Kamis, 11 Februari 2016

Muhammadiyah Bolehkan Ziarah Kubur, Gus Mus: NU Tidak Kunut Juga Biasa

Sebagai ormas Islam yang berusia seabad lebih, Muhammadiyah telah melalui proses perkembangan dalam perjalanan sejarahnya. Perjalanan organisasi yang kini dinahkodai Haidar Nasir, kata Prof. Dr. Syafiq Mughni, juga mengalami sejumlah pergumulan pemikiran.

“Kalau dulu Muhammadiyah jauh dari tasawuf dan tarikat sehingga ada yang mengatakan bahwa Muhammadiyah itu anti tasawuf dan tarikat. Tetapi dalam proses perkembangan dan pergumulan pemikiran, terjadilah apresiasi,” kata Syafiq, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam sebuah seminar di Yogyakarta yang dihadiri tokoh NU KH. Mustafa “Gus Mus” Bisri, Kamis (6/2).

Sekalipun bukan menganut tasawuf dan tarikat, lanjut Syafiq, Muhammadiyah memberi apresiasi yang sangat besar dan itu diwujudkan dalam bentuk dakwah kultural Muhammadiyah. Instrumen-instrumen budaya dan tradisi di masyarakat bisa dimanfaatkan dalam rangka dakwah Islam, katanya.

“Sekarang orang Muhammadiyah ziarah kubur itu biasa. Bukan sesuatu yang asing. Kalau dulu kan nampak asing,” kata Syafiq sambil mengutip hadits Nabi yang mendukung bolehnya ziarah kubur.

Di sisi lain, Eks Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo ini sepakat dengan tulisan peringatan di sejumlah kuburan yang melarang minta-minta kepada orang yang telah meninggal dunia. “Jadi kalau itu prinsipnya, maka semakin tidak ada lagi perbedaan yang signifikan yang membuat NU dan Muhammadiyah berjarak.”

Dalam seminar bertajuk “Sinergi NU-Muhammadiyah” itu, Gus Mus menyatakan bahwa perbedaan itu fitri. Allah tidak menghendaki semua ini jadi satu, katanya. “Andaikata Tuhan menghendaki, kalian dijadikan satu umat,” kata Gus Mus mengutip ayat Al Qur’an. Gus Mus melanjutkan, merujuk kata “law” (andaikata) dalam ayat itu, berarti tidak mungkin terjadi ‘satu’. Mengapa? Karena Tuhan tidak menghendaki hingga terjadilah keberagaman.

Bagi pria berambut putih ini, berbeda itu bukan berarti tidak bisa lagi sejalan. Jangankan NU-Muhammadiyah, kata Gus Mus, di internal NU sendiri perbedaan pandangan itu biasa. Gus Mus lalu bercerita bagaimana Kiai Hasyim berbeda pandangan dengan Kiai Fakih soal memukul kentongan di masjid sebelum azan. Meski berbeda, keduanya yang masih kerabat itu tetap rukun.

“Sekarang orang Muhammadiyah ziarah kubur ya biasa, orang NU juga tidak kunut ya biasa,” kata Gus Mus.

Pria 71 tahun ini tidak lupa menyorot sosok kedua pendiri ormas besar Islam Indonesia ini. Jika sejarah perjalanan hidup keduanya dipelajari, bagi Gus Mus, akan banyak modal didapatkan untuk bersinergi. Gus Mus bahkan mengaku nge-fan dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang sebaya dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU.

“Kiai Ahmad Dahlan termasuk yang saya kagumi, bukan hanya karena alim, tapi juga kedalaman ilmunya, perilakunya, kecerdasannya, ketangguhannya dalam berjuang,” kata Gus Mus. Jebolan Al Azhar Mesir ini melanjutkan, “Anda melihat gambar wajahnya saja, Anda sudah senang. Bayangkan kalau Anda melihat (langsung) orangnya.”

Dalam seminar yang dihadiri ratusan peserta itu, Prof. Syafiq Mughni mengingatkan ramalan intelektual Muslim, Nurcholis Madjid. Almarhum yang akrab disapa Cak Nur ini, kata Syafiq, pernah memperkirakan bahwa tahun 2025 adalah masa keemasan Islam Indonesia. Pencapaian itu bisa diraih ketika NU dan Muhammadiyah bersinergi dalam arti yang sebenarnya, katanya.[]

Sumber: Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...