Minggu, 11 Oktober 2015

Gestok dan Kehancuran Gerakan Perempuan

Gerwani mengajak perempuan melek politik dan aktif dalam pendidikan. Ditumpas ketika huru-hara ’65‒’66 bersama dengan satu generasi perempuan intelektual.

ELAMA ini, 30 September selalu membawa ingatan masyarakat kepada kudeta G30S/PKI. Mari kita membuka tafsir lain: kudeta itu justru terjadi pada 1 Oktober, ketika Mayor Jenderal (Mayjend) Soeharto melakukan pukulan balik terhadap gerakan yang masih belum jelas identitasnya itu.

Bung Karno memopulerkan sebutan Gestok (Gerakan Satu Oktober) untuk menandingi istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), istilah resmi dari Angkatan Darat (AD). Penyebutan Gestok merujuk kepada hari saat Mayjend Soeharto menolak panggilan Presiden Sukarno ke Halim Perdanakusuma dan menghalangi Pranoto, orang yang dipilih Presiden sebagai pengganti pemimpin Angkatan Darat dan mengambil alih seluruh kuasa militer. Pembangkangan ini adalah awal dari upaya “kudeta merangkak” yang akan dilancarkan Soeharto.

Dalam versi resmi negara, Gestapu didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal bila dirunut kronologinya, terjadi keruwetan dalam peristiwa itu. Tidak ada istilah “dalang” dari kejadian tersebut karena sifatnya yang tidak terpusat dan terkesan “serampangan” (Roosa, 2009). Penculikan jenderal oleh sekelompok perwira muda progresif kemudian dipolitisasi sedemikian rupa oleh AD dan dijadikan senjata pamungkas untuk memukul PKI. Kudeta pada 1 Oktober yang dilakukan oleh militerlah yang seharusnya menjadi ingatan masyarakat.

Selain penggeseran ingatan dari Gestok ke Gestapu atau G30S/PKI, ada pergeseran ingatan lain, yakni soal kehancuran gerakan perempuan. Gerakan perempuan, dalam hal ini Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), dihancurkan oleh kampanye fitnah dari militer yang menuduhnya terlibat dalam penculikan para jenderal.

Akibatnya fatal. Gerwani sebagai motor penggerak perempuan yang getol menyuarakan pendidikan soal perjuangan gender dan kesadaran politik ditumpas habis. Inilah upaya calon rezim Orde Baru memutus berbagai pencapaian gerakan perempuan progresif yang sudah dihidupi sejak awal abad ke-20.

PERIODE 1950‒1960-an merupakan periode emas gerakan perempuan sesudah proklamasi. Gerakan perempuan di periode ini berakar pada gerakan perempuan 1920‒1930-an dan awal abad ke-20. Mereka muncul tidak untuk mengurus persoalan yang masuk dalam “wilayah perempuan” belaka, tetapi juga masalah politik. Politik tidak dibaca sebagai alat merebut kekuasaan, tetapi sebagai bentuk kemelekan dan sikap kritis yang tujuannya memajukan perempuan. Sikap kritis semacam ini dibangun melalui gerakan pendidikan.

Salah satu gerakan yang progresif dalam hal pendidikan ialah Gerwani, dulu bernama Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Organisasi ini mengusung gagasan-gagasan progresif, seperti pentingnya perempuan memiliki kesadaran hukum dan mengenai keterwakilan perempuan di parlemen. Hal ini dapat kita telusuri dari arsip-arsip media “corong” Gerwis, salah satunya Wanita Sedar.

Gerwis sangat “galak” dalam analisis-analisisnya di Pengantar Redaksi, yang merespons kondisi sosial-politik pada masa itu. Misalnya analisis soal keputusan Konperensi Meja Bundar (KMB) yang dinilai tidak mencerminkan kedaulatan atau merdeka 100%. Salah satu keputusan KMB dinilai memberatkan Indonesia, yakni tentang kewajiban pemerintah Indonesia membayar utang perang kepada Belanda serta adanya keharusan untuk melindungi modal asing (Wanita Sedar, 15 Oktober 1950). Beban utang ini tidak rasional, mengingat siapa yang menjajah siapa. Bagi Gerwis, kondisi negara yang terkait dengan berbagai macam urusan politik seperti itu haruslah dipahami pula oleh perempuan Indonesia agar ruang hidupnya tidak tergilas oleh kepentingan segelintir elite politik belaka.

Gerwis kemudian berubah menjadi Gerwani seiring meningkatnya aktivitas. Mereka tak lagi sekadar berkutat dalam wacana. Gerwani merekrut para perempuan desa untuk menjalankan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH), yang sangat diperlukan saat itu, serta mendampingi para buruh perempuan. Juga mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) gratis agar buruh-buruh perempuan bekerja dengan tenang. Semua rintisan aktivitas dan pendidikan kesadaran perempuan tersebut kemudian habis tumpas disapu Gestok.

BUKAN hanya tujuh orang jenderal, ribuan hingga ratusan ribu perempuan yang dituduh simpatisan PKI turut menjadi korban Gestok. Penyebabnya adalah propaganda bahwa para perempuan Gerwani menari telanjang, yang disebut “tarian harum bunga”, pada saat pembunuhan para Jenderal di Lubang Buaya.

Padahal yang terjadi, para perempuan itu ditangkap dan dihajar habis-habisan oleh tentara. Sebagian dipaksa mengaku telah menyilet-nyilet wajah dan penis para jenderal yang tengah sekarat (Wieringa, 1999). Propaganda tersebut merupakan upaya militer yang sistemis dan terencana agar para perempuan kritis ini kembali ke “kodratnya”. Penghancuran yang benar-benar ampuh untuk melumpuhkan gerakan perempuan menjelang berseminya Orde Baru.

Para perempuan yang difitnah adalah intelektual dan pejuang perempuan. Gestok membuat satu generasi intelektual perempuan “hilang” lewat penangkapan, pemerkosaan, pemenjaraan tanpa peradilan, penghilangan paksa, hingga pembunuhan. Bahkan mereka yang bukan anggota Gerwani turut menjadi korbannya, seperti yang dialami Soekemi (nama samaran). Darinya, saya mendapat tuturan mengenai salah satu bentuk kekerasan dampak Gestok yang dialami perempuan (tertuduh) Gerwani.

Soekemi lahir pada 1943 di sebuah desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Bapaknya bernama Salam, seorang carik (sekretaris) desa. Semasa Perang Dunia II, Soekemi dibawa keluarganya mengungsi ke desa tetangga karena rumah mereka dibakar tentara Belanda. Beberapa kali mereka berpindah-pindah, hingga ke desa yang lebih jauh bernama Kali Gintung. Masa itu adalah zaman susah. Makanan sulit diperoleh. Mereka memakan apa saja yang tersedia di hutan. Saat-saat mengungsi itu baru berakhir di tahun 1950-an.

Di usia 13 tahun, Soekemi bersekolah di sekolah menengah pertama Kanisius di kota kecamatan. Ketika itu, ia belajar membawakan Tari Bondan, sebuah tarian yang dilakukan dengan cara menggendong boneka sambil berdiri di atas kendi yang diguling-gulingkan, tanpa membuatnya pecah.

Bisa menarikan Tari Bondan membuatnya sering diajak guru ke Kota Purworejo untuk pertunjukan. Soekemi menari di acara perkawinan atau rapat terbuka partai, baik PKI, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Nahdlatul Ulama, dan sebagainya. Kadang ia menari saat pembukaan pertunjukan wayang.

Selain menari, Soekemi juga mengajar di TK Melati yang didirikan Gerwani. Meski menjadi guru di sana, ia bukan anggota Gerwani. Soekemi mengajar sekitar 60 anak dan digaji setiap musim panen berupa beras dan “uang merah” Rp2. Saat itu ia duduk di sekolah menengah atas.

Soekemi merupakan salah satu yang ditangkap selepas Gestok. Militer meringkusnya pada Februari 1966, bersama dengan ratusan perempuan lainnya. Mereka di-screening di Kantor Corps Polisi Militer (CPM), kemudian ditahan di Kantor Dinas Sosial di Purworejo. Di sana, ratusan perempuan itu tidur berimpitan seperti ikan pindang.

Soekemi kemudian dipenjara dengan tuduhan sebagai anggota Gerwani dan turut ke Lubang Buaya di Jakarta.

“Lubang Buaya itu apa? Pada saat itu saya baru kelas dua SMA.

“Orang yang bernama Saronto yang menjebloskan saya [ke penjara]. Saya dituduh Gerwani, karena ayah saya senang kesenian sehingga dianggap Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat]. Pada waktu saya di-screening, ada organisasi yang mempunyai anggota banyak, kenapa yang dijatuhkan cuma saya? Jika organisasi itu ada ketua, sekretaris, bendahara, mengapa cuma saya yang diambil?”

Hingga tahun 1970 ia berada dalam penjara Kejaksaan Purworejo. Ia sempat melewati interogasi yang menyiksa: dipukuli dengan kayu, bibir disundut rokok, dan ditelanjangi dengan alasan mencari cap di punggungnya. Pada waktu dipukuli dengan kayu, Soekemi pingsan.

“Saya disiksa oleh tentara dari kejaksaan, CPM, dan sipil. Tidak hanya oleh orang 1, tetapi oleh 15 orang sekaligus. Maka ketika saya pulang itu Pak Lik Carik yang sekarang mengatakan, ‘Kamu masih hidup?’ Sekarang jaksanya juga sudah mati. Jaksanya juga perempuan.”

Untuk menghilangkan semua lebam di sekujur tubuhnya ia membalurnya dengan beras kencur yang dibuatkan oleh sesama tahanan. Bahannya didapat tahanan dari keluarga yang menjenguk. Di penjara Purworejo, orang-orang tahanan boleh dibawakan beras dan kedelai untuk membikin tempe, yang kemudian dijual ke luar.

Sampai ia dibebaskan di tahun 1970, Soekemi bukan hanya ditahan, melainkan juga dikenai kerja paksa di tiga tempat. Pertama, kerja di tempat Pri, Komandan CPM setempat.

“Saya bekerja di rumah Pak Pri sebagai pembantu rumah tangga dengan pekerjaan cuci, bersih-bersih dan masak. Saya tidak ada yang ngurus. Saya diurus oleh orang-orang yang di penjara, mereka yang memberikan ransum.” Selepas dari rumah ini, ia bekerja di rumah seorang dokter bernama Lau.

Saat dibebaskan, Soekemi tak seketika “bebas”. Ia harus berurusan dengan Komando Rayon Militer (Koramil) yang memintanya menunjukkan surat-surat identitas. Saat pemeriksaan itu, ia dinyatakan tidak bersalah dan bukan pelarian. Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jawa Tengah kemudian menerbitkan surat yang menyatakan Soekemi sama sekali tak terlibat peristiwa ’65. Surat itu masih ia simpan sampai sekarang.

“Tidak terlibat, kok, sudah dipenjara tiga tahun,” katanya.

Pada saat proses pemeriksaan, ia masih disuruh bekerja di Koramil. Lalu dikenai wajib lapor. Awalnya setiap hari, lalu seminggu sekali, kemudian sebulan sekali.

Soekemi merupakan salah satu potret dari ratusan perempuan yang hidupnya berubah sama sekali selepas ‘65. Ia trauma dan tak mau menari lagi. Bahkan, saat kehidupan “normal” dan datang permintaan mengajar lagi di TK Melati—yang sudah berubah nama menjadi TK Mardisiwi—permintaan itu langsung ia tolak. Tak hanya itu, tarian-tarian yang pernah ditarikan oleh Soekemi dan mewarnai kehidupan kesenian di desa itu turut menghilang.

SELEPAS berakhirnya rezim Soeharto, para penyintas mulai muncul ke hadapan publik yang lebih luas. Namun, setelah satu dasawarsa Reformasi, political will pemerintah meralat narasi lama tragedi ‘65 tidak pernah berhasil. Negara tidak mampu memberi ruang untuk rekonsiliasi melalui keputusan politik. Tindakan yang harusnya dilakukan oleh negara akhirnya diambil alih oleh sebagian masyarakat. Mulai dari usaha pendokumentasian kesaksian para penyintas hingga penuntutan tanggung jawab atas kejahatan hak asasi di masa lalu.

Bagi gerakan perempuan, persoalannya lebih rumit. Tantangan “melek politik” harusnya didasarkan pada kesinambungan sejarah perjuangan gerakan perempuan alih-alih menjadi ahistoris. Gerakan perempuan sesudah Reformasi sejatinya mendapat angin segar untuk kembali ke jalur awal, yang telah dirintis perempuan-perempuan seabad lalu. Meski jalannya masih terjal, termasuk karena adanya tekanan dari kelompok-kelompok tertentu atau bahkan dari pemerintah lewat pemaksaan peraturan daerah yang justru membatasi gerak perempuan. Gerakan perempuan sesudah Reformasi menghadapi persoalan kompleks tentang bagaimana membangun gerakan yang dapat memberikan alam kebebasan bagi perempuan sekaligus memulihkan beban masa lalu yang masih terbawa hingga saat ini.[]

Sumber: Pindai
---------------
Unduh Gestok dan Kehancuran Gerakan Perempuan PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...