Selasa, 09 Februari 2016

Suatu Kisah dalam "Perburuan" Pramoedya Ananta Toer

[Untuk Ulang Tahun P.A.T yang Ke-91]

Dari Penjara Lahirlah Karya

Hanya sedikit karya sastra yang berkisah pada masa pendudukan Jepang. Dari yang sedikit itu, satu yang menonjol adalah Perburuan karya prosais terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Perburuan unik karena beberapa sebab. Novel ini ditulis Pram—begitu ia biasa disapa—ketika berada di tahanan Bukit Duri, Jakarta. Konon, berdasarkan penuturan Pram sendiri, ia menuliskannya dengan duduk berjongkok di atas kaleng margarin yang dilandasi papan kecil. Sebagai meja digunakan amben beton tempat tidurnya di dalam penjara. Dengan pensil pemberian pembesuk, Pram menuliskan lembar demi lembar. Ketika ada petugas jaga lewat, ia segera menyembunyikannya. Di malam hari, Pram menuliskannya di kolong tempat tidur dengan diterangi pelita kecil. Dengan cara seperti itu, Perburuan selesai ditulis dalam waktu satu minggu.

Keunikan yang lain, kisah dalam Perburuan hanya dalam waktu 1 X 24 jam. Waktu penceritaanya lebih pendek dari karya Pram yang lain, Keluarga Gerilya. Kisahnya dimulai menjelang senja di rumah Lurah Kaliwangan dan berakhir sore keesokan harinya di rumah Ningsih; atau sore hari tanggal 16 Agustus sampai tanggal 17 Agustus 1945. Dengan waktu yang ringkas itu Pram mencoba menggali gejolak jiwa pemuda Indonesia pada akhir masa Jepang.

Tak kalah uniknya, Perburuan memenangkan Sayembara Sastra Balai Pustaka tanpa sepengetahuan penulisnya. Konon, naskah tersebut dibawa keluar penjara oleh sahabat Pram, Prof. Resink. Oleh sang profesor kemudian diserahkan kepada H.B Jassin. Dan, oleh Jassin kemudian diikutsertakan dalam sayembara.

Setelah terbit pada tahun 1950 dengan sub judul sebuah cerita khayali, Perburuan terus mengalami cetak ulang pada tahun 1955 dan 1959, kemudian terbit lagi dengan ejaan baru pada tahun 1994 dengan sub judul sebuah novel. Perburuan juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Terjemahan bahasa Inggris dikerjakan oleh H. Avelling dengan judul The Fugitive, terbit pada tahun 1975 dan mengalami cetak ulang tahun 1985. Terjemahan bahasa Inggris yang lain dilakukan oleh Williem Samuels dan terbit pada tahun 1990. Setelah terjemahan bahasa Inggris, muncul kemudian terjamahan dalam bahasa Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Cina dan Turki. Terjemahan dalam berbagai bahasa tersebut menunjukkan Perburuan telah membetot perhatian pembaca sastra di luar negeri.

Proses kreatif penulisan Perburuan tak terlepas dari pengalaman Pram sendiri. Sewaktu Jepang datang, Pram masih berada di Blora. Saat-saat yang sulit bagi dirinya. Jepang memporak porandakan perekonomian kota Blora. Kalau pada masa Belanda orang hidup melarat, zaman Jepang kemelaratan ditambah kekacauan. Barang-barang kebutuhan pokok menghilang dari pasar. Bahkan garam sulit ditemukan. Orang-orang harus antri untuk mendapatkannya. Hari-hari pertama kedatangan Jepang ditandai dengan penjarahan. Hari berikutnya para penjarah ditembak oleh tentara Jepang.

Kebengisan juga mulai ditunjukkan bangsa yang menurut ramalan Jayabaya disebut ‘saudara tua’ itu. Seorang matri hutan diikat di jembatan Kaliwangan. Jepang tahu mantri itu dibenci oleh penduduk karena sering menangkap pencuri kayu. Awalnya, orang itu diludahi oleh para penduduk yang lewat. Kemudian dicambuk dengan ikat pinggang. Dan, akhirnya Jepang memerintahkan untuk dipicis, sesayat demi sesayat. Sejak saat itu orang-orang Blora tak berani macam-macam lagi dengan Jepang.

“Kota mulai sunyi,” tulis Pram. “Jepang mulai menahan orang di tempat-tempat yang diperkirakan jadi tempat pertemuan umum.” Tak ada kebebasan begerak lagi. Siapa saja yang dicurigai ditangkap. Bahkan orang yang tidak bisa duduk bersila karena cacat atau tak berbiasa, ditangkap karena dianggap pelarian dari angkatan perang Hindia Belanda. Blora mati dalam kesunyian.

Kedatangan Jepang di Blora juga ditandai dengan krisis ekonomi di keluarga Pram. Ayah Pram yang guru itu, tak berpenghasilan. Ibunya sakit-sakitan. Guna menyumpal mulut-mulut di keluarga itu, Pram dan adik tertuanya berjualan di pasar. Yang mereka jual barang rombengan yang dibeli dari penduduk yang membutuhkan uang tunai untuk mengisi perut keluarganya. “Dengan usaha itu,” kenang Pram, “kami berdua—adikku berumur dua tahun tepat lebih muda dari aku sendiri—dapat menghidupi keluarga, bahkan dapat membelikan pakaian dan obat.”

Tapi semuanya tak mulus. Manusia mesti mencadangkan nasib buruk. Ketika usaha kecil-kecil yang dirintis Pram mulai berbuah, penggada itu datang menghancurkan kemujurannya. Sepeda ayah Pram yang belum setahun dicicil dari toko, dirampas oleh serdadu Jepang. Tak berhenti di situ. Suatu sore ketika Pram bersepeda ke suatu tempat, giliran sepedanya dirampas. “Di jalanan kuburan yang senyap,” kenang Pram, “aku berpapasan dengan dua serdadu Jepang yang sedang berpratoli mengendarai sepeda kayu. Mereka hentikan aku, dan aku turun dari sepeda baruku. Langsung milik kebangganku itu dirampas.” Setelah sepeda diambil, jam tangan yang dipakai Pram pindah ke kantong salah satu serdadu itu. Berdasarkan pengakuan Pram, kejadian itu telah “membawa beban kebencian dalam hati.”

Makin terondol kehidupan Pram dan keluarganya.

Penutup dari dari semua itu adalah kematian sang ibu. Ibu dan adik bungsu Pram meninggal karena TBC. Inilah arus balik dalam kehidupan Pram. Tepat usianya 17 tahun. “Pada pagi hari bulan Mei 1942 ibuku ditanamkan di kuburan di utara kota dalam satu lahat dengan adikku kecil,” ingat Pram. Baginya, sang ibu merupakan sosok yang ia kagumi dan cintai. Sayang ia harus pergi dalam usia relatif muda: 34 tahun.

Setelah kematian itu, Pram harus meninggalkan Blora. Kota itu tak bisa menghidupi lagi. Ia pergi menuju Jakarta.

Di Jakarta fasisme Jepang tak kalah ganasnya. Keganasan Jepang menjadi berita sehari-hari. Sebuah kesalahan kecil bisa menjadi palu kematian bagi pelakunya. Pengalaman itu terekam dalam benak Pram yang kala itu bekerja di kantor berita Domei. Waktu libur, Pram mengisi hari membaca buku di Gedung Gajah. Di samping gedung itu terdapat markas Kempei Tai. “Mulai lembaran pertama buku dibaca, sampai rungan ditutup,“ kata Pram, “silih berganti rauangan suara ‘ampun tuan.’” Penyiksaan tentara Jepang sudah tersebar luas. Tahanan ditelentangkan dan dipaksa meminum air sabun, merupakan salah satu bentuknya.

Semua itu pelan-pelan telah menumpuk kebencian rakyat Indonesia pada Jepang, yang nantinya meledak menjadi bara revolusi. Dari hilir pengalaman pribadi dan bangsanya, Pram kemudian melahirkan novel Perburuan.

Revolusi Pemuda

Kata pemuda yang sebelumnya dianggap biasa-biasa saja—mungkin kecuali Sumpah Pemuda—marak ke atas ketika Jepang datang. Jepang yang gemar mengumpulkan pemuda guna memenuhi kebutuhan ketentaraan untuk melawan Sekutu, telah menggelandang pemuda yang sebelumnya hanya bergumul dengan tanah dan luku di desa-desa, menjadi sosok penting. Pemuda bukan lagi sekadar proses kehidupan manusia—bayi, anak-anak, pemuda, dewasa dan kemudian menua. Pemuda telah berubah menjadi entitas penggerak perubahan bangsanya; penyulut nasionalisme.

Proses kematangan pemuda Indonesia di masa Jepang semakin dipercepat oleh kondisi sosial masyarakat yang buruk. Jepang telah menyeret rakyat Indonesia dalam kesengsaraan maha dahsyat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kegagalan panen, kelaparan, wabah penyakit, dan tentu saja yang paling membekas adalah romusha. Para petani miskin dari Jawa Tengah dan Jawa Timur digiring untuk membangun proyek-proyek militer di Sumatera, Birma sampai Thailand. Dari kira-kira sekitar 500.000 ribu orang yang ditebarkan untuk romusha, hanya sebagian kecil yang pulang kembali ke rumah; sebagian besar gugur di kamp-kamp kerja paksa.

Situasi tersebut dalam mitologi klasik Jawa disebut sebagai Zaman Edan. Pemuda hidup dalam pusaran itu. [...] “dalam masyarakat yang sudah gelisah karena penderitaan dan pertanda-pertanda buruk inilah,” tulis Ben Anderson, “pemuda zaman perang itulah dibesarkan.” Pemuda muncul sebagai bara api di tengah kebengisan tentara Jepang dan kehidupan politik yang mampat. Pemuda muncul sebagai arus yang membongkar kebuntuan situasi nasional bangsanya ketika tokoh-tokoh elit seperti Soekarno dan Hatta justru berkolaborasi dengan Jepang. Mereka inilah yang kelak menjadi picu ledak revolusi nasional 17 Agustus 1945.

Jepang memang membawa bencana, tapi ditepi lain mengentalkan rasa nasionalisme dikalangan pemuda. Awalnya, nasionalisme Indonesia pada awal-awal abad ke-20 hanya berpusar pada kalangan pribumi berada yang mampu masuk sekolah Belanda. Lewat bacaan mereka mulai mengenal kata nasionalisme lewat revolusi Prancis, Rusia, perjuangan rakyat Filipina hingga geliat nasionalisme Tiongkok. Pengalaman ini memadat yang kemudian menumbuhkan bibit perlawanan yang kemudian bermuara pada organisasi politik. Tapi nasionalisme mereka terasing dari masyarakat luas yang tak mengenal pendidikan Belanda. “Akan tetapi karena nasionalisme ini adalah suatu jawaban kepada pengalaman,” analisa Ben Anderson, “maka tentunya dibatasi pada mereka yang lebih kurang dapat secara langsung dapat mengambil bagian dari pengalaman itu.” Inilah yang menyebabkan: “Pemuda-pemuda yang berkesadaran politik pada tahun 1930-an betul-betul terisolasi dari mayoritas sebanyanya.” Dengan kata lain, nasionalisme hanya milik kaum sekolahan.

Kehadiran Jepang telah merembeskan nasionalisme sampai ke pelosok-pelosok. Kosakata itu bukan lagi milik kaum terpelajar di kota. “Barulah pada zaman Jepang,” telaah Ben Anderson, “nasionalisme tersebar luas sampai ke kota kecil dan desa-desa.” Pemuda yang diwadahi Jepang dalam berbagai organisasi—mulai dari Peta sampai organisasi kepanduan—mendapatkan tetesan ide-ide nasionalisme yang kelak akan mengkristal dalam Revolusi Agustus 1945. Seperti tombak bermata dua, nasionalisme itu kemudian menusuk Jepang itu sendiri, persis yang dikatakan bekas wedana Karangjati dalam Perburuan:

“Buatan Jepang itu begitulah jadinya sekarang. Mereka membangunkan perasaan hormat pada diri sendiri sambil menunjukkan kebiadaban musuhnya. Tapi Nippon dengan tiada disadarinya membuat liang kuburnya sendiri.”

Hardo—tokoh protagonis dalam Perburuan—terbentuk dalam situasi seperti yang telah diuraikan di muka. Ia masuk menjadi anggota Peta—balentara Jepang. Di tempat itulah api nasionalisme mulai menyala dalam dirinya. Kalau dulu pusat gerakan nasionalis berpusar di Batavia dan Bandung, dengan masuknya Jepang, maka kota kecil seperti Blora mulai tersiram nasionalisme. Kondisi tersebut mulai menghujam ke Jepang itu sendiri. Hardo memberontak. Ia bersama dua kawannya, Dipo dan Karmin, melakukan pemberontakan terhadap Jepang. Pada akhirnya mereka ”sadar juga akan keganasan gurunya.” Sejak saat itu perburuan untuk menjaring para pemberontak pun dimulai.

Kisah Hardo memang mengingatkan pada pemberontakan Supriyadi di Blitar. Pada tanggal 14 Februari 1945, kota Blitar diguncang oleh pemberontakan tentara Peta. Supriyadi, dr. Ismangil, Suwondo, Muradi, dan prajurit Peta lainnya melakukan perlawanan bersenjata terhadap Jepang. Pemberontakan ini gagal, tapi telah mengajarkan keberanian kepada pemuda-pemuda lain untuk berani berontak.

Hardo bisa dikatakan alegori Supriyadi. Sejarah mencacat Supriyadi merupakan anak Bupati Blitar, Darmadi. Dengan kata lain, ia masih keturunan priyayi. Sedangkan Hardo anak Wedana Karangjati, M. Kasim. Dengan begitu keturunan priyayi juga. Kedua-keduanya digembleng dalam Peta. Dan, pemberontakan keduanya sama-sama gagal sehingga menjadi buron Jepang.

Kemisteriusan Hardo juga mirip dengan Supriyadi. Keduanya dikabarkan hilang secara gaib setelah pemberontakan gagal. Hardo konon dikatakan sembunyi dan bersemedi di Gua Sampur. Tapi ketika gua itu dikepung polisi Jepang dan warga, Hardo tak pernah ditemukan. Pun, Supriyadi juga dikisahkan menghilang dan konon kabarnya muksa. Bahkan sampai sekarang keberadaanya masih simpang siur.

Memang seputaran bulan Juli sampai Agustus 1945, Pram pergi ke Kediri, melarikan diri dari kantor berita Domei. Mungkin ketika di kota yang tak jauh dari Blitar itu, Pram mendengar berita tentang pemberontakan Supriyadi, yang kemudian hari menjadi inspirasi untuk menulis novel Perburuan. Dan menurut pengakuan Pram sendiri memang novel itu muncul karena dorongan “semangat anti Jepang, atau lebih tepatnya: anti militerisme Jepang.” Oleh sebab itu semangat patriotik sangat kental dalam Perburuan; Hardo merupakan representasi semangat itu yang memang lagi mekar-mekarnya di masa akhir pendudukan Jepang.

Revolusi Jiwa: Pembebasan ke Atas

Memang ada paralelisasi antara pemberontakan Supriyadi di Blitar dengan Perburuan. Tapi tidak bisa dikatakan novel Pramoedya tersebut merupakan novel sejarah. Lebih tepat novel tersebut dikatakan novel “ide”, yang membedah karakter-karakter manusia Indonesia pada titik krusial menjelang kemerdekaan. “Kali ini ide pokok yang hendak disampaikan [dalam Perburuan],” ulas Keith Foulcher, “berkisar gagasan tentang rasa takut dan keberanian, pengkhianatan dan balas dendam.”

Pram sendiri menyebut bahwa keberanian para pemuda melawan penjajahan merupakan bentuk revolusi jiwa: “epos tentang revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka.” Karya-karya Pram pada periode ini seperti Di Tepi Kali Bekasi, Keluarga Gerilya dan Perburuan, memang lebih banyak berbicara tentang revolusi jiwa—sebuah revolusi yang tak kalah pentingnya dengan revolusi fisik dan revolusi sosial.

Salah satu ciri khusus dari karya Pram—termasuk Perburuan—yang membabar revolusi jiwa adalah adanya pertentangan antara golongan tua dan golongan muda. Dalam Di Tepi Kali Bekasi ada pertentangan antara Farid dan bapaknya, sementara Keluarga Gerilya menampilkan adu kekuatan antara Saa’man dan Kopral Paijan—sang bapak—dan Perburuan menghadirkan hadap-hadapan pikiran antara anak-bapak: Hardo vs M. Kasim. Bahkan dalam Keluarga Gerilya pertentangan tersebut berujung dibunuhnya Kopral Paijan oleh Saa’man dan dua adiknya; tingkah polah sang bapak yang prajurit KNIL dianggap sudah membahayakan bagi revolusi.

Revolusi memang kejam. Pram mengajukan pertanyaan retoris: “Berapa banyak jumlah keluarga yang hancur oleh peperangan? Peperangan mana saja, termasuk juga peperangan yang diakibatkan oleh revolusi nasional?” Korban tersebut memang tak bisa dihindarkan karena sang penghisap dan yang dihisap berhadap-hadapan untuk meniadakan.

Dalam masa revolusioner tersebut golongan tua dianggap sebagai penyumbat bagi berlangsungnya revolusi jiwa. Ayah Farid dan Saa’man justru memilih bekerja pada pihak lawan. Bahkan dengan terbuka mereka menghalangi “anak-anak revolusi” ini berjuang melawan penjajah.

Dalam Perburuan, benturan pemikiran antargenerasi bisa dilihat ketika terjadi dialog antara Hardo dan M. Kasim di ladang jagung:

“Dan apakah yang bisa kau capai dengan membuang harta benda dan umur hanya untuk jadi hamba meja judi?” kata kere itu sebagaimana menguji muridnya.

“Aku? Aku tak ada niat mencapai apa-apa. Untuk apa? Aku tak punya istri. Aku tak punya anak. Aku tak punya kawan lagi sebagaimana dulu. Yang ada padaku sekarang hanyalah ketakutan yang selalu memburu dan keinginan berjudi lama-lama. Apa yang akan kucapai? Apa? Dan apa gunanya? Bisa membebaskan diri dari segala kejemuan dan gangguan otak itu sudah karunia besar buatku. Dan bagimu, kawan, apa yang bisa kau capai dengan memperjudikan nasib dan umurmu?”

“Untukku? Kebebasan yang lebih besar daripada kebebasanmu.”

“Kebebasan apa maksudmu?”

“Kebebasan dari tindisan.”

“Tindisan?”

“Tindisan yang dipaksakan. Tindisan terhadap suatu bangsa atau manusia yang tidak seharusnya ada untuk ditindis.”

Setelah dipecat jadi wedana begitu anaknya memberontak, M. Kasim—ayah Hardo— lebih banyak menghabiskan waktu dengan berjudi. Apalagi setelah istrinya meninggal karena tak kuat menanggung beban, semua keputusasaan tersebut ditumpahkan di meja judi. Sosok M. Kasim mengingatkan pada sosok ayah Pram sendiri, Mas Toer, yang pada penghujung hidupnya banyak menghabiskan waktu di meja judi juga. Ayah Pram juga mengalami hal yang sama: kekecewaan terhadap situasi bangsanya tapi tak mampu berbuat apa-apa. Sikap pasrah yang kemudian dibayar dengan berjudi inilah yang dikritik Hardo—dan Pram sendiri—karena tidak menghasilkan apa-apa. Golongan tua tidak bisa berbuat lain selain memuaskan dirinya sendiri. Bahkan pilihan Hardo untuk berjuang melepaskan diri dari penindasan bangsa lain—suatu langkah revolusioner—justru diejek:

“…Dan kalau cita-citamu itu kau kerjakan juga…kalau kau mau menentang tindisan yang dipaksakan pada bangsa dan orang seorang…taukah engkau?…Engkau akan menghadapi seluruh dunia.” Ia tertawa mengejek.

Terlihat bahwa golongan tua ragu terhadap proses perubahan yang revolusioner. Mereka tak percaya pada kekuatan angkatan muda akan mampu memompa perubahan. Sikap penakut dan tak mau ambil risikolah yang menyebabkan golongan tua mempunyai karakter seperti itu. Seperti yang dikatakan Hardo: “Alangkah penakutmu ini. Engkau hamba meja judi…engkau yang memangsa dirimu sendiri dan umurmu untuk penukar kebebasan dari gangguan otak…engkau takut dimangsa samurai.”

Pembebasan yang diinginkan Hardo adalah pembebasan ke atas. Artinya, melepaskan diri dari belenggu penindasan yang mengikat tangan, kaki dan jiwa, yang menyebabkan diri tak merdeka: “…sesungguhnya kita harus bebas dari satu-satu ikatan, mendaki ke atas…walaupun kemudian terikat pula. Pembebasan ke atas!…bukan ke bawah.”

Di sinilah pembebasan ke atas akan bermuara pada rumah kemanusian: tak ada penindasan manusia atas manusia yang lain. Inilah tujuan yang hendak dicapai dari revolusi fisik dan revolusi sosial; bukan hanya menang melawan sang penindas, tapi membebaskan semua manusia dari ketertindasan. Walaupun usaha ini belum tentu berhasil 100 persen, tapi tetap perlu diperjuangkan sampai batas kemampuan berakhir. Dan, agar tuntas tidak ada jalan lain untuk mencapainya, yaitu melalui revolusi. Mengapa revolusi? Karena kekuatan penghisap tak akan rela begitu saja menyerahkan kebebasan itu. Semuanya mesti direbut lewat perjuangan bersenjata.

Proses menuju pembebasan ke atas itu memang tak mudah. Keberanian menjadi kata kuncinya. Sebab itu anak-anak muda yang secara taktik kemiliteran kalah dengan Jepang berani berontak. Mereka rela diburu-buru dan melakukan perlawanan di bawah tanah. Hardo dan kawan-kawannya bergerilya, sembunyi dan berlawan dari satu tempat ke tempat lain untuk menghindari sergapan polisi Jepang. Memang tidak semuanya kuat menghadapi situasi seperti itu. Karmin, sahabat Hardo dalam pemberontakan, memilih menjadi pengkhianat. Tapi itu tak mengurangi kekuatan kaum muda untuk menjalankan revolusi, melakukan perubahan ke atas.

Epilog: Sastra yang Berlawan

Walaupun berisi kontemplasi pemikiran, namun Perburuan dapat dikatakan sebaga sastra yang berlawan. Perlawanan terhadap pandangan usang, pengecut, penakut serta penggedoran terhadap fasisme Jepang. Memang pada periode ditulisnya Perburuan, Pram belum menganut sastra yang disebut realisme sosialis. Tapi dari karya awal-awal tersebut, Pram sudah menunjukkan pemihakan yang tegas: melawan segala macam bentuk penindasan.

Sebagai sastra yang berlawan Pram percaya akan dua hal: revolusi dan pemuda. Bagi Pram revolusi merupakan: “Dia adalah dan terutama sekali pembebasan, dia adalah matarantai baru dalam rumah kemanusian.” Dan, Pram percaya hanya kaum muda yang bisa menjadi tulangpunggung revolusi.

Di tengah kelangkaan sastra yang berlawan akhir-akhir ini, Perburuan bisa dibaca ulang agar api perlawanan terhadap kesewenang-wenangan yang hadir setiap hari tak memudar dan mati.***

Yogyakarta.6 Februari 2016

Daftar Bacaan:

Ananta Toer, Pramoedya. 1994. Perburuan. Jakarta: Hastra Mitra.
——————————- 1995. Keluarga Gerilya. Jakarta: Hasta Mitra.
——————————- 1995. Di Tepi Kali Bekasi. Jakarta:Hasta Mitra
——————————- 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II. Jakarta: Hasta Mitra.
——————————- 2009. Perburuan dan Keluarga Gerilya [dalam Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang]. Jakarta: KPG
Anderson, Ben. 1988. Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1994-1946. Jakarta: Sinar Harapan.
Foulcher, Keith. 2002. Revolusi, Manusia, Gado-gado [dalam Jurnal Prosa]. Jakarta: Metafor
Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumber: Tikus Merah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...