Industri TV seakan dilepaskan dari tanggung jawab sosial dan hukumnya. Mereka, oleh logika Pandji, dibiarkan bekerja dalam mekanisme pasar.Pandji Pragiwaksono menulis dalam blognya: industri TV memang aneh. Buat saya, cara berpikir Pandji dalam tulisannya tersebut juga tak kalah anehnya. Dalam tulisan berjudul “Let’s Move It” itu, ia mendaku bahwa sampah yang disiarkan TV kita disebabkan oleh “selera” masyarakat kelas bawah. Begini kalimat pamungkasnya: “Itulah mengapa banyak program TV yang terpaksa di-‘dumb it down’ atau dibikin ‘goblok’ demi mendapatkan perhatian masyarakat kelas bawah.”
Tentu, keresahan Pandji atas pandirnya industri TV adalah keresahan saya pula, dan mungkin Anda semua. Tapi saya mempunyai pandangan yang berbeda dengan Pandji—meski ternyata tulisan tersebut ditulis Februari tahun lalu, tapi belakangan menjadi ramai dibicarakan setelah seseorang memuatnya di Kaskus dan membuat gencarnya penyebaran di media sosial. Ya, popularitas kerap membuat sesuatu tampak penting dan, sialnya, tampak benar.
Ringkas cerita, cara berpikir Pandji dalam tulisan tersebut bisa disimpulkan dalam tiga poin. Pertama, bahwa selera masyarakat kelas bawah adalah penyebab dari buruknya isi siaran TV. Kedua, masyarakat kelas atas punya selera yang bermutu, atau setidaknya, tidak serendah kelas bawah. Ketiga, penonton televisi dikekalkan posisinya hanya sebagai konsumen, bukan warga negara. Saya bahas dulu yang pertama.
Logika Pandji tidak ia monopoli sendiri, karena demikianlah juga logika yang diimani sebagian besar pekerja televisi. Dalam sebuah diskusi mengenai rating yang diadakan Komisi Penyiaran Indonesia di Kementerian Komunikasi dan Informasi pada 2013, rasa-rasanya beginilah kesimpulan para peserta diskusi yang mayoritas adalah pekerja TV: selera pekerja rumah tangga (mereka pakai istilah “pembantu”) membentuk wajah televisi kita hari ini. Mereka mengkritik metode Nielsen yang menggunakan populasi responden kelas C-D. Mereka juga berkhayal bahwa people meter yang dituju Nielsen pada responden A-B ternyata dipasang pada televisi yang ditonton PRT, bukan si pemiliik.
Dalam diskusi yang seolah sedang membicarakan publik itu, tak ada perspektif publik. Tak ada pendapat yang menyatakan bahwa yang ada di televisi adalah selera si pekerja TV demi melayani nafsu ekonomi majikannya. Bahkan tak ada pertanggungjawaban yang menjelaskan bagaimana mereka dengan maha tahu bisa mengetahui selera para PRT. Intinya, selera PRT-lah yang secara mistis menuntun mereka memproduksi sampah di TV. Namun, selera tersebut tiba-tiba didaku sebagai milik pekerja TV ketika mendapat pujian atau penghargaan.
Lantas, apa itu selera? Pada kenyataannya, selera tidaklah pernah alamiah. Selera merupakan wahana pertarungan ekonomi, politik, dan kelas. Selera adalah hasil konstruksi dari apa yang diinginkan dari suatu kekuatan atau ideologi. Kelas priyayi Jawa yang mengklasifikasi bahasa dalam beberapa strata adalah contoh bahwa tingkatan selera diciptakan untuk merawat stabilitas kekuasaan keraton. Dengan demikian, selera bukanlah persoalan estetika, melainkan upaya penguasaan. Selera menjadi alat untuk mendominasi. Lalu, struktur sosial yang mapan akan melakukan proses peliyanan (othering) melalui pelabelan “selera alay” atau “selera pembantu”. Peliyanan adalah upaya mendefinisikan diri atau kelompok dengan cara mendefinisikan orang atau kelompok lain, sehingga definsi diri atau kelompok sendiri adalah “apa-apa yang bukan mereka”. Seseorang atau sekelompok orang terdefinisikan bukan karena apa yang mereka kerjakan, tapi karena mereka mampu menunjuk “mereka yang alay” atau “apa itu selera kelas bawah”.
Masalah besar yang tercermin dalam logika Pandji adalah ketika ia cenderung menilai selera tiap kelas berdasarkan mutunya secara dikotomi moral: “norak-keren”, “tinggi-rendah”, “adiluhung-kampungan”. Kelas dianggap menentukan kualitas selera. Sebuah selera dianggap bermutu baik karena ia selera kelas atas dan dinilai buruk karena ia selera kelas bawah. Cara berpikir demikian pada akhirnya hanya memprotes isi TV hanya karena itu selera kelas bawah, bukan karena itu buruk (dengan argumentasi objektif). Selama sebuah konten memenuhi syarat sebagai selera kelas menengah, ia akan dibela. Dan logika semacam ini bisa kita temui dalam suara “hadirkan Bioskop Trans TV, enyahkan YKS”, “lenyapkan Tukang Bubur Naik Haji, perbanyak Stand Up Comedy”, atau “kembalikan Radio Show, tendang Dahsyat” (Silakan periksa komik ini).
Maka, mari kita periksa logika Pandji tersebut melalui pertanyaan berikut: apakah masyarakat kelas atas tak tergoda menonton TV kalau yang disiarkan adalah adegan Limbad yang sedang mempenyokkan tabung gas dengan membenturkan ke kepalanya (Campur-campur, ANTV)? Atau sebaliknya, apakah masyarakat kelas bawah tak akan tertarik kalau yang diputar adalah Stand Up Comedy (Metro TV dan Kompas TV) yang mungkin, menurut Pandji, merupakan selera kelas atas?
Mantan Presiden Indonesia B.J. Habibie adalah penggemar Cinta Fitri— sinetron yang kerap dimaki dan menjadi materi lelucon kelas menengah di media sosial. Saking sukanya, bersama mendiang istrinya, Ainun, Habibie bahkan pernah mengundang para pemain Cinta Fitri untuk makan malam di rumahnya. Bagaimana logika Pandji bisa menjelaskan kenyataan ini?
Pada cerita lain, para petani di lereng gunung di Magelang, yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung, menggelar pertunjukan wayang yang tersusun dari puluhan sandal sebagai cara untuk merespon kasus seorang bocah yang terancam dipenjara lima tahun gara-gara mencuri sepasang sandal milik seorang polisi. Sebuah solidaritas yang tidak hanya cerdas, tapi juga indah dan kontekstual. Bagaimana logika “selera kelas bawah adalah buruk” bisa menjelaskan kenyataan ini?
Lalu, dalam hubungannya dengan media, selera siapa yang membentuk dan dibentuk? Siapa yang mempunyai alat, kekuasaan, serta motif besar untuk melakukan pembentukan selera secara massal, rutin, dan berkelanjutan? Media massa! Medialah yang membentuk selera tersebut. Menyitir wartawan Farid Gaban, media bekerja berdasarkan supply-driven, bukan demand-driven. Masyarakat tak akan protes kalau tak ada kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan di TV, misalnya, tapi kenapa dua hal tersebut terus saja ada di TV?
Cara kerja media massa dalam membentuk selera dijelaskan Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment (1944). Mereka menulis bahwa kapitalisme menghasilkan suatu ideologi budaya yang mendominasi melalui upaya penyeragaman. Personalitas dibunuh, standarisasi diagungkan. Seseorang dikondisikan patuh terhadap selera khalayak agar ia merasa tidak terlempar dari masyarakat kebanyakan yang seleranya sudah dibentuk melalui media massa (film, TV, musik, koran). Dengan mesinnya, industri kebudayaan berusaha membuat remeh-temeh dan limbah visual di TV seolah-olah bermakna dan merupakan bagian dari kebutuhan hidup (pseudo-needs). Metodenya: pengulangan terus-menerus.
Selera tertentu yang dianggap murahan dan banal, memang, sudah ada dan hidup dalam budaya masyarakat. Hanya butuh satu-dua pelatuk dari industri media untuk membuatnya meledak dan beranak-pinak. Tapi, menuduh selera masyarakat, terlebih kelas bawah, sebagai sumber dari segala sampah di TV adalah serupa dengan mengatakan “pemerkosaan dilakukan atas dasar suka sama suka”. Logika demikian abai dalam melihat struktur kekuasaan atau relasi kuasa yang melingkupi situasi tersebut. Alih-alih menyuarakan ketertindasan korban, cara berpikir tersebut malah menjadi pembenaran atas tindakan bejat pemerkosa, atau tindakan primitif pekerja dan pemilik TV dalam memproduksi tayangan yang bangsat!
Industri TV seakan dilepaskan dari tanggung jawab sosial dan hukumnya. Mereka, oleh logika Pandji, dibiarkan bekerja dalam mekanisme pasar. Yang diproduksi adalah apa yang bisa menguntungkan, apa yang “disukai selera kelas bawah”, meski itu harus melukai keadilan publik, melecehkan akal sehat, atau bahkan melanggar hukum. Padahal, secara sosial-kultural, dengan segala kemewahan akses dan kehormatan posisinya, media punya tanggung jawab melayani publik. Publik adalah pihak pertama dan utama yang padanyalah media harus mengabdi.
Secara hukum, TV bersiaran menggunakan frekuensi milik publik. Maka, penonton yang ia hadapi adalah warga negara, bukan konsumen. Warga negara pemilik frekuensi ini punya hak mendapatkan informasi yang sehat dan benar. Frekuensi yang adalah ranah publik ini, dipinjamkan negara kepada industri bukan buat keuntungan beberapa ekor konglomerat, tapi seluruh warga negara. Posisi ini membawa pada konsekuensi tindakan seorang warga negara: menuntut haknya atas frekuensi. Sedangkan seorang konsumen patuh meladeni mekanisme pasar: matikan TV atau berlangganan TV kabel.
Jadi, klaim bahwa selera masyarakat, terlebih kelas bawah, menentukan isi TV adalah mitos. Faktanya, TV-lah yang membentuk selera penonton, di mana selera tersebut adalah cerminan dari selera pekerja dan pemilik TV. Mitos macam tadi sudah banyak beredar, logika Pandji hanya salah satunya. []
Sumber: Remotivi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar