Minggu, 02 Agustus 2015

Pekerja Media Seluruh Indonesia, Bersatulah!

Semacam harapan untuk para pekerja media di Indonesia.

Wartawan Seno Gumira Ajidarma, dalam orasi berjudul "Media Sebagai Panglima" yang disampaikan pada acara Pesta Media Juni 2013, menyebut bahwa netralitas media hanyalah mitos.

“Bukan karena media telah mengkhianati cita-cita kelahirannya sendiri, melainkan karena [...] berbagai kepentingan, mulai ideologis sampai finansial, telah membentuk arus berita dengan keterlibatan para wartawan di dalamnya.”

Terhadap situasi ini, para wartawan punya dua pilihan: dengan lugu mengikuti arus atas nama “objektivitas” (kalau ada), atau secara sadar mengarahkan berita sehingga justru bersifat emansipatoris. Idealnya, tentu para wartawan memilih yang kedua.

Masalahnya, mungkinkah hal itu dilakukan?

Media massa di Indonesia rata-rata milik perusahaan yang hampir seluruh pendapatannya berasal dari iklan. Karena itulah, konten harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga menarik bagi para pemasangnya. Acara yang mengangkat isu-isu serius dikemas dengan “ringan dan menghibur”, jika perlu sensasional. Itulah mengapa "Indonesia Lawyer Club" (TV One) kadang terasa seperti obrolan warung kopi, lengkap dengan adegan adu mulut (kadang juga adu otot) antar narasumber, dan RCTI tak bosan-bosan menayangkan sinetron "Tukang Bubur Naik Haji".

Konsekuensi lain, setiap pekerja media yang tak mampu, atau tak mau, menampilkan kinerja selaras dengan orientasi pendapatan berbasis iklan, bisa dicopot sewaktu-waktu. Semasa saya masih bekerja di perusahaan media, pernah seorang direksi berkata, sudah bukan zamannya lagi kerja redaksional dipisahkan dengan iklan. “Menjual” kapling berita atau artikel demi billing iklan bukan suatu dosa, melainkan kerja sama.

Barangkali bagi direksi tersebut, media massa tak lebih dari sekadar proses manufaktur. Artikel majalah, berita koran, program televisi, dipandang sebagai komoditas yang sepadan (commensurable) dengan barang-barang hasil industri seperti meja, kursi, atau lemari.

Kelas Menengah, Knowledge Workers

Marx (Karl Marx—bukan Groucho, apalagi Richard) membagi masyarakat ke dalam dua kelas, yaitu borjuis dan proletar. Hal yang membedakan kedua kelas tersebut adalah akses kepada modal. Kaum borjuis memiliki alat-alat kerja, tanah, dan bangunan, sedangkan kaum proletar hanya punya tenaga untuk dijual kepada kapitalis dengan sejumlah bayaran, yang kemudian disebut upah.

Lantas, di mana posisi kelas menengah? Mereka bukanlah kapitalis karena tidak memiliki akses langsung pada modal. Juga bukan borjuis kecil karena tidak mempekerjakan diri sendiri. Bukan pula buruh karena yang dijual bukan tenaga kasar.

Haralambos (1985), dalam Wayne (2003), memaparkan konsep klasifikasi tipikal sosiologi atas masyarakat. Kelas menengah (middle class) terdiri dari higher professional, lower professional, dan routine white collar, sedangkan kelas pekerja (working class) terdiri dari skilled manual, semi-skilled manual, dan unskilled manual.

Bagian paling penting dari kelas menengah, yang membedakan mereka dari kelas pekerja dalam relasi produksi sosial, adalah bahwa mereka pekerja kreatif (knowledge workers). Aktivitas sentral mereka adalah elaborasi dan penyebaran gagasan, bukan hanya penggunaannya.

Inilah yang menjadikan posisi kelas menengah unik, dan akan selalu unik. Di satu sisi, ia tergantung pada kapitalis karena, seperti buruh, ia juga menjual tenaga kerjanya pada kaum pemodal. Di sisi lain, “tenaga kerja” yang ia miliki bukanlah tenaga kasar yang sifatnya dapat dipertukarkan (interchangeable) seperti kelas pekerja, melainkan pengetahuan atau ilmu (knowledge) yang kemudian menghasilkan gagasan. Beda orang, beda ilmu, beda karakter, beda pula idenya.

Konsep ini bukannya tanpa masalah. Azhar Irfansyah pernah menulis dengan sangat baik mengenai fenomena pemberitaan sinis mengenai demo buruh. Kesinisan ini, lucunya, dilakukan oleh wartawan yang seolah tak sadar bahwa dirinya juga termasuk kelas pekerja. Upah rata-rata wartawan Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia Tenggara. Jadi mengapa mereka seolah memiliki kesadaran kelas yang berbeda? “Kesombongan” mereka dalam memandang buruh muncul dari anggapan bahwa wartawan adalah pekerja terampil (punya ijazah, meliput di tempat terhormat), sedangkan buruh semi-terampil atau tak terampil (tak punya ijazah, bekerja memasang sekrup atau mengepak di pabrik sepanjang hari).

Saya berpendapat, wartawan yang tidak menyadari potensi emansipatorisnya justru tidak termasuk dalam kelas menengah alias knowledge workers. Wartawan yang hanya bisa menulis berita-berita sok sensasional tanpa ada upaya meneliti dan memeriksa lebih dalam, justru gagal memanfaatkan potensi “knowledge” yang membedakannya dari kelas-kelas lain.

Pada artikel Azhar, tugas wartawan seharusnya bukan bersikap sinis terhadap buruh sekadar demi “angle berita yang berbeda” atau “judul yang click-able”, melainkan justru membeberkan pada khalayak permasalahan apa yang melingkupi isu-isu perburuhan. Itulah yang disebut dengan pekerja kreatif alias knowledge workers; yakni ketika pengetahuannya memiliki fungsi mencerdaskan dan memberdayakan orang lain, sekecil apapun.

Wartawan baru bisa disebut kelas menengah ketika mereka bekerja memproduksi ide, mengelaborasinya, memperbaruinya terus menerus dengan pengetahuan baru, bukan malah bersikap sinis dan secara tak sadar turut melanggengkan hegemoni bos media yang mempekerjakannya.

Posisi tawar

Pada tanggal 12 November 1991, sejumlah penduduk Timor Timur melakukan aksi damai memprotes okupasi militer, di sebuah pemakaman publik Santa Cruz. Meskipun judulnya “aksi damai”, polisi dan militer menembaki penduduk dengan brutal. Peristiwa ini kemudian diangkat menjadi reportase "Insiden Dili" di majalah Jakarta Jakarta, kelompok Kompas Gramedia Majalah.

Ketika laporan tentang "Insiden Dili" datang ke mejanya, Seno Gumira Ajidarma, kala itu redaktur pelaksana, segera menyadari bahwa telah terjadi suatu kejahatan (Hak Asasi Manusia) HAM berat di Timor Timur. Pemerkosaan, penyiksaan, dan kekejaman aneh para tentara (penduduk dipaksa minum darah dan menelan patahan rosario mereka) terjadi dengan begitu brutal. Sebagai wartawan yang telah sangat paham aturan main Orde Baru dengan doktrin self-censorship bagi pers, Seno memutuskan tetap menurunkan berita itu dengan mengutip pendapat pihak militer dan kepolisian, agar aspek cover both sides terjaga.

Ia berhasil memuat reportase Dili dalam rangkaian seri hingga beberapa minggu. Sampai akhirnya, pada Januari 1992, karena takut tulisan-tulisan Seno dapat “mengganggu stabilitas dan menimbulkan keresahan banyak pihak”, ia dibebas-tugaskan dari posisinya sebagai Redaktur Pelaksana Jakarta Jakarta. Seno pun menuliskan kisahnya dalam bentuk fiksi, sebuah kumpulan cerpen berjudul Saksi Mata (1994) dan roman berjudul Jazz, Parfum, dan Insiden (1996), serta memunculkan adagium yang cukup popular: ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.

Artinya, dengan segala siasat, artikel itu beredar juga. Seno mempertaruhkan pekerjaannya untuk menerbitkan rangkaian feature tersebut. Ketika kemudian datang perintah pencabutan, ia lalu mengganti strategi, yakni menuliskannya dalam bentuk fiksi. Kode-kode disamarkan, tapi dengan begitu terang benderang, sehingga orang tidak perlu pintar-pintar amat untuk tahu bahwa yang dimaksudkannya adalah Dili. Fakta bahwa Seno mengakhiri kariernya di Kompas Gramedia dengan mengajukan pensiun dan bukan dipecat, menunjukkan knowledge yang ia miliki telah menyelamatkannya.

Mungkinkah upaya seperti ini dilakukan sekarang, melawan berhala rating Nielsen dan pundi-pundi yang mengalir lewat iklan? Rasanya kita semua bisa mati dengan tenang bila para reporter, redaktur media cetak dan media online, para penulis skrip, direktur kreatif program televisi, sama-sama berupaya menghadirkan artikel dan tayangan dengan format menghibur, tapi tetap beretika dan mencerdaskan.

Adakah gagasan ini terlalu indah untuk menjadi nyata? Tulisan ini sekaligus mengundang diskusi para pekerja kreatif di media mengenai celah-celah yang masih dapat diambil untuk sedikit mencerdaskan khalayak.

Sebab uang mestinya tak sebegitu berkuasa, dan manusia kreatif seharusnya berdaya. []


Daftar Pustaka

Mike Wayne. 2003. Marxism and Media Studies, USA: Pluto Press.

Sumber: Remotivi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...