Salah satu doktrin yang hingga sekarang masih membekas adalah anggapan-anggapan minor tentang ketakotentikan Injil, yang dianggap telah dimanipulasi isi dan penafsirannya oleh para pemuka Kristen. Karenanya, di mata saya saat itu, bila kitab sucinya sudah dipalsukan, maka semua sumpah serapah menjadi semacam “ibadah”.
Salah satu doktrin “tuduhan” yang cukup membentuk mindset kami adalah tuduhan bahwa Kristen adalah teologi dan agama yang menjadi alat kekuasaan, sarana penjajahan, dan dasar legitimasi hegemoni. Bahkan kita “dipaksa” meyakini bahwa tujuan para penjajah memasuki dan menguasai Indonesia adalah mengkristenkan umat Islam.
Singkatnya, kami dipaksa memantapkan keyakinan keislaman kami tidak melalui penguatan argumen, namun melalui pengelolaan benci terhadap agama lain. Akibatnya, kami tidak “sempat” bersikap kritis terhadap doktrin yang ditanamkan para ustadz saat mengaji dan para khatib saat menghadiri salat Jumat di masjid.
Kami, generasi muda santri saat itu, dijejali juga dengan doktrin larangan bersikap kritis, apalagi mempertanyakan doktrin yang dijejalkan mualim dengan warning “ilmu tak bermanfaat” atau mengalami kesengsaraan, dan last but not least, sikap itu dianggap sebagai kekurang-ajaran, dan bahkan sebagai sikap yang menjurus kepada kekufuran dan kemurtadan.
Jadilah kami generasi yang konsisten merawat “kebencian teologis”, karena bagi kami itu adalah bukti kecintaan, indikasi kepatuhan, dan kesalehan. Saking kuatnya pengaruh doktrin itu, kami tak hanya mendistribusikan benci terhadap agama lain. Kami bahkan saking bersemangatnya “melindungi agama” kami dengan memperluas makna “musuh”, “kafir”, “musyrik” dan frase-frase kebencian dengan memasukkan setiap Muslim yang berbeda pandangan dengan kami.
“Teologi benci” ini karena bugil dari logika dan dicelup dengan warna religiusitas begitu mudah menyelusup ke dalam otak dan secara otomatis menutup suplai argumen dan kritisme ke rasio. Tidak hanya itu, toleransi atau sikap santun terhadap “musuh”, baik dalam satu agama maupun di luar agama, dianggap sebagai kelemahan iman dan kuatnya rayuan musuh.
Hari-hari yang kami lewati adalah sejarah minus keragaman, toleransi. Kami terbiasa bangga dengan kehebatan agama dan aliran “benar” kami tanpa perlu mengukur dan mengujinya melalui analisis, apalagi dengan diskusi dan dialog dengan pihak lain. Karena, sesama Muslim yang berbeda aliran bahkan ormas dianggap sesat, bidah dan syirik. Sedangkan yang di luar agama kami sudah dipastikan sebagai penghuni neraka, najis, dan bahkan dalam situasi tertentu bisa dianggap binatang dan layak dimusnahkan.
Ternyata dunia tidak konsisten. Peristiwa-peristiwa menampilkan dialetikanya. Kebencian-kebencian itu malah menimbulkan aneka penyakit mental dan psikis yang menghambat kemajuan dan menodai citra para penganutnya. Ia tidak menuai simpati, apalagi cinta. Kebencian hanya mengundang kebencian. Sejarah bangsa ini dan bangsa-bangsa lain didominasi oleh kisah-kisah tragis yang merugikan dan meredupkan pesona agama.
Generasi muda mulai jengah dan merindukan ketenteraman dan kebebasan seiring dengan modernitas yang menerjang semua batas geografi. Tak ada lagi yang bisa membendung arus deras informasi. Tak ada lagi penguasa “teologi benci” yang bisa berdiri menghalau arus deras informasi. Putra-putri yang lahir dari rahim generasi korban “teologi benci” tercecer akibat serbuan itu.
Sebagian menjadi apatis dan membuang agama secara radikal seraya menganggapnya sebagai bagian dari pengagungan kebodohan. Sebagian lain mempertahankan doktrin ortodoksi sembari memproteksi diri dengan meng-install sebanyak mungkin teks-teks kebencian.
Di tengah polarisasi ini, ada sekelompok generasi yang hilang tak tentu arah. Mereka terimpit oleh militansi liberal yang permisif dan sinis terhadap agama dan militansi skriptural yang menutup mata terhadap realitas keragaman dan perubahan. Mereka menolak liberalisme, namun menjunjung tinggi pluralisme, menentang kebebasan di luar agama, juga menolak doktrin peniadaan kebebasan. Mereka ingin konsisten mengangkat agamanya namun menerima dan menghormati orang lain dengan pilihan agamanya.
Setelah melihat dan menemukan bahwa sebagian ajaran Kristen, ayat-ayat dalam Injil, pandangan para pemikir Kristen dan sikap dan perilaku positif, humanis dan bahkan heroik sebagian tokoh beragama Islam, dan setelah menemukan bahwa ternyata tuduhan manipulasi serta buruknya perilaku para pemuka Islam, terutama pada masa Dinasti Umawi dan Abbasi, maka teologi benci itu hilang berganti teologi rasionalitas.
Dalam al-Quran, terdapat sebuah ayat yang menggambarkan penghormatan yang begitu tinggi kepada Perawan Suci Bunda Maria, sedangkan Yesus digambarkan sebagai sebuah Kalimah dari Allah:
“Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kepadamu kabar gembira tentang sebuah Kalimat dari-Nya, namanya al-Masih putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan akhirat dan salah seorang yang didekatkan (kepada Allah).” (3:45)
Tentu saja penafsiran logos dalam teologi Kristen berbeda dengan penafsiran Kalimah di kalangan umat Islam. Bagi kalangan Kristiani, menurut Gospel John, Kalimah Allah menjadi tubuh (incarnation). Di lain pihak, bagi umat muslim, Kalimah adalah makhluk, bahkan sementara ia merupakan prinsip kreatif, karena ia berada dalam ucapan Allah dari kata “Jadi!” maka jadilah ia. Islam menyebut Yesus sebagai kalimat Allah justru untuk menegaskan statusnya sebagai nabi.
Karena statusnya tinggi sebagai nabi, Yesus menjadi manifestasi sempurna dari Allah. Orang yang menyampaikan pesan Allah, orang yang dapat berbicara atas nama Allah, dan karenanya menjadi Kalimah Allah. Menurut Kristologi versi Islam, Yesus menjadi kalimat Allah bukan karena inkarnasi, di mana tubuhnya bersifat ketuhanan (divine). Tetapi karena ruhnya dibersihkan sedemikian rupa sehingga menjadi cermin yang dengannya Tuhan dikenal. Biara menjadi suci bukan karena kesucian dalam bangunannya, tetapi karena ia merupakan tempat menyembah Tuhan. (Ibnu al-‘Arabi, The Bezels of Wisdom (Fushus al-Hikam), terjemahan R.W.J. Austin (Lahore: Suhail, 1988), hlm. 177).
Tidak hanya itu, mereka menemukan dua tokoh Islam dan Kristen yang bersahabat bahkan berikrar persaudaraan di atas pijakan teologi yang menjadi muara semua agama, yaitu teologi kebebasan. Dalam literatur filsafat, baik Islam maupun Kristen, penentangan terhadap kezaliman menempati posisi vital.
Dalam Kristen, teologi pembebasan lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Pada kalangan Jesuit, baik di Asia termasuk Indonesia, Brasil , Amerika Latin, dan Afrika Selatan, teologi ini berkembang pesat sebagai dampak dari hermeneutika Alkitab secara kontekstual untuk menjawab persoalan yang dihadapi umat manusia.
Teologi perlawanan juga berkembang dalam Islam dalam lingkaran para filosof dan pemikir Islam. Teologi perlawanan berkembangan dari generasi ke generasi sebagai élan vital gerakan rasional, meski selalu termarginalkan dan dimasukkan dalam daftar “wanted” sejak Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan setelahnya. Teologi ini menentang doktrin fatalisme dan determinisme yang mencerabut hak kebebasan seraya menyerahkan segala urusan, termasuk kerusakan sosial akibat perilaku korup para penguasa dan agamawan culas kepada nasib dan takdir.
Kisah-kisah epik dan tragis tokoh-tokohnya pun hilang ditelan kebisingan pesta para tiran berjubah agama. Mereka mulai menemukan bukti-bukti kekejaman berkedok agama yang memakan ribuan pemikir dan sufi serta filosof karena menolak doktrin fatalisme. Genosida Karbala, pemancungan Ibnu Arabi, pengakfiran Ikhwan Shafa, dan kampanye negatif terhadap filsafat dan misitisme adalah bukti-bukti yang terlalu benderang untuk ditutupi.
Kini, generasi ketiga ini menemukan contoh nyata dari sebuah teologi progresif itu, dalam dua sosok berbeda dalam penafsiran agama namun menjadi satu formulasi tren gerakan anti hegemoni kapitalisme dan neokolonialisme. Soekarno, Che Gue vara, Ahmadinejad, Chavez, Michael Oun, dan Nelson Mandela yang baru meningalkan kita adalah manusia-manusia internasionalis yang telah berhasil menampilkan teologi universal yang menerjang semua batas-batas artifisial. Teologi cinta yang melejitkan kesadaran akan harkat dan martabat insani, apa pun agama dan keyakinannya.
Tak terelakkan, para rezim anti kebebasan dan despotik itu kini mengembangkan “teologi benci” intra umat Islam demi mengalihkan perhatian umat dari pengkhianatan mereka membiarkan Palestina menjadi tanah rampasan Israel dengan memunculkan Iran sebagai musuh utama.
Teologi horor ini mulai berkembang dalam bentuknya yang tidak kalah mengerikan. Dengan sokongan dana dan doktrin cuci otak yang memakzulkan nalar sehat dan nilai kemanusiaan yang meniscayaan toleransi dan empati, mereka mengkampanyekan penyesatan, pengkafiran, dan pembinatangan sesama Muslim sebagai legitimasi segala jenis intimidasi, teror, dan pemusnahan.
Sumber: Geotimes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar