Di atas Selat Madura pada 1971 sebuah pesawat terbang meledak dan jatuh ke laut biru. Seluruh penumpang raib. Tak ada yang tahu pesawat meledak karena menabrak mesin waktu. Satu orang selamat, tapi terdampar ke masa silam.
Dwiyana, penumpang yang selamat, adalah mahasiswa ilmu purbakala. Dia terdampar ke daratan asing di Jawa pada 1292, ketika Kerajaan Singasari masih berjaya dan Majapahit belum berdiri. Dari sinilah petualangannya bermula.
Dwiyana bertemu banyak tokoh, antara lain Raden Wijaya dan meramalkannya akan menjadi raja pertama Majapahit. Tak ada yang percaya. Namun, Dwiyana tentu saja benar. Dia sudah belajar sejarah kontemporer.
Petualangan Dwiyana bisa kita baca pada novel Terlontar ke Masa Silam karya Djokolelono, yang terbit hampir setengah abad lalu. Inilah novel fiksi-ilmiah asli Indonesia.
Novel-novel Djokolelono memanjakan fantasi saya ketika remaja. Dia juga menulis tentang petualangan antariksa, jauh sebelum film Star Wars dibikin. Dari novel-novel itu, juga komik dan novel asing pada masanya, saya belajar sejarah, fisika, antariksa, kimia, biologi, dan ilmu pengetahuan lain.
Saya juga menikmati karya fiksi ilmiah internasional seperti Petualangan Gulliver karya Jonathan Swift atau Berkeliling Dunia di Bawah Laut karya Jules Verne yang mengilhami saya untuk suka menyelam.
Hingga dewasa, saya berutang pada banyak novel dan film kontemporer yang memberikan berbagai pengetahuan. Dari novel-novel John Grisham saya belajar tentang seluk beluk sistem hukum Amerika Serikat. Dari Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, saya belajar flora-fauna pedesaan Jawa dan dampak kisruh politik 1965 pada orang-orang kebanyakan.
Saya mengingat novel dan film fiksi sains itu kembali ketika pekan ini Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir mengeluhkan bahwa ratusan hasil riset kampus selama ini kurang bermanfaat bagi masyarakat. “Antara 2008 hingga 2014 ada 721 riset dengan biaya besar, namun manfaatnya kecil,” katanya, pekan lalu.
Jangankan dimanfaatkan, diketahui pun tidak. Andai saja banyak hasil riset itu bisa dikomunikasikan lebih luas, antara lain lewat karya sastra populer.
Komunikasi sains, atau menyajikan ilmu pengetahuan lewat medium populer, merupakan tema aktual di banyak universitas dan lembaga riset internasional. Banyak universitas di Eropa dan Amerika kini memiliki divisi bagaimana merangsang para peneliti untuk menyajikan hasil riset mereka dalam bahasa yang mudah dipahami khalayak luas.
Divisi tersebut membantu akademisi dan peneliti untuk menulis ilmiah populer serta membuat materi ilmiah dalam bentuk grafis, foto, animasi, dan video. Keterampilan seperti ini dipandang penting untuk menjembatani ilmu pengetahuan yang kering dan beku menjadi materi yang mudah dimengerti.
Di Selandia Baru, Kantor Perdana Menteri bahkan membuat sayembara tahunan dalam bidang komunikasi sains.
Materi pengetahuan populer penting untuk mendekatkan dunia universitas dengan realitas dan kebutuhan masyarakat luas. Lebih khusus, pengetahuan itu penting bagi pengambil keputusan baik di perusahaan maupun pemerintahan, sehingga hasil riset bisa diterapkan lebih luas. Mereka orang-orang yang terlalu sibuk untuk bisa membaca jurnal ilmiah.
Medium untuk menyebarkan informasi sains dan teknologi kini makin beragam berkat internet. Saya menikmati banyak video di YouTube yang berisi tentang ilmu ataupun keterampilan. Tentang bagaimana menanam jagung, merawat bunga, atau mengolah makanan. Jika bahasa Inggris bukan halangan, praktis kita bisa belajar hampir apa saja dari YouTube. Namun, materi asli dan yang relevan dengan Indonesia masih terlalu sedikit.
Saya membayangkan andai saja ada banyak pengetahuan dan keterampilan serupa tentang pertanian, kehutanan, dan kelautan. Materi itu tak hanya bisa lebih luas dimanfaatkan kalangan pengusaha, tapi bahkan bisa membantu petani dan nelayan, karena sifatnya yang populer.
Dari situlah sumbangan universitas bagi masyarakat luas bisa dirasakan. Bukan universitas menara gading.
Geotimes, 06/12/2014, Catatan Bawah Tanah, Farid Gaban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar