Misi penjelajahan nusantara, dari timur hingga barat ingin dituangkan Dandy Dwi Laksono dan Ucok Suparta dalam Ekspedisi Indonesia Biru.
MENGENDARAI dua motor bebek 125 cc keluaran tahun 2003 dan 2005, Dandy Dwi Laksono dan Ucok Suparta tiba di Banjarmasin pada Sabtu (17/10) malam, setelah melintas dari Tabalong, Negara (Hulu Sungai Selatan) untuk tiba di ibukota Kalsel. Sebelumnya, keduanya telah menjejalah Kalimantan Timur.
“Banjarmasin, khususnya Kalsel yang kami singgahi adalah provinsi ke-11 di Indonesia. Banyak hal yang bisa diceritakan dalam perjalanan ekspedisi ini,” ujar Dandy Dwi Laksono ketika berbincang dengan wartawan Media Kalimantan, Minggu (18/10).
Perjalanan Dandy bersama Ucok diistilahkan sebagai jurnalisme tas ransel dimulai pada 1 Januari 2015 dan berakhir pada 31 Desember 2015. Dengan mengandalkan motor bebek dengan peralatan ‘tempur’ seperti kamera dan lainnya, Dandy dan Ucok ingin mengabadikan setiap kota atau daerah yang disinggahi.
Dandy yang juga penulis buku Jurnalisme Investigasi dan pernah menjadi Produser Liputan 6 SCTV, didampingi Ucok Suparta adalah jurnalis dan fotografer kawakan asal Aceh, yang pernah bekerja untuk Agence France-Presse, menyusuri pulau-pulau di Indonesia.
Diawali dari Jakarta ke Banten, terus menyusuri sisi selatan Pulau Jawa, melintas bagian timur Bali, Nusa Tenggara, Timor, Papua, Kepulauan Maluku, Sulawesi dan Kalimantan, Sumatera dan kembali lagi ke Tanah Jawa. “Dari Banjarmasin ini, kami akan mengunjungi proyek lahan sejuta hektar warisan Soeharto di Kabupaten Pulang Pisau,” ujar Dandy.
Mantan Kepala Penugasan Liputan RCTI ini mengaku dalam perjalanan jurnalistik ini tidak dibiayai pihak sponsor, murni dari kocek pribadi.
Dandy yang juga Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini mengatakan dalam Ekspedisi Indonesia Biru, sedikitnya sudah ada 6 film telah dibuat. “Kami mendokumentasi masalah yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA). Intinya, kami ingin menonjolkan soal keadilan ekonomi, kemapanan budaya serta pelestarian lingkungan,” tutur Dandy.
Dia mengungkapkan kasus Salim Kancil di Lumajang, Jawa Tengah yang menolak pertambangan pasir hanya bagian kecil dari konflik SDA di Indonesia. “Selama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa 10 tahun, sebetulnya sudah ada 70 orang yang mati akibat konflik semacam itu,” kata Dandy.
Menurutnya, konflik agraria di Indonesia ini terjadi sejak 1965, karena tidak ditangani dengan baik oleh negara. “Masalah ini hanya bom waktu, karena konflik agraria yang berkaitan dengan perebutan SDA ini jadi pemicunya,” ujarnya.
Dandy bersama Ucok pun telah memetakan ada 7 hama masyarakat yang menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal di Indonesia, yakni adanya perizinan yang diterbitkan pejabat pemerintah atau elit yang korup, korporasi atau perusahaan swasta yang rakus, aparat sipil atau bersenjata yang mencari rente atau jadi centeng, terbentuknya milisi atau ormas bayaran seperti bisa mengerahkan preman untuk membela korporasi, pelacuran akademisi kampus atau kaum intelektual, media massa atau jurnalis yang tidak independen, serta LSM yang sibuk mengajukan proposal tanpa mau mengadvokasi masyarakat.
“Ini penyakit yang serupa dan sama terjadi di Indonesia. Akhirnya, masyarakat dikriminalisasi ketika berhadapan dengan korporasi yang mengincar sumber daya alam,” ucap Dandy.
Untuk mengabadikan perjalanannya, Dandy mengaku sudah membuat 7 film dokumenter seperti Samin versus Semen berisi pergulatan masyarakat Adat Jawa dengan perusahaan semen, Baduy, 70 Tahun Indonesia Merdeka, dan sebagainya.
Pola yang terjadi, masih menurut Dandy, juga terjadi di Kalimantan, di mana lahan-lahan subur pertanian kini diubah jadi areal pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
“Ya, tak ubahnya seperti sistem tanah paksa yang diberlakukan Gubernur Jenderal Belanda Johannes van de Bosch, pada 1830, dengan memaksa rakyat untuk menanam pohon bernilai ekspor tinggi seperti kopi, tebu, dan tarum (nila) di Pulau Jawa, akibat bangkrut setelah perang dengan Pangeran Diponegoro (1825-1830),” tuturnya.
Hal ini, beber dia, tergambar dari program perkebunan skala besar untuk kelapa sawit serta pertambangan batubara di Sumatera dan Kalimantan. Dandy lantas membandingkan ketika Belanda menjajah Indonesia justru menjalankan kebijakan pertambangan dengan underground (tambang bawah tanah) seperti di Pengaron, dan Sawah Lunto.
Sebab, beber dia, pola pertambangan bawah tanah ini justru lebih ramah lingkungan, meski harus ditopang biaya besar. “Sekarang dengan teknologi yang canggih, justru dipilih tambang terbuka (open pit), karena ingin enaknya dan mudahnya saja.
Padahal, lapisan tanah subur atau humus yang ada di Pulau Kalimantan ini sangat tipis, sehingga merusak ketahanan pangan yang ada. Atau pegunungan yang menjadi sumber air bagi pertanian itu dikuasai, akibat lereng-lereng pegunungan yang jadi sawah, kekurangan air dan menjual dengan harga murah kepada korporasi yang berinvestasi di kawasan itu,” ujarnya.
Anehnya lagi, beber Dandy, gara-gara Indonesia mengalami krisis pangan, justru bertumpu dengan Papua dengan lahan sejuta hektar untuk dijadikan sawah. “Orang Papua yang awalnya mengkonsumsi sagu, dipaksakan untuk memakan beras.
Lahan-lahan untuk tanaman sagu, diubah jadi sawah untuk pertanian padi. Sebab, di pulau lainnya baik Jawa, Sumatera, dan Kalimantan sudah menjadi areal pertambangan dan perkebunan. Akhirnya, inilah yang terjadi di Indonesia,” ujarnya.
Dia mengajak agar jurnalis benar-benar peduli dengan lingkungan, sehingga lahan-lahan subur yang ada di Kalimantan tak lagi berubah jadi perkebunan sawit atau pertambangan.
Menurutnya, Kalsel harus banyak belajar dari pengalaman sebelumnya, karena kasus agraria yang menghadapkan masyarakat dengan pemerintah atau perusahaan swasta pasti akan terjadi.
“Selama ini, pasti bicara legalitas, padahal jika masyarakat didorong ke sana, pasti akan kalah. Sebab, pengadilan atau perangkat hukum lainnya akan berpihak kepada yang kuat, bukan yang lemah seperti masyarakat kebanyakan,” ungkapnya.(bersambung)
Sumber Berita: www.teraskreasi.com http://mediakalimantan.com/artikel-8232-kalimantan-harus-pertahankan-lahan-subur.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar