Rabu, 30 Desember 2015

Faktor Raam

Oleh: Ade Armando

Film Buruan Cium Gue (BCG) diprotes dan diminta ditarik dari peredaran. Sebagian pihak menganggap ini sebagai pertanda menguatnya konservatisme cara beragama di Indonesia. Memang, ada kesan bahwa keberatan datang terutama dari kalangan beragama. Yang datang ke LSF, mendatangi Kementerian Budaya dan Pariwisata, serta melakukan kampanye ''boikot BCG'' adalah Aa Gym bersama rombongan yang di dalamnya ada beberapa artis berjilbab. Begitu pula Majelis Ulama Indonesia, beberapa rohaniawan Kristen dan Katolik, bersuara.

Pernyataan-pernyataan Aa Gym sendiri memang tampak ''menakutkan''. Ia misalnya menyamakan ''cium'' sebagai ajakan zina. Dalam pandangan saya, menafsirkan gerakan protes itu sebagai bentuk ketertutupan berpikir adalah salah besar. Kalau kita melihat perkembangan film nasional, justru tampak kebebasan berekspresi ditoleransi di negara ini. Misalnya ada film Arisan yang mengandung muatan tema kontroversial seperti homoseksualitas di masyarakat kota. Dalam film populer seperti Ada Apa dengan Cinta (AADC) dan Novel Tanpa Huruf R (NTHR), ditampilkan karakter dengan latar belakang komunis. Bahkan NTHR, untuk derajat tertentu, menggugat Tuhan. Film-film itu sepi protes.

Begitu juga ciuman. Film remaja AADC dan Eifel I'm in Love menampilkan adegan ciuman antarremaja. Ini bukannya tidak sempat diributkan. Namun masyarakat menoleransi itu, mengingat kewajaran konteks di mana adegan itu dihadirkan. Dengan kata lain, masyarakat menghormati ruang gerak para sineas selama kebebasan berekspresi itu dituangkan dalam produk kreatif yang tidak secara provokatif melecehkan tatanan nilai yang dipercaya.

Kondisi saling menghormati semacam itu sebenarnya merupakan lahan subur bagi tumbuhnya produk-produk budaya populer nasional yang mencerahkan. Para sineas dengan leluasa mengekspresikan ide-ide kreatif yang berkualitas, sementara masyarakat dengan rasa hormat mendatangi gedung bioskop, atau membeli VCD original, untuk menyaksikan, menikmati, dan belajar dari karya-karya yang dilahirkan seniman Indonesia. Masyarakat beragama Indonesia sudah menunjukkan bukti bahwa mereka dengan senang hati terlibat dalam proses itu.

Celakanya, selalu saja ada orang semacam Raam Punjabi dengan Multivision-nya yang berpotensi menghancurkan masa depan cerah ini. BCG adalah film buruk, bukan saja karena secara teknis film itu memang seutuhnya buruk, namun juga karena ia dengan begitu saja menghancurkan kredibilitas film nasional yang sedang dibangun dengan susah payah. BCG menjadi semacam bukti yang meneguhkan proposisi bahwa bila pembuat film dibiarkan bebas, ia akan memanfaatkan kebebasan itu untuk mengeksploitasi selera rendah manusia. BCG justru menjadi mesiu bagi mereka yang berkeras bahwa kebebasan akan membawa mudharat bukan manfaat. BCG meruntuhkan kepercayaan bahwa sineas memiliki dan mendengarkan hati nurani.

Jangan salah sangka. Raam bukanlah jenis manusia yang dengan sengaja ingin menghancurkan Indonesia. Dia sekadar pedagang yang tak mengenal etika. Buat Raam, yang terpenting adalah ''dapat untung banyak''. Jangan bicara soal tanggung jawab artistik, apalagi tanggung jawab sosial. Karena, bagi pedagang sejenis Raam, pada akhirnya yang menentukan kebahagiaan di dunia ini adalah uang. Kalau untuk meraih keuntungan, Indonesia terpaksa dikorbankan, ya apa boleh buat.

Dengan kata lain, kalau pada konteks tertentu, yang akan menguntungkan secara finansial adalah sinetron agama yang dibintangi Siti Nurhaliza, yang bersih dari seks, kata-kata kotor, atau pameran kemewahan; Raam tidak akan sungkan memproduksi sinetron sejenis itu. Hanya saja, saat ini yang rupanya tebersit di pikiran adalah gagasan dangkal untuk mengeksploitasi ciuman. Kebetulan pula, ada sutradara, ada produser, ada penulis skenario, ada deretan pemain yang punya cara berpikir yang sama dangkalnya. Jadilah BCG.

Protes terhadap BCG selayaknya dipahami secara proporsional. Yang agak menyedihkan sikap keras itu secara terbuka sejauh ini baru ditunjukkan terutama oleh kalangan agama. Padahal, BCG adalah produk yang sebenarnya menghina bukan saja kesusilaan dan asas kepantasan, namun juga akal sehat, selera beradab, kesenian, dan film nasional.[]

Sumber: Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...