Menyusuri pantai barat Aceh dengan perahu di hari kelima setelah tsunami, 10 tahun lalu, saya hanya bisa membayangkan betapa dahsyat gelombang laut menghajar daratan.
Tebing-tebing tinggi di pantai seperti kepala yang habis dicukur. Garis lurus terbentuk di tebing sepanjang pantai, belasan meter tingginya dari air laut, memisahkan pohon yang tercukur gundul dan yang tersisa.
Di tempat-tempat yang landai, gelombang laut menghabisi desa-desa nelayan. Tak sulit membayangkan betapa maut tsunami bagi kota-kota pantai berpenduduk besar seperti Banda Aceh dan Meulaboh. Dua pertiga penduduk Calang, kota antara Banda Aceh dan Meulaboh, tewas.
Jika Pulau Sumatera yang besar bisa dihajar seperti itu, pikir saya waktu itu, bagaimana nasib pulau-pulau kecil sebelah baratnya?
Secara ajaib, tak ada satu pun korban jiwa di Pulau Simeuleu, sebelah barat perairan Aceh. Dibekali pengetahuan tradisional turun-temurun, penduduk Simeuleu mengungsi ke bukit ketika melihat air laut tiba-tiba surut setelah gempa besar. Di Banda Aceh, warga justru senang bisa menangkap ikan-ikan yang terdampar tanpa sadar bencana besar mengintai.
Betapa pengetahuan sederhana tentang alam bisa membedakan antara hidup dan mati.
Yang bisa kita pelajari dari tsunami Aceh, sebagai salah satu bencana paling maut dalam sejarah umat manusia, adalah manusia tidak bisa sepenuhnya mengendalikan alam yang sedang marah. Tapi, kita bisa meminimalkan risikonya.
Indonesia adalah negeri kepulauan, dengan ribuan pulau yang dikelilingi laut. Sekaligus negeri vulkanik yang kaya gunung api serta negeri tempat dua lempeng benua bertabrakan. Dengan pengetahuan ilmu dan teknologi paling maju pun, kita tidak bisa menolak letusan gunung berapi atau gempa besar yang diikuti tsunami maut.
Namun, warga Simeuleu tahu, pengetahuan sederhana yang diturunkan lewat nyanyian pengantar tidur memungkinkan mereka berkelit dari takdir maut. Dari nenek moyang, mereka tahu tsunami tempo hari bukanlah yang pertama. Dan kita tahu, tsunami raksasa 10 tahun silam bukan pula yang terakhir.
Tsunami Aceh menjadi cermin paling tragis bahwa kita sebagai bangsa kepulauan belum sepenuhnya memahami dan belajar dari alam. Ironis, di era kemajuan sains dan teknologi “pendidikan modern”, kita justru tak lebih pintar dari nenek moyang kita.
Tsunami Aceh mudah-mudahan membuka mata kita untuk kembali menengok bagaimana alam bekerja dan mendorong kita mengerahkan pengetahuan alam, baik tradisional maupun modern, untuk memperkecil risiko bencana.
Kita tahu, terumbu karang dan hutan bakau di pesisir pantai tak bisa sepenuhnya menghadang tsunami besar seperti 10 tahun lalu. Namun, pengetahuan sederhana menunjukkan, karang dan bakau meredam gelombang laut, mengurangi risiko bencana.
Banyak warga Banda Aceh mungkin bisa tertolong jika kota itu memiliki sabuk bakau beberapa ratus meter di sepanjang pantai, menjadi semacam benteng pesisir.
Banyak warga juga mungkin bisa selamat dari gempa besar jika kota itu tidak melulu berisi rimba beton. Di Pulau Nias, sebelah selatan Simeuleu, bangunan kayu ratusan tahun tetap berdiri tegak meski dihajar gempa sama besarnya. Konstruksi kayu dan bambu lebih elastis terhadap guncangan.
Mengurangi risiko bencana tak sekadar memasang sistem peringatan dini. Rawan gempa dan tsunami, kota pesisir kepulauan Indonesia perlu menata kembali arsitektur kota serta bangunan-bangunannya.
Lebih dari itu, para politikus dan ekonom perlu didorong merenung lebih keras ketika membuat pilihan yang tampaknya dilematis seperti: menguruk laut untuk membangun kawasan real estate mahal atau melestarikan dan memperluas hutan mangrove; membangun vila di perbukitan atau membiarkannya tetap menjadi hutan?
Apa yang secara jangka pendek tampak menguntungkan dan ekonomis bisa menjadi bencana dalam jangka panjang, terutama jika kita mengabaikan pengetahuan dan kearifan alam.
Letusan dahsyat Gunung Tambora dan Krakatau ratusan tahun lalu, atau tsunami dahsyat Aceh 10 tahun lalu, menunjukkan betapa alam itu bisa sangat bengis. Dan betapa tidak berdaya kita manusia.
Berbeda dari hewan, manusia dianugerahi akal dan budi. Kita mungkin tidak perlu mencintai atau menghargai alam karena alasan yang tulus. Kita memahami alam serta berdamai dengannya untuk kepentingan pragmatis: bertahan hidup.***
Sumber: Geotimes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar