Rabu, 10 Februari 2016

Komersialisasi Air

Di Indonesia, khususnya Jakarta, air tidak mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Air mengalir ke tempat yang ada uangnya. Siapa yang berpunya, ia yang menikmati air dan sebentuk hak asasi manusia.

Hukum gravitasi seperti itu tidak berlaku alamiah untuk urusan layanan air di Indonesia. Air mengalir deras secara liberal dari mata air di desa atau air perpipaan di kota-kota menuju ke tempat-tempat yang mampu membayar.

Sebagai barang utilitas yang seharusnya dikelola negara, air semakin bergeser menjadi barang komoditas. Upaya terus-menerus memberikan harga terhadap air telah mereduksi nilai utuh air.

Studi-studi yang mengkritik komersialisasi air menyebutkan ada upaya terus-menerus mendidik publik, terutama di negara berkembang, untuk melihat air sebagai barang ekonomi ketimbang barang sosial dan hak. Program Penyesuaian Struktural yang dilansir Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia menyihir segala sumber vital di tengah publik, seperti air, sebagai pendapatan dan untung-rugi ketimbang modal sosial bagi keberlanjutan hidup masyarakat.

Mohamad Mova Al’Afghani, akademisi yang disertasinya meneliti layanan air di Indonesia dan mendirikan Center for Water Governance, mengatakan, ketika layanan air dan sanitasi menjadi bisnis dan pelayanannya diswastanisasi berdasarkan logika full cost recovery (seluruh biaya ditanggung konsumen), seperti di Jakarta, akhirnya terjadi ketidakadilan spasial.

Di berbagai kota di Indonesia, daerah-daerah yang memiliki saluran air dan sanitasi yang baik umumnya berada di sekitar daerah elite. Cirinya memiliki banyak taman hijau resapan, gorong-gorong, dan saluran air. Adapun di daerah menengah ke bawah, kondisi air dan sanitasinya relatif jeblok. Sarana publiknya kumuh dengan got dan kali yang kotor. Kondisi itu bukan kebetulan belaka. Sebab, urusan air dan sanitasi di Indonesia sangat bias kelas sosial.

Ambil contoh Jakarta, yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa dengan Indeks Pembangunan Manusia tertinggi di Indonesia. Ternyata infrastruktur saluran pembuangan limbah di Jakarta hanya tersedia kurang 2 persen dari populasi. Itu pun sebagian besar warisan kolonial Belanda. Bisa dibayangkan ke mana selama ini limbah rumah tangga dan kotoran manusia Jakarta dibuang.

Ada sekitar 14 ribu ton tinja per hari di Jakarta yang dibuang ke badan air. Pencemaran berlangsung seturut tinggi kebutuhan air bersih dari sumur tanah dangkal sebagai pengganti air perpipaan yang disediakan pemerintah.

Jakarta yang penduduknya padat, pengguna sumur tanah dangkal umumnya berdekatan jaraknya dengan tangki tinja. Muncul penyebaran disentri, muntaber, diare, dan tifus. Dampaknya akan sangat buruk jika yang terinfeksi adalah anak usia di bawah lima tahun.

Data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Jakarta tahun 2013 menyebutkan, dari sisi bakteriologi 50 persen air sumur tanah dangkal di Jakarta telah tercemar.

Di daerah-daerah padat penduduk di utara dan timur Jakarta jarak antara tangki tinja dan sumur dangkal hanya kurang dari 10 meter. Akibatnya, rembesan air tinja masuk ke dalam tanah mencemari sumur dangkal seturut dengan air dari kamar mandi yang mengandung deterjen juga turut mencemari. Hal itu diperparah rusaknya kualitas dan ekosistem 13 sungai yang mengalir di Jakarta.

Buruknya sanitasi berbanding lurus dengan tingginya beban negara untuk kesehatan warga. Badan Kesehatan Dunia mencatat diare sebagai penyakit terbesar kedua di dunia.

Indonesia berada dalam situasi gamang antara ingin memperbaiki daya saing sumber daya manusia dengan menjaga kesehatan, di saat yang sama tak serius membangun infrastruktur air dan sanitasi.

Menengok Indonesia keseluruhan, porsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum perpipaan yang disediakan pemerintah maksimal hanya 60 persen. Sedangkan ketersediaan air bersih di Indonesia, menurut WHO, baru 50-an persen.

Dari cakupan itu, tak semua air mampu mengucur 24 jam. Parahnya sebagian besar air perpipaan tak layak minum. Artinya, 40-an persen warga sebagian terpaksa mengalami krisis air minum sehari-hari dan tak tertolong, kecuali dengan cara primitif: membeli.

Banyak orang Indonesia akhirnya berinisiatif mengandalkan air sumur pompa. Kalangan berpunya membuat sumur tanah dalam dengan kedalaman lebih dari 40 meter. Sementara yang umum terjadi 40-an persen warga Indonesia membuat sumur dangkal yang berisiko tercemar bakteri E.coli. Apalagi ditunjang kondisi sanitasi yang buruk di sekujur tanah Indonesia.

Bias kelas terjadi karena infrastruktur air dan sanitasi di Indonesia tak pernah dibangun negara lewat pembiayaan publik yang serius. Negara yang semestinya menjamin ketersediaan layanan air dan sanitasi yang terjangkau warga sudah lama terlelap abai. Sebaliknya, negara berusaha mengeluarkan anggaran sekecil mungkin dengan cara melibatkan partisipasi modal swasta. Akibatnya, infrastruktur air dan sanitasi makin menonjol sebagai logika bisnis belaka.

Contohnya infrastruktur air di Menteng yang dibangun di zaman Belanda. Saat Belanda pergi, Menteng berganti sebagai permukiman elite Indonesia. Demikian pula pusat kota baru lain, seperti Kebayoran dan Pondok Indah, yang dibangun oleh selera elite Orde Baru.

Di tiga wilayah itu, air bersih mengalir 24 jam dan sanitasi terbilang prima. Bandingkan, misalnya, dengan layanan air dan sanitasi di daerah timur dan utara Jakarta yang terbilang buruk.

Muncul pertanyaan moral dari warga negara. Apabila ada rencana pengembangan layanan atau perbaikan jaringan, ke manakah sumber daya akan diarahkan? Ke daerah elite atau daerah kumuh? Atau jika terjadi kesulitan air, pipa mana yang akan ditutup dan wilayah mana yang akan dikorbankan?

Ketika negara tidak berhasil mengelola air sebagai barang publik, kelas yang lebih berkuasa akan selalu menguasai sumber daya air. Kemudian publik dapat melihat ketidakadilan tampak jelas dalam urusan layanan air dan sanitasi.

Belanja negara untuk layanan air dan sanitasi terbilang sangat rendah. Data Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) mencatat belanja sektor air dan sanitasi di APBN dan APBD selalu kurang dari 1 persen. Negara malah tergiur menyerahkan tanggung jawabnya kepada swasta melalui skema Bank Dunia bernama public private partnership. Sejak itu, malapetaka warga negara dalam urusan air dan sanitasi kian menjadi-jadi.

Meski akses terhadap air bersih serta sanitasi sudah diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai hak asasi manusia dan barang sosial, yang mengherankan tak ada protes sosial atau huru-hara ketika rakyat Indonesia mengalami kesulitan air. Membeli air ketika air tidak tersedia menjadi kewajaran hidup sehari-hari, terutama di kalangan kaum miskin kota dan desa.

Penelitian Kruha dari tahun 2007-2013 di sejumlah daerah miskin kota di Jakarta seperti Rawa Badak, Penjaringan, dan Muara Baru menegaskan praktik jual-beli air. Di tempat itu, warga berpenghasilan Rp800 ribu hingga Rp1,5 juta rata-rata menghabiskan belanja bulanan Rp400 ribu hingga Rp600 ribu hanya untuk membeli air jeriken yang bahkan belum bisa diminum.

Di daerah-daerah yang sulit air atau terpaksa membeli, air memang tak ada di rumah, komunitas, atau di sawah, tapi ajaibnya selalu tersedia di pasar untuk dibeli. Artinya, air dari sumber yang sama sebenarnya ada, tapi dibajak menjadi barang komoditas di tengah jalan.

Koordinator Nasional Kruha Muhammad Reza Sahib mengatakan, orang miskin akan selalu menjadi korban dari salah urus kebijakan air dan sanitasi di Indonesia. Situasi membeli air ketika air tidak tersedia juga terjadi di pelbagai daerah lain di Indonesia, yang memaksa orang miskin membayar lebih mahal untuk tetap hidup.

Di Jawa, konsentrasi hidup 65-an persen penduduk Indonesia, perebutan dan konflik air semakin nyata terjadi antara pengguna air untuk irigasi, air bersih, dan industri. Dalam kompetisi tak seimbang, dan absennya regulasi, kelompok miskin selalu jadi korban paling apes dari praktik liberalisasi air.

Negara dan pasar cukup sukses mengajarkan rakyat Indonesia untuk terbiasa menjadi konsumen air yang baik, walau air tergolong hak dasar yang penggunaannya tak boleh dibatasi.

Tafsir konstitusional Mahkamah Konstitusi tentang air mengakui air sebagai res commune atau barang publik. Artinya, air harus dikelola dalam domain hukum publik, tidak boleh masuk hukum privat sehingga pemerintah wajib menjamin pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak tersebut.

Layanan air di Indonesia secara serius mengalami kontestasi antara barang sosial dan ekonomi dimulai oleh program Bank Dunia yang menawarkan pinjaman US$ 92 juta kepada PAM Jaya di tahun 1991 untuk perbaikan infrastruktur. Selain pinjaman, Bank Dunia sekaligus menyarankan pemerintah menyediakan peluang Partisipasi Sektor Swasta (privatisasi) dalam pengelolaan layanan air di Indonesia.

Menjelang reformasi, dan melalui penunjukan langsung oleh rezim Soeharto, privatisasi air semakin melembaga dengan munculnya korporasi asing seperti PT Palyja dan menyusul PT Aetra di Jakarta yang memberikan layanan air dengan tekanan kuat pada logika untung-rugi. Jakarta, Batam, dan Manado kemudian menjadi contoh paling telanjang praktik privatisasi air di Indonesia.

Di kota Guayaquil, Ekuador, dan kota Dar Es Salaam, Tanzania, rakyat harus turun ke jalan melakukan protes sosial akibat komersialisasi air oleh swasta. Di kota Cochabamba dan La Paz, Bolivia, rakyat menentang keras privatisasi air setelah perusahaan multinasional Bechtel dari Amerika Serikat mengambil alih layanan air.

Kasus lain di Afrika Selatan, protes menjadi pergolakan ketika penguasaan air diserahkan ke perusahaan multinasional asal Prancis, Suez Lyonnaise des Eaux, yang juga mengambil alih urusan air di Jakarta bersama Thames Water Overseas dari Inggris.

Banyak kasus yang disodorkan Kruha dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia bahwa privatisasi air di Jakarta justru memperburuk layanan. Buruknya perbaikan kebocoran pipa, cakupan pemerataan pipa, ketersediaan air, kontinuitas, dan tarif dianggap semakin tidak menjawab kebutuhan warga terhadap air yang semestinya tak boleh dibatasi oleh logika untung-rugi.

Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengenai kondisi setelah privatisasi air tahap kedua menyatakan kondisi layanan tidak mengalami perbaikan dan peningkatan berarti. Target pertambahan pelanggan dari tahun 1998-2000 tidak mencapai ketentuan kontrak dan lebih rendah dibanding pertumbuhan sebelumnya oleh PAM Jaya. Target teknis pemakaian air tidak tercapai, tetap di bawah kinerja PAM Jaya yang telah diprivatisasi.

Tingkat kebocoran pipa juga tidak sesuai dengan klausul dalam kontrak. Tingkat kebocoran pada saat dikelola PAM Jaya 53 persen, kini turun hanya berkisar 48 persen. Namun, untuk menekan tingkat kebocoran (non-revenue water), kedua mitra asing hanya melakukan pembatasan pengoperasian mesin pompa yang terdapat di setiap instalasi. Dampaknya, sejumlah daerah dalam jangkauan pelayanannya justru kekurangan air.

Dari sisi kualitas, air relatif tidak berubah sebelum dan sesudah privatisasi. Bahkan untuk beberapa indikator seperti konsentrasi deterjen, setelah privatisasi, kualitas airnya justru menurun. Pada 1998, misalnya, konsentrasi deterjen mencapai 0,12 mg/l. Demikian juga pada 1999 dengan konsentrasi deterjen 0,17 mg/l. Padahal, standar konsentrasi deterjen seharusnya 0,05 mg/l. Bandingkan dengan sebelum privatisasi, konsentrasi deterjen masih memenuhi standar seperti pada 1993 (0,031 mg/l) dan 1994 (0,016 mg/l).

Tarif air di Jakarta rata-rata Rp5.000 per meter kubik, termasuk paling tinggi di Indonesia. Tarif tinggi karena sejak awal kontrak sudah mahal, yakni Rp1.700. Tarif terus naik karena inflasi dan kenaikan tarif otomatis terjadi tiap semester (6 bulan).

Dari tarif tersebut, Rp4.600 digunakan untuk membayar imbalan pada operator asing (PAM Suez Lyonnaise dan PAM Thames Jaya atau sekarang PAM Aetra). Sisanya untuk bayar utang PDAM kepada pemerintah, hitungan defisit, serta badan regulator.

Apabila kenaikan tarif air otomatis tidak disetujui pemerintah, kedua operator asing akan membebankan selisih water charge (imbalan air) dan tarif air pada Pemerintah DKI Jakarta sebagai utang. Pernah Pemerintah DKI justru memiliki utang sekitar Rp900 miliar pada operator asing karena tarif air tidak dinaikkan dalam periode 1998-2001.

Hanya daerah-daerah di pusat kota seperti Menteng dan Pondok Indah yang meningkat pelayanannya secara signifikan. Kenyataannya, tarif air di Jakarta justru naik. Yang mengherankan, PAM Jaya juga masih meminta subsidi dari pemerintah terkait dengan harga dan perbaikan infrastruktur. Hal ini tentu sangat absurd, karena privatisasi seharusnya merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara ke swasta.

Indonesia sebenarnya pemilik cadangan air nomor empat terbesar di dunia. Potensi air per tahun rata-rata 4 triliun meter kubik, yang sebenarnya tergolong surplus. Meski terdapat beberapa daerah yang defisit air dan ketersediaan air di setiap pulau terus menurun, secara umum tidak tepat mengatakan Indonesia krisis air.

Wilayah Indonesia memang tidak akan segera krisis air, tapi sudah pasti mengalami krisis ketersediaan air bersih dan sanitasi. Para pengkritik liberalisasi air di Indonesia mengatakan Indonesia bukan krisis air, melainkan krisis governance: ketidakmampuan negara mengelola sumber daya air.


Krisis Layanan, Bukan Krisis Air


Negara Indonesia belum punya mimpi mengelola air yang membuat air keran di rumah dan di jalan-jalan bisa langsung diminum. Atau memiliki teknologi water used treatment yang mengolah air bekas melalui manajemen pembuangan air, sehingga membuat air rumah tangga seperti toilet dapat digunakan kembali untuk mandi dan cuci.

Sejak kemerdekaan hingga sekarang, banyak jaringan air buatan Belanda yang masih dipakai. Perkembangan jaringan perpipaan dan layanan secara nasional baru menjangkau 50-an persen, karena kurangnya pendanaan dari APBN/APBD. Dari aspek regulasi banyak kontroversi, dari tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan peraturan menteri.

Institusi air di Indonesia masih lemah atau relatif belum terbentuk. Misalnya, regulasi yang lemah, tidak memadai, tidak jalan, atau kapasitas kurang. Banyak daerah yang belum memiliki perda air dan karenanya tak ada jaminan hukum yang memadai terhadap konsumen air. Hak-hak konsumen air secara umum adalah soal kualitas, kontinuitas, keterjangkauan, serta partisipasi dalam manajemen sumber daya air.

Indonesia perlu menengok negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Brunei Darussalam, atau Singapura yang berhasil mengelola air hingga rata-rata 100 persen pemenuhan air bersih bagi warga. Dari sisi cadangan dan kapasitas air, sebenarnya Indonesia lebih digdaya dari ketiga negara tersebut.

Jika standar UNESCO dan WHO untuk kebutuhan air bersih minimal 60-100 liter per kapita, maka rasio kecukupan air di Indonesia per hari bisa mencapai tujuh kali lipatnya. Masalahnya, Indonesia mengalami salah urus tata kelola air, terutama di level nasional yang berakibat potensi airnya menjadi mubazir. Itulah mengapa menurut UNDP (2012), Indonesia memiliki 55 persen penduduk yang rawan akses air bersih.

Untuk layanan air perpipaan, privatisasi skala besar sebenarnya baru sedikit. Yang terkenal di Jakarta dan Batam, di mana privatisasi keduanya bisa dinilai tidak berhasil. Di daerah pedesaan, banyak inisiatif yang dilakukan LSM lewat program air minum dan sanitasi berbasis masyarakat, membangun latrine, toilet, dan sanitasi.

Peran negara lebih banyak sebagai fasilitator. Program ini secara umum cukup berhasil, namun diragukan keberlanjutannya karena bersifat sporadis dan kurang terlembaga.

The Asian Water Development Outlook yang dibentuk oleh Asia-Pacific Water Forum untuk menyoroti isu tata kelola air di kawasan, merilis laporan pertama di tahun 2007 dan menggarisbawahi isu governance, terutama kapasitas negara, sebagai faktor penentu yang menghambat usaha meningkatkan keamanan air di kawasan.

Di sejumlah negara, privatisasi air tidak selalu berarti kiamat bagi kepentingan warga negara, tapi di Indonesia privatisasi berakibat celaka. Sebab, sebelum privatisasi dilakukan, Indonesia tidak pernah mengurus infrastruktur air dan sanitasinya secara serius. Ketika privatisasi air terjadi, pemerintah menyerahkan semuanya begitu saja kepada swasta yang lebih melihat air sebagai bisnis.

Ambil contoh Inggris yang kemudian menyerahkan layanan air kepada swasta. Tapi hal tersebut dilakukan setelah negara habis-habisan melakukan investasi modal di urusan air dan sanitasi. Swasta hanya berfungsi menjadi kuasi operator negara. Pelayanannya dikawal ketat oleh badan regulator negara yang kuat melindungi publik sebagai penerima layanan.

Sejak privatisasi air di Jakarta 1 Februari 1998, badan regulator memang diadopsi dalam tata kelola air. Namun berbeda dari khitah badan regulator air di luar negeri yang berorientasi melindungi publik, di Jakarta sungguh berbeda. Badan regulator di Jakarta lahir bukan dari mandat konstitusi atau undang-undang, tapi mandat kontrak kerja sama sejak pengelolaan air berpindah tangan dari sektor publik kepada privat.

Akhirnya peran badan regulator seperti kekurangan taji untuk membela publik Jakarta. Ia tak punya keputusan final mengikat dan tidak menentukan tarif. Dan yang paling aneh, badan regulator kerjanya turut memediasi perselisihan PAM Jaya dengan operator jika salah satu dari pihak punya keluhan.

Tapi sering kali mediasi badan regulator tidak serta merta diikuti para pihak. Kesimpulannya, badan regulator Jakarta tidak eksklusif membela publik, tapi juga membela operator swasta.

Tidak seperti di Indonesia, air bersih dan sanitasi serta sumber daya air di banyak negara (Singapura, Inggris, Jerman, dan Australia) benar-benar diperlakukan negara sebagai barang utilitas.

Mereka punya badan regulator yang mengurusi urusan itu sehingga publik terlindungi. Di Australia dan Jerman, misalnya, urusan air tergabung di badan konsumen yang mengelola sekaligus layanan listrik, gas, air, sanitasi, dan telekomunikasi dalam satu atap.

Air yang punya nilai sosial seharusnya menjadi pusat gravitasi bagi segala perencanaan pembangunan. “All development plans should follow water plan,” kata Lee Kuan Yew.

Jadi, seharusnya air mengatur pembangunan. Mau dapat IMB, bangun permukiman, hidropower, pertanian, dan sebagainya, mesti melihat dulu tata kelola air, ketersediaan, dan konservasi airnya.

Sayangnya, tata kelola air di hulu dan hilir Indonesia sama buruknya. Hulu sebagai sumber air semakin rusak oleh kebijakan perkebunan kelapa sawit, izin penambangan, dan industri kayu yang mengakibatkan masalah lingkungan.

Privatisasi Air Menyelinap di Balik Utang

Dalam artikel “The World Bank and Water Privatisation” pada September 2008, orang dalam Bank Dunia, Nuria Molina dan Peter Chowla, secara jujur menegaskan pengakuan Bank Dunia bahwa beberapa privatisasi, terutama air, telah gagal.

Pada pertemuan tahunan Bank Dunia bertajuk “Pekan Air” di Washington DC tahun 2008, Vice President Bank Dunia Kathy Sierra mengatakan, privatisasi bukan satu-satunya jawaban. Beberapa hari sebelumnya di New Delhi, pejabat senior Bank Dunia Shekhar Shah menegaskan Bank Dunia “learned the hard way” bahwa tidaklah tepat menyerahkan air kepada sektor swasta.

Namun, pengakuan terbuka paling heboh dari Bank Dunia terlihat dalam laporannya pada tahun 2003. Penganjur public private participation ini mengakui, swasta tidak cocok mengelola air sebab sulit memproyeksikan keuntungan — lantaran sektor air adalah juga barang sosial.

Artinya, orang bisa mati jika tidak ada air. Dan hak inklusif atas air tidak boleh dibatasi oleh nilai ekonomi. Sulit mencari untung di saat yang sama harus memberikan layanan sosial.

Privatisasi air secara global sebenarnya tidak berhasil. Hanya kurang dari 10 persen kota-kota besar dunia yang diprivatisasi. Sebagian privatisasi terjadi karena negara merasa sudah melakukan belanja publik yang besar dan memenuhi cakupan layanan 100 persen, sehingga kemudian menyerahkan urusan air kepada swasta sebagai operator.

Namun, harus diingat pula Bank Dunia sering punya wajah ganda dan ikut menari-nari dengan menggunakan terminologi publik seperti “hak atas air”. Terminologi sakral itu juga dipakai perusahaan-perusahaan swasta. Mereka mengakui air adalah hak dan berdalih yang mereka jual bukan airnya melainkan servis dan teknologi pengelolaannya. Termasuk belanja iklan dan pemasaran mereka yang alokasinya bisa 75 persen dari belanja perusahaan.

Pemain air perpipaan terbesar di dunia asal Prancis, Suez Lyonnaise des Eaux, menyatakan diri akan mundur dari sektor air karena tidak visible keuntungannya. Dalam kerangka satu-dua tahun ini ada 20 sampai 30 kota yang membatalkan, atau tidak melanjutkan, kontraknya dengan Suez.

Privatisasi air di Indonesia setelah reformasi ditandai masuknya program “Water Resources Sector Structural Adjustment Loan" (WATSAL). Program ini dirintis Bank Dunia sejak April 2008 disusul perjanjian pinjaman US$ 300 juta yang kemudian mengajarkan Indonesia menyerahkan urusan air dari tangan publik kepada swasta.

Wakil Presiden Boediono yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bappenas adalah orang yang menandatangani WATSAL. Utang US$ 300 juta ketika itu dibagi tiga termin. Fase terakhir termin pembayaran utang ditahan oleh perjanjian Bank Dunia, yang menekan agar Indonesia membuat undang-undang sumber daya air baru yang membolehkan keterlibatan swasta.

Boediono kemudian membuat matriks yang membuka jalan liberalisasi air. Di matriks itu terdapat peta restrukturisasi PDAM dan sumber daya air. Di matriks itu pula terlihat mana saja PDAM yang akan diswastakan atau dijual sesuai public private partnership yang sekarang turut menyasar irigasi. Irigasi pertanian dianggap paling boros dan gratis.

Akhirnya korporatisasi juga terjadi di urusan sumber air irigasi. Perusahaan Tirta di Citarum, misalnya, tak lagi melayani publik tapi sudah full cost recovery dalam operasinya.

Air mulai mengalami komodifikasi ketika Bank Dunia menilai krisis air di Indonesia karena boros dan tidak efisien: penggunaan yang tidak disiplin. Untuk mendisiplinkan penggunaan air perlu memberikan harga ekonomi terhadap air. Pintu privatisasi dan standar-standar ekonomi kemudian terbuka lebar dari landasan krisis itu.

Di setiap public private partnership di Indonesia selalu ditandai dengan jaminan keuntungan dan jaminan pengembalian modal awal, sedangkan target dari kerja sama selalu bisa dikompromikan. Artinya, yang membikin kontrak sangat pro-swasta.

Kepala Badan Regulator Jakarta Kris Tutuko mengatakan, selama kontrak kerja sama tidak diubah atau dikoreksi, sulit untuk meningkatkan layanan publik sambil melihat air sebagai bisnis.

Dalam kontrak kerja sama, jika wanprestasi, pemerintah wajib membayar pinalti, termasuk future profit operator swasta. Itulah mengapa operator selalu membukukan untung Rp200 miliar per tahun. Dengan begitu, jika dipotong di tengah jalan, Rp200 miliar per tahun itu harus langsung dibayar sampai akhir kontrak.

Presiden baru Indonesia dan para pemimpin politik harus diingatkan keras bahwa kontrak sosial adalah perjanjian tidak tertulis antara warga negara dan pemerintahan demokratis. Warga negara membayar pajak untuk digunakan membiayai layanan publik dasar seperti air, sanitasi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Pemimpin politik kita harus berani menolak program-program donor yang cenderung “one size fits all”, demi mementingkan kualitas warga negara.

Sumber: Geotimes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...