Tubuh membutuhkan kolesterol. Tanpa lemak ini kita bisa kehilangan gairah seks, misalnya, karena rendahnya hormon kelamin. Kolesterol juga memelihara keseimbangan kimiawi dalam tubuh, serta merangsang pertumbuhan jaringan otak dan saraf.
Telah lama para ekonom mengibaratkan investasi atau modal asing dengan kolesterol. Sebuah negara membutuhkan modal asing untuk menumbuhkan ekonomi, membesarkan kue, yang kemudian (diharapkan) bisa menyejahterakan seluruh rakyat.
Pandangan lazim seperti itulah yang tampaknya lekat dalam pikiran pemerintahan Joko Widodo kini. Dalam hitungan pekan, baik Presiden maupun para menteri sibuk menjajakan Indonesia kepada investor asing melalui berbagai forum. Pemerintah menjanjikan kemudahan berinvestasi.
“Indonesia membutuhkan modal asing untuk membangun infrastruktur,” kata Presiden. Pembangunan pelabuhan dan industri kapal untuk mendukung sektor maritim yang menjadi tonggak besar ambisi pemerintahan Jokowi, misalnya, membutuhkan ratusan triliun rupiah.
Seperti gayung bersambut, para investor Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan menyambut baik undangan Presiden Jokowi. Bahkan, kalangan bisnis Amerika Serikat, yang investasinya di Indonesia melemah, diberitakan kembali tertarik untuk menanam modal ke Indonesia.
Modal asing adalah isu yang peka, terutama di kalangan kaum nasionalis. Namun, Presiden Jokowi menjanjikan investasi asing itu tidak akan merobohkan kedaulatan negeri dan justru mempercepat laju pertumbuhan ekonomi yang menyejahterakan rakyat.
Tekad seperti itu tidak baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan hal serupa di awal pemerintahannya: pertumbuhan ekonomi yang berkualitas disertai pemerataan pendapatan. Pemerintah percaya modal asing tak cuma mendatangkan uang, tapi juga membuka lapangan kerja, memicu alih teknologi, dan meningkatkan profesionalisme serta keterampilan manajemen.
Semasa Yudhoyono, modal asing dalam bentuk investasi langsung (foreign direct investment) mengalami lonjakan hebat. Tak cuma mencapai level sama seperti pada akhir era Soeharto, tapi bahkan membukukan rekor baru.
Namun, kita tahu, pertumbuhan ekonomi itu tidak mendorong pemerataan, justru sebaliknya. Indeks Gini, salah satu ukuran ketimpangan pendapatan, menunjukkan lonjakan besar pula, tertinggi dalam sejarah. Ekonomi kita makin timpang, suatu hal yang rawan secara sosial dan politik.
Kita juga menyaksikan kerusakan hutan yang parah akibat investasi perkebunan sawit dan penambangan, dibarengi konflik sosial tinggi akibat perebutan lahan. Pada saat yang sama nasib petani dan nelayan makin parah, melemahkan sektor pertanian dan kelautan secara sistemik. Berbagai indikator sosial-ekonomi menunjukkan kita masih tetap setara dengan banyak negara Afrika yang kita ejek.
Menjanjikan pertumbuhan ekonomi sekaligus kesejahteraan dan keadilan sosial tak semudah dikatakan.
Lebih dari itu, meski dibutuhkan, investasi asing juga bersifat racun. Sama seperti serangan jantung dan stroke akibat kelebihan kolesterol, investasi asing juga bisa membunuh sebuah negeri.
Sebuah studi oleh ekonom Ricardo Hausmann dan Eduardo Fernández-Arias di Amerika Latin menunjukkan, investasi asing lebih besar mengalir justru ke negara yang lembek secara hukum, institusi keuangannya lemah, serta birokrasinya buruk dan korup. Berkebalikan dengan pandangan lazim, tingginya daya tarik terhadap investasi asing justru menunjukkan kelemahan, bukan kekuatan sebuah negeri.
Sebagian besar investasi asing di Indonesia ada di sektor pertambangan, pertanian dan perkebunan, serta barang konsumsi. Sumber daya alam murah serta “kelas menengah baru” yang potensial menjadi pasar menjadikan Indonesia surga investasi.
Investasi di perkebunan sawit, yang merusak hutan, melonjak drastis setelah pemerintah membolehkan kepemilikan perkebunan hingga hampir separo. Liberalisasi ritel telah mendorong ekspansi agresif hingga pedesaan. Gerai pasar modern di Indonesia mengusai hampir 40% (India cuma 4%).
Meski industri otomotif modal asing mulai mengekspor, sebagian besar produk (80%) tetap mengarah pada pasar domestik. Alih teknologi otomotif tak terjadi.
Pengalaman Amerika Latin menunjukkan keuntungan yang didapat perusahaan multinasional hampir sama besar dengan arus investasi yang masuk. Artinya, modal asing tak membuat negara bisa mandiri dan berkelit dari kutukan defisit perdagangan.
Seperti kolesterol, investasi asing bisa menjadi alat yang berguna, tapi itu bukanlah fondasi tempat ekonomi sebuah negara bisa disandarkan. Yudhoyono sudah gagal memahami itu. Mudah-mudahan Jokowi tidak.***
Farid Gaban, Catatan Bawah Tanah, Geotimes, 13/12/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar