Budaya dan adat-istiadat penghuni bumi ini memang umumnya tidak menomorsatukan perempuan. Dari sekian ribu suku bangsa di dunia, secara antropologis biasanya mereka merupakan suatu komunitas yang patrilineal. Hanya beberapa suku bangsa dunia yang matrilineal, misalnya suku bangsa Minangkabau dan bangsa Rusia.
Patrilineal memiliki konsekuensi logis bahwa apa pun yang dilakukan perempuan harus mendapatkan persetujuan dari pria. Budaya “pembunuhan demi kehormatan” atau honour killing yang umum di Timur Tengah dan Asia Selatan adalah salah satu instrumen untuk melestarikan patrilineal.
Dalam dunia politik, hal ini sangat membatasi perempuan. Akibatnya, umumnya pemimpin perempuan mewarisi jabatannya dari ayah atau suaminyanya. Contohnya: Megawati dan Soekarno, Benazir dan Zulfikar Ali Bhuto, Corazon Aquino dan Senator Aquino, Sheikh Hasina Wazed dan Sheikh Mujibur Rahman, Hillary dan Bill Clinton, Ratu Elizabeth I dan Raja Henry VIII, dan lain-lain.
Instrumen pewarisan jabatan ini adalah manifestasi dari budaya patriarki yang paling halus. Seakan pro-perempuan atau feminis, padahal di belakang hanya memperalat mereka.
Patriarki adalah budaya “macho” yang mengutamakan supremasi pria. Salah satu negara yang menjadikan patriarki sebagai kebijakan negara adalah Nazi Jerman. Adolf Hitler berpendapat sebaiknya perempuan berada di rumah saja, mengurus anak, rumah tangga, dan suami. Kebijakan ini berakibat fatal. Sebab, sewaktu pria Jerman banyak yang tewas di medan perang, perempuan tidak banyak yang bisa dimobilisasi untuk membantu pertempuran, baik di garis depan maupun belakang.
Hal ini berbeda dengan sekutu, yang banyak dibantu oleh aparat perempuan untuk mendukung operasi militer. Hitler sangat memuji Magdalena Goebbles, istri Menteri Penerangan Joseph Goebbles, yang dinilai dapat membesarkan keenam anaknya dan mengurus suaminya dengan baik.
Ironisnya, sewaktu Jerman kalah perang, Magdalena Goebbles memberikan racun sianida kepada keenam anaknya sampai tewas. Mereka melakukan hal tersebut karena keluarga Goebbles tidak dapat membayangkan hidup mereka tanpa berkuasanya Nazi di Eropa. Dari sini bisa disimpulkan bahwa patriarki dapat menjelma menjadi ideologi yang sangat brutal dan tak segan-segan memusnahkan pengikutnya sendiri.
Di Jerman masa kini, patriarki Hitler sudah musnah secara resmi. Adolf Hitler tidak pernah membayangkan bahwa seorang perempuan bernama Angela Merkel pada akhirnya diangkat menjadi Kanselir Jerman. Angela Merkel adalah anak seorang pendeta, dan bersuamikan seorang dosen. Suami Merkel sendiri selalu menolak diwawancara wartawan dan tidak mau diasosiasikan dengan pekerjaan istrinya.
Bisa dibilang keluarga Merkel bukanlah selebriti politik seperti Presiden Megawati dan Corazon Aquino. Angela Merkel dipuji karena berhasil memimpin Eropa keluar dari krisis ekonomi 2008, dan tetap menjaga supremasi Jerman sebagai ekonomi nomor satu di Eropa. Merkel juga habis-habisan merevitalisasi Angkatan Bersenjata Jerman (Bundeswehr), supaya lebih berperan dalam menyelesaikan konflik dunia.
Walaupun Merkel sudah menjadi Kanselir Jerman dan pemimpin ‘de facto’ Uni Eropa, patriarki tidak pernah sepenuhnya hilang. Dibandingkan negara Skandinavia seperti Swedia, Jerman tergolong terbelakang dalam hal emansipasi perempuan. Kritikus menuduh Merkel terlalu berkompromi dengan pendukung patriarki, dengan memberikan mereka posisi untuk mendukungnya.
Indonesia juga memiliki “Merkel”, yang bukan dari keluarga selebriti politik. Dia adalah Tri Rismaharini, atau yang populer disebut Bu Risma. Bu Risma juga sama, tidak memiliki keluarga yang populer sebagai selebriti politik. Sebagai Wali Kota Surabaya yang diusung oleh PDIP, Bu Risma sudah sangat banyak mencetak prestasi di Surabaya. Sebut saja nominasi Wali Kota terbaik di dunia 2012 dengan penghargaan “World Mayor Prize” oleh The City Mayors Foundation terkait revitalisasi Taman Bungkul, dan Penghargaan Piala Adipura kepada Kota Surabaya.
Bu Risma dan Presiden Jokowi memiliki gaya kepemimpinan yang sangat mirip, yaitu sangat suka melakukan blusukan. Dengan begitu, masalah di lapangan dapat diidentifikasi dan diselesaikan dengan cepat dan tepat.
Merkel dan Risma merupakan ikon melawan patriarki. Namun, membandingkan Angela Merkel dan Risma, walaupun sangat menarik, meninggalkan beberapa catatan kritis. Menjadi pemimpin nasional di Indonesia yang sangat multikultur, multiagama, dan multiras jelas jauh lebih sulit daripada di Jerman yang lebih homogen. Walau akhir-akhir ini Jerman memiliki masalah dengan imigran dari Timur Tengah, Indonesia justru sudah lebih terbiasa menghadapi problematika interaksi antara suku, golongan, agama, dan ras.
Di Jerman, menguasai bahasa dan budaya Jerman merupakan modal awal bagi “orang asing” untuk menjadi pemimpin di sana. Hal itu bisa dilihat pada Cem Ozdemir, mantan anggota parlemen Jerman keturunan Turki. Hanya saja, di Indonesia yang terdiri dari 300 suku dan banyak sekali bahasa daerah, bahasa, dan kultur, apa yang harus dikuasai oleh seorang politisi? Hampir dari semua suku tersebut adalah pendukung patriarki.
Tentu menguasai semuanya sangat tidak mungkin dan terlalu berkompromi dengan semua pihak justru hanya memperkuat budaya patriarki. Hal ini yang menjadikan Bu Risma memiliki tantangan yang jauh lebih sulit dibandingkan Angela Merkel, untuk menjadi pemimpin nasional.
Sumber: Geotimes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar