Manusia tidak pernah tahu, apakah usianya nanti akan sepanjang polemik sastra di Indonesia, atau sesingkat isapan rokok. Manusia hanya tahu, usia membentang dari lahir ke mati, sejak tangis tunggal sampai tangis massal. Hari-hari ini kita dibikin terkejut oleh kabar wafatnya Wijaya Herlambang, yang masyhur lewat buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (2013). Pasalnya, Wijaya Herlambang terhitung muda dan masih penting perannya dalam kajian sastra Indonesia. Buku yang ditulisnya pun sekadar awal, dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian.
Selasa-Rabu, 24-25 November 2015 lalu, PKKH UGM Koesnadi Hardjasoemantri menyelenggarakan seminar akbar yang dengan tajuk Politik Kritik Sastra di Indonesia. Seminar tersebut bukan hanya secara serius mengkaji politik dan kritik sastra Indonesia, tapi juga menjadi ajang silaturahmi kritikus sastra muda di Indonesia. Beberapa kaum muda yang hadir, termasuk Wijaya Herlambang kemungkinan menjelma kritikus sastra Indonesia ampuh di masa depan. Sayangnya, sementara baginda Goenawan Mohammad masih segar bugar dan Taufik Ismail masih cukup tenaga untuk membenci PKI, Wijaya Herlambang telanjur dirindu Tuhan. Ia berakhir dengan ketakselesaian.
Sekalipun ia tokoh penting dalam sastra Indonesia, respon atas kematian Wijaya Herlambang cenderung tidak puitis, tak sastrawi. Boleh kita bandingkan dengan obituari Hendrik Karel Irooth di harian Kompas edisi Selasa, 1 Desember 2015. Dalam obituari Irooth tertulis, “kepergian orang terdekat untuk selama-lamanya selalu menjadi masa-masa yang sulit bagi mereka yang ditinggalkan. Walau tak ada yang dapat benar-benar menjadi penawar hati yang berduka, kata-kata penghiburan atau penguatan merupakan salah satu hal yang baik untuk dinyatakan. Berikut ini ungkapan belasungkawa dari orang ternama.” Kemudian dilanjutkan oleh kutipan-kutipan sebelas tokoh ternama, dan sebagian besar penyair kondang.
Hendrik Karel Irooth, seorang Kepala Kantor Wilayah IV Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tanjung Priuk Jakarta, bisa-bisanya diantar ke akhirat dengan kutipan puitis. Para penulis dari berbagai belah dunia, mulai Perancis (Alphonse de Lamartine, Antoine de Saint-Exupery, Blaise Pascal), Inggris (Charles Dickens dan John Taylor), sampai Hans Christian Andersen serta Kahlil Gibran, semuanya menghikmati kematian Irooth. Padahal, Irooth jelas tak berkontribusi bagi sastra kita. Sebab, ia memang bukan orang yang menggiati sastra. Bahkan sekadar mengaku sastrawan selayaknya Denny JA saja tidak.
Esok hari pascakematian Wijaya Herlambang, Koran Tempo (Sabtu, 5 Desember 2015) memuat dua keping puisi Ook Nugroho yang menyoal kematian. Tidak perlulah mengira puisi yang dimuat Koran Tempo itu dipersembahkan bagi Wijaya Herlambang. Memang tidak, tapi kita boleh curiga bahwa salah satu puisi merujuk obituari Hendrik Karel Irooth. Ook Nugroho menjuduli puisinya Iklan Duka Cita 1 (habis ini pasti bakal muncul Iklan Duka Cita 2). Dalam Iklan Duka Cita 1, Ook bersajak, “tapi konon pernah ia bilang/ di negeri di mana segala urusan/ serba tak pasti jadinya ini/ sekolom iklan duka/ dengan gayanya bersahaja/ lurus apa adanya saja/ menyodorkan kejadian/ pasti tak terbantah.”
Negeri ini terlalu banyak urusan. Riuhnya “papa minta saham” hingga “putri papa menikah” tidak memberi ruang untuk sekolom obituari Wijaya Herlambang. Jangankan obituari, bayangkan, ucapan “selamat menikah” untuk putri Ketua DPR, Setya Novanto saja tidak. Obituari di surat kabar, bagi seorang Wijaya Herlambang, rasanya memang tak bakal cukup. Kolom seperempat (bahkan kadang seperdelapan) halaman surat kabar mustahil menyingkat arus duka cita dalam jejaring sosial, terkhusus Facebook. Melacak status terakhir Wijaya Herlambang saja, sekadar untuk mengenang, perlu perjuangan. Beranda Facebook lulusan Queensland University itu terlalu penuh ungkapan duka cita dari orang-orang yang sayang padanya, dan tentu banyak jumlahnya.
Kematian Wijaya Herlambang memang tak puitis, tak sastrawi. Tuhan menjemput lewat penyakit yang sudah terlampau biasa dianggap serambi maut: kanker. Tuhan tidak menjemputnya secara dramatis, kecuali fakta bahwa Wijaya Herlambang masih cukup muda untuk meregang nyawa. Alih-alih puitis, kematian itu bisa jadi problematis, sebab meninggalkan banyak pertanyaan. Bukan tentang almarhum sendiri, apakah ia bakal ke surga atau neraka? Mempersoalkan hal itu malah terlalu kekanak-kanakan. Masalahnya adalah buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film belum menjawab semua kegelisahan kita tentang peristiwa 1965 dan singgungannya dengan sastra juga seni.
Kajian yang Wijaya Herlambang lakukan sekadar gerbang, yang menyibak hal-hal yang patut kita pertanyakan, kaji, dan temui jawaban. Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film bukan saja harus terus dicetak ulang, kajian lanjutannya juga perlu terus digiatkan. Bila Bonnie Triyana melepas perjalanan Wijaya Herlambang dengan ucapan “only the good die young (hanya yang baik yang mati muda),” lebih dari itu, hanya yang mewariskan hal berharga yang meninggal dalam kebaikan. Selamat jalan, Wijaya Herlambang!
Sumber: Adiksi Kopi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar