Juhani hanya pedagang jagung dan pisang goreng. Tapi, kesempatan berkeliling menjajakan makanan di desanya, Desa Nipa, Pulau Sumbawa, dimanfaatkan pula untuk berkampanye anti-kekerasan dalam rumah tangga. Dia mengajari para perempuan mencegah, melawan, dan melaporkan kekerasan.
Di Desa Langkomu, pesisir Pulau Buton, Saidah bukan sekadar petani rumput laut. Perempuan yang mahir mendayung sampan sendirian ini mengajak warga desanya berhenti memasang “bom ikan”. Dia tahu, memanen ikan dengan meledakkan dinamit bisa merusak terumbu karang dan mencemari lingkungan.
Jumilah hanya pembantu rumah tangga yang buta huruf. Tapi, di desanya, Desa Batu Layar Barat, Pulau Lombok, dia membuat sekolah komunitas untuk anak-anak yang sebagian besar belajar dari dan di alam. “Agar mereka tak bodoh seperti saya,” katanya.
Mereka tiga dari 500-an warga di 100 desa yang saya temui akhir tahun lalu ketika berkeliling pulau-pulau Indonesia timur: Lombok, Sumba, Timor, Sumbawa, Buton, dan Muna. Sebagian besar adalah perempuan, kaum yang dikira lemah dan bodoh, namun terbukti aktif dan berdaya.
Mereka memelopori beragam kegiatan: membangun pertanian dan perikanan laut, kampanye anti-kekerasan dan perdagangan manusia, memperkuat layanan kesehatan, berjuang untuk kelestarian hutan dan sumber air, serta keragaman pangan.
Kisah dan potret mereka terekam dalam buku Semangat Tanpa Batas: Desa Bercerita (2014) yang diterbitkan Australian Community Development and Civil Society.
Juhani, Saidah, dan Jumilah mengingatkan saya pada Vandana Shiva —tokoh perempuan asal India yang gigih menyuarakan hak-hak sesungguhnya kaum perempuan di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang dan lebih khusus lagi di pedesaan.
Shiva dikenal pula sebagai ecofeminist. Kepeduliannya pada tema kedaulatan pangan serta keragaman benih, atau plasma nutfah, tak terpisahkan dari dukungannya pada pemberdayaan kaum perempuan di desa-desa, di kalangan petani dan nelayan.
Menurut Shiva, pendekatan yang lebih kekal dan produktif dalam pembangunan pertanian adalah menempatkan perempuan sebagai tulang punggung sistem. Dan sistem itu hanya bertahan jika lingkungan alam terjaga; jika kelestarian hutan, sumber air, serta keragaman hayati terpelihara.
Shiva mengabdikan hampir sebagian besar waktunya untuk membela dan merayakan keragaman hayati serta kearifan tradisional dalam mengelola sumber daya alam.
Shiva juga dikenal sebagai aktivis dan penulis yang keras mengecam sistem patriarki yang menindas perempuan, baik dengan dalih fundamentalisme agama maupun budaya; sama kerasnya dia mengkritik globalisasi dan neoliberalisme.
Shiva tak sendirian. Dia ada dalam barisan aktivis dan penulis perempuan seperti Arundhati Roy (novelis), Naomi Klein dan Amy Goodman (jurnalis), serta almarhumah Anita Roddick (pendiri perusahaan ramah lingkungan The Body Shop). Mereka kampiun Forum Sosial Dunia, gerakan perlawanan terhadap Forum Ekonomi Dunia; mendahulukan kesejahteraan sosial dan harmoni dengan alam ketimbang perlombaan ekonomi.
Roy, Naomi, Shiva, dan Anita adalah promotor gerakan alter-globalization atau alternatif dari globalisasi ekonomi yang dicirikan oleh perdagangan bebas, liberalisasi ekonomi dan keuangan, privatisasi sumber-sumber daya bersama, pelemahan peran publik dan komunitas, serta eksploitasi merusak terhadap lingkungan alam.
Menurut mereka, rezim ekonomi dunia yang diagung-agungkan World Bank, International Monetary Fund, dan World Trade Organization tak hanya merupakan bentuk baru imperialisme, tapi juga memperparah kemiskinan, dengan kaum perempuan sebagai korban utama.
Juhani, Saidah, dan Jumilah mungkin tidak seideologis itu. Bagaimanapun, mereka adalah aktor narasi-narasi kecil, serpihan kisah sederhana seperti yang ditulis Arundhati Roy dalam novel perdananya: The God of Small Things.
Roy ingin mengatakan era narasi besar yang menuntut keseragaman, seperti kapitalisme di satu sisi versus marxisme di sisi lain, sudah tutup layar. Era itu digantikan post-modernisme yang lebih menghargai keragaman, baik sosial, budaya, maupun cara sumber daya alam dalam konteks lingkungan yang beragam pula.
Globalisasi juga harus diberi makna dan arah baru: kerja sama dan interaksi umat manusia di seluruh dunia untuk menemukan kembali nilai-nilai kemanusiaan hakiki: keseraian hidup dengan alam, keadilan ekonomi, kesetaraan hak, dan penghormatan pada budaya serta kearifan tradisional.
Dalam narasi kecil mereka, di desa-desa sederhana pulau terpencil Indonesia, Juhani dan kawan-kawan telah menyumbang makna dan arah baru itu.
Farid Gaban, Catatan Bawah Tanah, Geotimes, 23/08/2014 11:40 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar