Salah satu argumen yang sering mengemuka dalam perdebatan subsidi BBM adalah bahwa harga BBM yang rendah cenderung membuat orang boros energi. Argumen ini mencakup alasan lingkungan: harga BBM rendah memicu pemborosan energi minyak (fosil) yang tak ramah lingkungan, sehingga memicu polusi dan global warming.
Argumen itu mengandung beberapa kelemahan, atau cenderung tidak tepat diterapkan untuk situasi Indonesia.
Pertama, energi bukanlah komoditas yang elastis, yang tingkat konsumsinya turun drastis ketika harganya naik. Energi adalah kebutuhan dasar semua aktivitas ekonomi, sosial (menengok kerabat sakit), bahkan budaya (pergi belajar menari, menonton pertunjukan musik).
Pertumbuhan ekonomi dan aktivitas sosial-budaya ditopang oleh peningkatan konsumsi energi.
Kedua, konsumsi energi per kapita di Indonesia masih sangat rendah, yang terendah di Asean. Alih-alih menurunkan tingkat konsumsi energi, pemerintah justru harus meningkatkan konsumsi energi rakyat Indonesia, terutama konsumsi bahan bakar minyak (BBM).
Di Indonesia, biomassa (kayu bakar) masih menjadi sumber utama energi, menyumbang 30% konsumsi energi (Badan Energi Internasional, IAE, 2009). Sekitar 150 juta lebih rakyat Indonesia (60-70%), terutama di perdesaan, bertumpu pada kayu bakar sebagai sumber energi.
Artinya tingkat konsumsi per kapita bahan bakar minyak yang tak ramah lingkungan masih sangat rendah di Indonesia. Dampak lingkungannya terlalu dilebih-lebihkan.
Memang, ada kesenjangan besar dalam pemakaian BBM, antara Jawa vs luar-Jawa, antara perdesaan vs perkotaan. Meski per kapita nasional rendah, konsumsi per kapita bahan bakar minyak di perkotaan cenderung sangat tinggi, dan 25% lebih darinya untuk transportasi.
Itulah yang sebenarnya patut dikhawatirkan. Pemakaian energi di perkotaan cenderung tidak efisien karena dipakai untuk transportasi, bukannya untuk kegiatan produktif (industri).
Efisiensi energi di Indonesia cenderung rendah. Tingkat efisiensi energi dihitung dari konsumsi energi dibagi GDP. Dari segi ini pemakaian energi di Indonesia memang cenderung tidak efisien alias boros. Di Asean, Indonesia paling tidak efisien, cuma menang efisien dari Malaysia.
Tapi, itu bukan kesalahan terutama pada masyarakat. Pemborosan energi di perkotaan dan Jawa pada umumnya terjadi terutama karena tiadanya sistem transportasi publik massal.
Peningkatan konsumsi BBM di perkotaan tak bisa ditahan oleh naiknya harga BBM. Jika tak ada sistem transportasi publik yang nyaman, cepat, aman dan murah, orang akan cenderung memakai kendaraan pribadi meski harga BBM lebih mahal.
Solusi yang tepat dalam soal energi ini adalah meningkatkan konsumsi BBM di perdesaan (dengan memelihara harganya tetap murah) seraya mengerem pemborosan energi di perkotaan dengan membangun sistem transportasi publik massal.
Sumber: Catatan Bawah Tanah (Farid Gaban)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar