"Buruan Cium Gue" dan Kontroversinya
(Surat Terbuka buat Penandatangan Petisi Utan Kayu)
Dari: Farid Gaban
----------------------------
Pena News Service Syndicate
Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya melupakan aspek substansial dari apa yang diperdebatkan. Salah satunya tentang kontroversi film "Buruan Cium Gue" yang diproduksi raja sinetron Raam Punjabi.
Aa Gym dan MUI memprotes. LSF dan Raam merespon dengan menarik film itu dari peredaran. Tapi, ada yang protes: sejumlah wartawan, budayawan, artis, dan seniman membuat petisi mengecam kenapa "Buruan Cium Gue" dibunuh.
Para pemrotes keberatan tentang beberapa hal: Pertama, Penarikan film itu membantai "kebebasan berekspresi", konsekuensinya anti-demokrasi dan melanggar HAM; Kedua, otoritas dan simbol keagamaan (dalam hal ini Islam) tidak semestinya dibawa ke ruang publik. Agama hanya berlaku di ruang privat; dan Ketiga, pelarangan terhadap karya seni dilatarbelakangi sikap sok moralis yang tidak pada tempatnya, dogmatis, dan artinya kolot, serta tidak mewakili komunitas relijius pada umumnya.
Tapi, jika direnungkan lebih mendalam, keberatan serupa sebenarnya layak dialamatkan kepada para pemrotes juga, atau setidaknya sebagian pemrotes.
"Kebebasan pers dan berekspresi" telah menjadi mantra, yang seperti Quran dan Hadits di kalangan kaum fundamentalis Islam, mantra itu diangkat sebagai berhala, tidak perlu ditafsirkan lagi dan harus diberlakukan apa adanya, at all cost. "Kebebasan" adalah harga mati. Tapi, tidakkah ini sikap dogmatis yang sama dan sebangun? Tidakkah tuduhan sok moralis sebenarnya berlaku pula bagi pemrotes, meski moral mereka adalah "kebebasan berekspresi"?
Jika simbol dan otoritas keagamaan tidak boleh dibawa ke ruang publik, saya kira Ulil Abshar-Abdalla, salah satu penandatangan petisi, perlu konsisten pula menghapus kata "Islam" di depan kata "Liberal"--organisasi yang diwakilinya. Mungkin benar pula bahwa Aa Gym tidak berhak mewakili dan menentukan selera baik-buruk tentang apa yang mesti dikonsumsi orang Islam. Tapi, hal yang sama juga berlaku bagi pemrotes. Tidakkah mereka sebenarnya sedang mengklaim apa yang baik dan buruk bagi publik?
Saya pribadi--yang dari segi profesi secara kategoris lebih dekat dengan para pemrotes--cenderung melihat kepedulian kepada hilangnya kebebasan pers/berekspresi sebenarnya sama luhur dan sahihnya dengan kepedulian kepada penyalahgunaan kebebasan bereskpresi.
Kita mungkin bisa berdebat panjang-lebar tentang apakah "Buruan Cium Gue" dan seluruh produk sinetron Raam Punjabi masuk kategori penyalahgunaan kebebasan berekspresi. Namun, bukankah penghakiman seperti itu lebih layak diserahkan pada anggota masyarakat lain seperti LSM, lembaga konsumen media atau orotitas publik serta keagamaan?
Bagi saya, apapun latarbelakangnya, Aa Gym telah berjasa selama ini, dengan caranya yang sederhana dan santun, mencoba melebur sekat-sekat potensi konflik dalam masyarakat. Namun, saya khawatir sikap para pemrotes hanya akan cenderung merobek luka dan memicu polarisasi yang makin tajam di masyarakat.
Saya, misalnya, tidak akan heran jika kelompok Islam yang lebih lantang serta puritan seperti Front Pembebasan Islam, Majelis Mujahiddin, atau komponen dalam Hizbut Tahrir dan Partai Keadilan Sejahtera, akan berdiri di belakang Aa Gym untuk menyiapkan serangan balik yang mungkin lebih keras. Dan ketika konflik menajam, politisi atau pejabat akan mengambil langkah yang mudah: memberangus kebebasan lebih jauh lagi.
Kencenderungan mudah mengecam pihak lain dan obsesi berlebihan kepada kebebasan, telah mencegah kita bekerjasama dan membunuh kemungkinan saling-memahami. Para pemrotes telah mengorbankan peluang emas untuk menggalang kerjasama luas antar-komponen masyarakat demi mencari jalan bagi keresahan sebagian publik terhadap bagaimana media massa beroperasi.
Perdebatan tentang "Buruan Cium Gue" tidak bisa dipisahkan dari persepsi luas publik terhadap trend media massa sekarang; tentang infotainment, liputan mistik, obsesi pada kehidupan pribadi selebriti dan berita kriminal yang vulgar. Film adalah bagian dari media massa. Dan keresahan terhadap jenis maupun mutu tayangan media, tulisan di koran dan tabloid, serta sajian hiburan di televisi dan bioskop, sebenarnya tidak hanya menghinggapi masyarakat Islam, dan bahkan tidak hanya monopoli orang-orang yang taat beragama.
Demi membela hal remeh-temeh seperti film buatan Raam Punjabi, para pemrotes bahkan melupakan peluang bahwa, meski memiliki agenda berbeda, mereka sebenarnya punya kepentingan sama dengan agamawan seperti Aa Gym.
Di kalangan pemrotes terdapat sejumlah wartawan yang tidak diragukan komitmennya pada demokrasi, seperti Goenawan Mohamad dari Institut Studi Arus Informasi dan Andreas Harsono dari Yayasan Pantau. Juga ada pendekar demokrasi dan hak asasi manusia seperti Rizal Mallarangeng dan Akhmad Sahal dari Freedom Institute, pengacara handal Nono Anwar Makarim dari Yayasan Aksara, tokoh teater Ratna Sarumpaet yang juga Ketua Dewan Kesenian Jakarta, serta sutradara kondang Garin Nugroho.
Jika benar-benar peduli pada demokrasi, menurut pendapat saya, mereka tidak bisa mengabaikan kemungkinan dampak negatif dari sinetron Raam Punjabi yang sudah terjatuh menjadi sekadar mesin uang belaka.
Kata-kata penting dalam petisi para pemrotes itu, bahwa "kami paham banyak karya seni memang sebenarnya norak, melecehkan akal sehat dan tidak digarap profesional... tapi kebebasan harus ditegakkan", tidak cukup meyakinkan bahwa mereka sebenarnya peduli pada apa yang diperjuangkan.
Trend media-massa di sini meniru hampir identik dengan trend serupa di Amerika Serikat. Dan sudah banyak studi ilmiah serius tentang dampak negatif trivialisasi selera di sana tak hanya terhadap kredibilitas media, tapi juga terhadap kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Salah satu studi dilakukan Thomas Patterson, gurubesar media dan politik dari Universitas Harvard, yang menyimpulkan betapa obesi terhadap hal-hal remeh temeh baik dalam infotainment maupun melodrama ala sinetron telah mencegah masyarakat mengetahui lebih baik beroperasinya urusan publik dan ikut berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan politik.
Banyak hal baik datang dari Amerika dan Barat pada umumnya. Tapi, seperti biasa kita cenderung meniru aspeknya yang terburuk. Para wartawan, budayawan dan seniman gagal memandu publiknya memiliki perangkat memadai untuk menyaring apa yang baik dari yang buruk. Masyarakat kita, misalnya, lebih tahu berapa harga kutang Madonna, pengetahuan yang tidak ada gunanya, ketimbang "OpenCourseWare"--silabus keilmuan milik Massachusetts Institute of Technology yang diedarkan secara gratis di Internet sehingga memberi peluang bangsa Indonesia mengejar ketertinggalan ilmu dan teknologinya.
Tentang kebebasan, saya kira kita membutuhkan keseimbangan. Dan perlu mendengar petuah Bung Hatta, seorang yang mengecam semangat ultra-demokratis sama kerasnya dengan dia mengkritik kediktatoran: "Demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka jalan untuk lawannya: diktatur."***
Sumber: Yahoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar