Kasus prostitusi online kembali mencuat, kali ini menjerat artis dan pejabat. Media kembali panen berita.
Beberapa waktu terakhir fenomena prostitusi menjadi topik hangat pemberitaan media massa. Dimulai dari penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya, wacana legalisasi prostitusi di Jakarta, kematian Deudeuh Tata hingga kasus AA dan tanggapan-tanggapan yang dilontarkan setelahnya. Paling kurang ada beberapa hal yang menjadi benang merah dan menghubungkan isu-isu ini yakni, tersebarnya praktik prostitusi di kos-kosan dan hotel-hotel akibat tidak adanya lokalisasi, dan besarnya jumlah uang yang beredar dalam praktik prostitusi terselubung itu. Menariknya, RA, mucikari yang ditangkap bersama AA, mengungkapkan bahwa pelanggannya ada juga yang berasal dari kalangan anggota DPR.
Pengakuan ini menimbulkan aneka tanggapan dari berbagai pihak. Misalnya saja Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang menginginkan agar nama para pelanggan jasa prostitusi itu diungkap ke publik agar menjadi pelajaran. Ahok, sapaan akrab Basuki, menyimpulkan bahwa pejabat yang menggunakan jasa prostitusi kelas atas tentu menggunakan uang hasil korupsi, gratifikasi, atau tidak bayar pajak, karena gaji mereka terlalu kecil untuk membeli jasa prostitusi kelas atas yang bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Pernyataan Ahok ini, seperti biasa, mengundang komentar politisi lainnya. Haji Abraham Lunggana, yang akrab disapa Lulung, “seteru” Ahok di DPRD DKI punya pandangan yang berbeda. Menurut Lulung, kalau ada pejabat yang menggunakan jasa prostitusi artis bisa jadi karena faktor iseng. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan keberatannya bila nama pejabat yang menjadi pelanggan artis pelaku prostitusi dipublikasikan, dengan alasan mencemarkan nama baik. Sebaliknya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menantang RA untuk melaporkan siapa saja anggota DPR yang menggunakan jasa para artis itu.
Selain mengundang komentar dari para pejabat publik, pada sisi lain, kasus AA menunjukkan pretensi media dalam mengungkap kasus prostitusi kalangan atas yang selama ini hampir tidak pernah tersentuh. Berbeda dengan prostitusi online di kalangan menengah ke bawah yang menggunakan media sosial macam Facebook atau Twitter, prostitusi kalangan artis menggunakan aplikasi pesan seperti Blackberry Messenger (BBM) dan WhatsApp sehingga yang bisa mengaksesnya hanya kalangan tertentu alias terbatas.
Masifnya pemberitaan media terkait kasus prostitusi kalangan artis juga membuktikan bahwa media tidak lagi berkutat pada pengungkapan kasus-kasus prostitusi yang terjadi di kalangan menengah ke bawah. Pengakuan RA tentang keterlibatan pejabat tidak hanya diketahui oleh aparat kepolisian yang menangani kasusnya, tetapi menjadi pengetahuan publik berkat informasi yang disampaikan media massa. Pada tahap ini, media telah mencoba mendudukkan kalangan pejabat dan kalangan rakyat biasa yang terlibat prostitusi pada posisi yang sama. Keterlibatan kedua kalangan ini sama-sama diungkap, tanpa harus ditutupi atau dirahasikan.
Beda Kasus, Beda Perlakuan
Kasus tertangkapnya RA dan AA mengingatkan kita pada tewasnya Tata Deudeuh, seorang pelaku prostitusi yang menawarkan diri lewat media online, beberapa waktu lalu. Keduanya menawarkan jasa prostitusi secara online. Namun, terdapat perbedaan yang mencolok: keduanya berasal dari lingkungan pergaulan dan dunia sosial yang berbeda. Perbedaan ini terlihat dari harga yang dikenakan atas layanan yang diberikan. Bila prostitusi sekelas AA mematok harga puluhan hingga ratusan juta rupiah, maka harga yang dipatok prostitusi sekelas Tata Deudeuh jauh lebih rendah.Namun, perbedaan kelas di antara keduanya bukan hanya berpengaruh pada tarif kencan, melainkan lebih jauh, perbedaan kelas ini berpengaruh pada perlakuan aparat kepolisian. Ada beberapa hal yang dapat dilihat sebagai bukti adanya perlakuan berbeda oleh pihak kepolisian terhadap Tata Deudeuh dan AA.
Sejak awal kasusnya, nama Tata Deudeuh cenderung disebut secara gamblang dan terbuka oleh media massa. Hal ini mungkin terjadi sebab Tata Deudeuh sendiri berstatus sebagai korban dalam kasus pembunuhan yang menimpa dirinya. Artinya kasus hukum yang ditangani kepolisian terkait Tata Deudeh adalah kasus pembunuhan yang setelah diselidiki ternyata menyibak masalah lain yang juga cukup seksi untuk dijadikan santapan publik, yakni masalah prostitusi.
Kenyataan bahwa ia adalah korban pembunuhan tidak cukup membatasi gerak awak media untuk menguber seluruh sisi kehidupannya, bahkan yang paling privat sekali pun. Justru sisi-sisi kehidupannya inilah yang dianggap sebagai bahan yang menarik untuk diangkat dan diberikan sebagai konsumsi publik. Tidak hanya nama, foto diri dan status terakhir yang ditulis Tata Deudeuh di akun Facebook dan BBM pun turut dipublikasikan secara terbuka ke hadapan publik
Lebih jauh lagi, riwayat hidup, kondisi anak yang ditinggalkan, hingga detil pembunuhannya diberitakan dengan amat jelas oleh media massa (lebih lengkap baca Surat Terbuka Remotivi). Seolah-olah tidak ada lagi hal yang bersifat pribadi dari Tata Deudeuh yang tidak perlu diberitakan. Semuanya menjadi santapan publik. Media massa seakan-akan mempunyai kewenangan yang hampir tanpa batas untuk membeberkan setiap hal yang terkait dengan Tata Deudeuh untuk diketahui oleh publik.
Hal berbeda terjadi dalam kasus AA. Sejak awal, secara hukum kasus ini merupakan kasus prostitusi di mana status AA adalah saksi, sedangkan yang berstatus pelaku adalah RA, sang mucikari. Kapasitasnya sebagai saksi membuat kepolisian merahasiakan identitas AA. Kepolisian hanya bisa memberikan informasi berupa inisial dan beberapa keterangan lainnya kepada media untuk diteruskan ke publik. Karena itu publik tidak pernah benar-benar tahu siapa sebenarnya AA, selain bahwa sosok ini adalah seorang artis sekaligus model majalah dewasa. Inisial AA yang disodorkan kepolisian inilah yang kemudian dikaitkan dengan Amel Alvi, artis yang juga inisial namanya adalah AA.
Keterkaitan sosok AA dengan Amel Alvi pertama kali ditunjukkan dalam thread (halaman berisi postingan dengan topik tertentu) di forum online Kaskus.co.id, salah satu forum komunitas dunia maya terbesar di Indonesia. Keterkaitan AA dengan Amel Alvi juga diketahui dari perbincangan di berbagai media sosial, meski ketika dikonfirmasi, Amel Alvi membantah dugaan-dugaan tersebut.
Bantahan ini tidak mampu mencegah media massa untuk mempublikasikan hal-hal yang terkait dengan kehidupan sang artis. Artinya, media memang tidak menyebut secara terbuka siapa AA, tetapi media mencoba menyodorkan beberapa bukti yang menunjukkan keterkaitan AA dengan sosok artis tertentu sehingga publik dapat sendiri mengambil kesimpulan tentang itu. Media kelihatan memberi ruang penafsiran yang lebih terbuka kepada publik, tetapi sebetulnya media telah lebih dahulu mengarahkan opini publik tentang kasus itu pada sosok tertentu. Padahal pihak kepolisian sendiri sebetulnya telah cukup membatasi informasi mengenai identitas AA.
Apa yang dilakukan media dalam pemberitaan yang menghubungkan AA dengan Amel Alvi tidak sepenuhnya sesuai dengan kode etik jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers, terutama pasal 2 yang mengatur profesionalisme wartawan Indonesia, termasuk keharusan menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya (ayat d). Apa yang diposting dalam thread kaskus adalah hasil penafsiran pribadi seseorang yang identitasnya tidak dipublikasikan secara jelas di dunia maya. Maka, ketika postingan itu dijadikan sumber berita untuk dikembangkan lebih lanjut, akan sangat sulit untuk melakukan konfirmasi. Padahal dalam pasal 3 kode etik itu juga diatur soal keharusan menguji informasi (melakukan cek dan ricek) dan penerapan asas praduga tidak bersalah yang berlandaskan prinsip tidak menghakimi seseorang.
Walau pun media kemudian melakukan konfirmasi dengan memintai tanggapan Amel Alvi, media tetap memberitakan potongan-potongan kisah yang terkait dengan kehidupan pribadi Amel Alvi, termasuk profesinya sebagai model majalah dewasa dan bintang film horor yang sering tampil vulgar. Sisi-sisi kehidupan pribadi Amel Alvi juga banyak diangkat oleh media, termasuk tampang aslinya ketika tidak dirias.
Artinya, di satu sisi media mencoba melakukan klarifikasi untuk mengungkap kebenaran tetapi di sisi lain media tetap mencoba menarik hubungan antara Amel Alvi dan AA, sebagaimana “penyelidikan” yang dilakukan anggota Kaskus.co.id. Namun, penyelidikan ini justru mengarah pada hal-hal privat yang tidak begitu relevan untuk diketahui publik. Hal ini bertentangan dengan pasal 9 kode etik jurnalistik Dewan Pers yang mengatur penghormatan terhadap kehidupan pribadi narasumber kecuali untuk kepentingan publik.
Pada titik ini, bantahan yang diberikan Amel Alvi menjadi tidak relevan sebab opini publik sudah dijejali berbagai pemberitaan mengenai dirinya dalam kaitan dengan sosok AA yang ditangkap polisi. Bila dicermati lebih jauh, seolah-olah ada dua sosok yang ditampilkan media, yakni sosok asli AA yang ditangkap polisi, dan sosok “AA” yang dibentuk media dan dijadikan komoditi untuk konsumsi publik. Karena itu, media mengambil potongan-potongan realitas dari Amel Alvi dan mengaitkannya dengan sosok “AA” dan menjadikannya suatu jalinan yang kelihatan utuh dan saling berhubungan lalu diberitakan secara intens kepada publik.
Hasrat Ingin Tahu
“AA” telah diubah media menjadi sebuah merk dagang yang laris terjual di pasar pemberitaan. Berita mengenai kasus AA perlu didesain sedemikian rupa sehingga dapat menggugah rasa ingin tahu publik. Hal ini dapat dilihat dalam judul berita di media-media online yang sengaja menggunakan rumusan kalimat yang memancing hasrat ingin tahu atau rasa penasaran publik. Beberapa rumusan kalimat yang sering dipakai sebagai judul misalnya, “ini fakta...” atau “ini kata... terkait...”Rumusan yang menggugah hasrat ingin tahu ini tidak saja dipakai dalam pemberitaan kasus prosititusi artis, tetapi sudah menjadi semacam tren umum yang dipakai oleh media-media online. Bukankah makin tinggi hasrat ingin tahu publik mengenai sesuatu maka akan makin intens pula publik mengikuti pemberitaan mengenai hal tersebut? Ketika hasrat ingin tahu telah berhasil dirangsang, media tidak serta merta memberikan semua yang “diinginkan” tetapi membuatnya menjadi semacam kisah bersambung yang membuat publik terus bertanya what next (apa selanjutnya)?
Hasrat ingin tahu yang dibangun media juga membuat publik berupaya mencari tahu sendiri lewat berbagai cara. Misalnya dengan memperbincangkannya di forum-forum media sosial, dimana publik saling bertukar informasi yang tidak jarang melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak sepenuhnya sesuai fakta hukum. Ironisnya, apa yang disimpulkan di forum-forum dunia maya ini kemudian dijadikan rujukan oleh media massa.
Identitas asli AA yang dirahasiakan polisi membuat media dapat terus merangsang rasa penasaran publik dengan terus membangun cerita tentang “AA” dengan mengambil potongan-potongan kisah artis yang juga berinisial AA untuk dijual kepada publik. Di sini publik dibuat untuk terus menanti akhir kisah yang dibangun media massa. Apakah memang sosok AA yang ditangkap polisi adalah sang artis berinisial AA yang selama ini kisahnya diberitakan media, ataukah keduanya adalah sosok yang berbeda?
Namun, sebelum akhir kisah ini sepenuhnya terungkap, pemberitaan yang mengaitkan Amel Alvi dengan AA justru membawa keuntungan tersendiri bagi Amel Alvi. Kontroversi seputar hubungan Amel Alvi dengan AA dalam pemberitaan media menjadi daya tarik yang melambungkan karier Amel Alvi untuk tampil di berbagai tempat, dan bertemu dengan para penggemarnya.
Terkait kontroversi yang menuai popularitas ini, Amel Alvi tidak sendirian. Banyak artis dan juga pejabat publik yang popularitasnya justru melejit akibat kontroversi yang melibatkan mereka, atau yang sengaja diciptakan. Media massa terutama media-media online memungkinkan sebuah kontroversi menyebar lebih cepat dan memberi keleluasaan yang lebih besar kepada publik untuk mengetahui dan mengikuti perkembangannya.
Toh, kontroversi juga akan menimbulkan hasrat ingin tahu di kalangan publik. Tingginya hasrat ingin tahu publik kelak akan berbanding lurus dengan tingginya akses informasi mengenai sosok-sosok yang terlibat dalam kontroversi tersebut. Maka, tidak heran bila mereka yang terlibat kontroversi menjadi cepat populer, meski untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan.
Akhirnya, saya ingin mengutip status yang ditulis seorang sahabat di NTT pada akun facebooknya, “semua orang menikmati AA. Pelanggan menikmati tubuhnya, RA menikmati uangnya, polisi menikmati penangkapannya, awak media menikmati kisahnya, dan kita semua tampaknya benar-benar menikmati beritanya.” []
Sumber: Remotivi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar