Dalam catatan kaki untuk tulisan The Gost of Stalin, Sartre menulis begini: “Propaganda borjuis dengan sangat cerdik menekankan kenyataan bahwa tokoh tokoh masyarakat yang prestesius dalam kegiatan kemasyarakatan mereka, mimiliki kehidupan-kehidupan pribadi yang sangat biasa, persis seperti orang kebanyakan lainnya.” Kata-kata Sastre tersebut akan menerang jelaskan kenapa foto Jokowi memakai sarung yang sedang bersantai di Raja Ampat disebar luaskan media borjuis secara luas. Jokowi sebagai kepala suku rezim borjuasi yang sedang berkuasa saat ini terus menerus berusaha digambarkan media media borjusi seperti yang dikatakan Sartre: “[Jokowi] persis seperti orang kebanyakan lainnya.” Makna kata “kebanyakan lainnya” adalah rakyat biasa.
“Sarung” dalam kajian Barthes adalah bagian dari sintagma berpakaian. Sama dengan “celana panjang”, yakni sebagai penutup tubuh bagian bawah. Secara fungsional seperti itu, tapi secara ideologis bermakna lebih luas. “Sarung” dalam masyarakat Indonesia biasa dipakai oleh masyarakat dalam kehidupan sehari hari. Maka dengan memakai “sarung”, secara ideologis Jokowi ingin diperlihatkan bahwa dirinya tak beda dengan warga Indonesia yang lain. Dengan begitu diharapkan muncul gambaran Jokowi sama dengan si Suto petani di Kulonprogo, tak berbeda dengan si Panjul buruh di Bekasi, atau tak ada bedanya dengan si Tigor sopir metromini di terminal Kampung Melayu. Sederhanya, Jokowi ditampilkan merakyat.
Sementara dalam keagamaan, “sarung” merupakan petanda umat Muslim. Sebagian besar umat Muslim di Indonesia memakai sarung ketika menjalankan ibadah. Dengan memakai “sarung” berlatar fajar yang merekah di Raja Ampat, Jokowi ingin ditampilkan sebagai Muslim yang taat beribadah. Orang-orang yang melihat foto itu diarahkan untuk memiliki gambaran bahwa setelah menjalankan salat Subuh [dengan memakai "sarung"], Jokowi langsung jalan-jalan ke tepi pantai di Raja Ampat. Kesan ini akan berbeda ketika Jokowi memakai celana sport, misalnya. Bila itu yang dipakai, Jokowi akan terkesan sehabis olah raga langsung pergi ke pantai. Lantas orang akan bertanya: apakah Jokowi tak subuhan karena sepagi itu sudah nongkrong di tepi pantai? Dengan memakai “sarung” pertanyaan itu tak akan muncul.
Tapi pencitraan dengan memakai “sarung” dirasa belumlah cukup untuk mencitrakan bahwa Jokowi “persis seperti orang kebanyakan lainnya.” Maka Sastre melanjutkan catatan kakinya dalam The Gost of Stalin. Ia menulis sebagai berikut: “Mereka [pimpinan borjuis] diperlihatkan pada saat berada di rumah, ketika menunggu detik-detik pergantian Tahun Baru bersama istri mereka (dengan sebuah pesta kecil yang sangat sederhana) atau saat sedang bermain dengan anak-anak mereka.”
Maka Papua dipilih sebagai tempat pesta Tahun Baru keluarga Jokowi. Pilihan ini untuk memperlihatkan Jokowi merayakan Tahun Baru dengan masyarakat Papua yang masih sederhana hidupnya. Akan beda kesan yang muncul bila Jokowi menikmati pesta Tahun Baru di Istana di Jakarta. Dengan memilih tempat di Papua, orang akan menilai bahwa Jokowi orang yang sederhana, merayakan penghujung tahun bersama keluarga di tempat sederhana, justru menjauh dari kemewahan Istana.
Dengan memakai “sarung” dan pesta Tahun Baru yang sederhana, samakah Jokowi dengan kehidupan si Suto, si Panjul dan si Tigor? Tentu saja beda. Sederhana saja. Jokowi tak perlu puyeng memikirkan cara membeli sarung. Semua sudah disediakan. Tinggal pakai [mungkin suatu saat Jokowi akan menampilkan dirinya sedang membeli "sarung" di pasar Klewer agar terkesan seperti orang kebanyakan]. Beda dengan si Suto, si Panjul dan si Tigor. Mereka harus berpikir sebelum membeli sarung. Apakah uangnya akan digunakan untuk membeli sarung, atau digunakan untuk makan sehari hari, atau untuk biaya sekolah anak anak mereka, misalnya. Sebelum membeli mereka harus mempertimbangkan ini itu karena keuangan yang terbatas. Bedanya lagi, untuk bisa duduk santai sembari memakai “sarung” di tepi pantai Raja Ampat, Jokowi tak perlu berpikir macam macam. Semuanya sudah disiapkan oleh pegawai keprisidenan. Jokowi tak perlu memikirkan berapa biaya perjalanan Jakarta-Papua, naik apa ke sana, tidur di mana, dan lain sebagainya. Sementara untuk si Suto, si Panjul, si Tigor, untuk bisa menikmati fajar di Raja Ampat tentu harus banyak yang dipikirkan. Mereka orang orang biasa yang tak memiliki fasilitas apapun.
Tentu saja ada 1001 satu perbedaan Jokowi dengan rakyat kebanyakan walaupun dirinya sudah berusaha tampil seolah olah seperti rakyat kebanyakan. “Sarung” yang dipakai Jokowi hanya tipuan semata. Mau memakai “sarung” dan bersandal jepit, Jokowi tetap seorang borjuasi yang bertugas memimpin penghisapan terhadap rakyat Indonesia. Seekor srigala akan tetap menjadi srigala walaupun ia berbaju bulu domba.***
Lereng Merapi. 03.01.2016
Sumber: Tikus Merah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar