

Karya Sastra Terbaik 2015 versi Jakartabeat: Kambing dan Hujan – Mahfud Ikhwan

Ada banyak kesulitan jika kita hendak melabeli sebuah karya sastra sebagai terbaik. Haruslah ada dasar untuk meletakkan suatu karya, sehingga dianggap lebih baik dari yang lainnya. Penilaian antara satu orang dengan orang lainnya bisa saja berbeda karena selera dan pengetahuan setiap orang tidak sama. Namun dalam hal ini kita bisa menyepakati, misalnya, kebaruan tema, kebaruan cara bercerita, serta kemulusan penggarapan antara tema dan cara bertutur menjadi faktor-faktor terpenting dalam menilai suatu karya. Selain pertanyaan tentang apa yang ditawarkan para sastrawan dalam karyanya, eksekusi selalu lebih penting dari ide. Boleh saja ide bagus luar biasa, tapi jika eksekusi jelek, apa gunanya?

Catatan kecil ini diupayakan memperkecil kemungkinan bias dan subyektif. Namun berdasarkan pemantauan acak sepanjang tahun 2015, bolehlah dikatakan kita bisa bergembira dengan lahirnya para penulis yang masih muda usia sekaligus meledak-ledak semangatnya. Mereka bisa bersaing dengan para penulis mapan, umpamanya katakanlah Seno Gumira Ajidarma atau Sapardi Djoko Damono, dan mewarnai dunia sastra Indonesia dengan kisah-kisah yang tidak terlalu “urban” maupun cara penceritaan yang biasa-biasa saja dan mudah ditebak.

Berdasarkan diskusi intens tim redaksi dengan dua penyusun tamu istimewa kami Fadjriah Nurdiasih dan Teguh Afandi, kami menyepakati bahwa karya sastra terbaik 2015 versi Jakartabeat jatuh kepada:

Kambing dan Hujan: Sebuah Roman

Pengarang: Mahfud Ikhwan
Format: Novel
Tanggal Rilis: Juni 2015
Penerbit: Bentang Pustaka

Novel pemenang Sayembara Novel DKJ tahun 2014 ini menyita perhatian karena menyoroti konflik horisontal antara dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Konflik yang sejatinya perihal masalah pilihan, kemudian dibalut dengan kisah cinta antara Fauzia dan Miftah. Konflik antara dua anak muda ini lantas membuka tabir rahasia yang membuat kedua orangtuanya saling berseberangan pendapat.

Selain konflik cantik, novel ini mampu menyajikan narasi yang menarik dan bagaimana peurbahan sudut pandang tidak sekadar perubahan subjek pencerita. Suara-suara yang berkisah dalam novel ini benar-benar mewakili tokoh-tokoh yang kokoh. Maka patutlah novel ini menjadi pemenang sayembara bergengsi dua tahunan itu. Pilihan untuk mengakhiri konflik dengan cara cantik ala penulis juga menjadi tekanan yang kontekstual tentang gesekan antara dua organisasi pada masa kini.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Penghargaan Khusus:

1. Perempuan Patah Hati yang Menemukan Cinta Melalui Mimpi (Eka Kurniawan)

Memang ini bukan karya-karya puncak Eka Kurniawan dalam menulis cerpen, tetapi beberapa cerpen menunjukkan bagaimana ia mengolah cerita menjadi sajian yang berbeda.

Eka begitu jeli menceritakan kesederhanaan tema dengan sudut penceritaan unik, yang mungkin saja dianggap oleh penulis lain tidak terlalu seksi untuk dijadikan cerpen. Mungkin bagi penulis cerpen lain tidak akan terpikir mengungkapkan perasaan sebuah batu di taman, yang tanpa sengaja dipergunakan untuk membalas dendam. Namun Eka mampu menghidupkan batu dengan kepulan dendam dalam cerpen Cerita Batu.

Atau bagaimana Eka mengubah guyonan soal bagaimana gajah masuk kulkas dengan humor satir. Selain kadar humor yang cukup, Eka tetap menyisipkan kritik politik dengan menggunakan gaya seorang sastrawan.

2. Tanjung Luka (Benny Arnas)

Titik awal Benny Arnas dikenal publik sastra Indonesia adalah dengan menghadirkan prosa-prosa Melayu. Melayu dari tema dan Melayu dengan kelenturan bahasa. Karya paling fenomenal dari Benny adalah Bulan Celurit Api. Buku ini memang tidak bisa lepas dari kesan Melayu dan bunga-bunga kata khasnya.

Namun keunikan lain dari novel ini adalah pergeseran dari novel roman Melayu ke thriller yang sedikit mencekam, juga pembenturan antara budaya lokal dan budaya modern. Dalam novel ini Benny Arnas menyuguhkan peliknya sebuah mitos dan kutukan hingga merembet ke kasus pembunuhan. Dan bila dicermati, sampai akhir, kita tidak akan menemukan siapa sebenarnya tokoh utama, protagonis, atau pahlawan dalam novel ini. Karena memang demikianlah manusia, selalu memiliki sisi gelap yang suatu saat akan menjadi lebih dominan.

Sumber: Jakartabeat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...