Selasa, 09 Juni 2015

Firasat dan Kematian

Anda percaya firasat? Saya percaya.

Dulu, mungkin sekitar sebulan sebelum bapak saya meninggal, Bapak dalam kondisi kesehatan yang relatif membaik. Nggak opname di rumah sakit, bisa menjalankan aktivitas-aktivitas rumahan, shalat berjamaah di masjid, ngobrol sama tetangga, dan sebagainya.

Pada saat-saat itulah Bapak bilang ke tetangga sebelah, bahwa ia melihat banyak sekali orang berpakaian putih-putih yang hilir mudik. Selain itu, Bapak juga beberapa kali mimpi dipanggil oleh almarhum Pakdhe. Iya, Pakdhe yang muncul di mimpi-mimpinya. Bukan simbah saya, baik mbah lanang ataupun mbah wedok.

Bapak pun kemudian meninggal pada tanggal 23 Januari, tanggal yang persis sama dengan tanggal mangkatnya Pakdhe. Dan orang-orang berpakaian putih-putih itu tadi, ah, entah siapa pula mereka.

Yang jelas, kami belakangan memandang hal-hal yang terjadi sebulan sebelumnya itu tadi sebagai firasat akan datangnya kematian Bapak.

Barang tentu, kesimpulan demikian kami ambil secara post-factum. Yah, sebagaimana banyak hal irasional lain, lah ya. Dan karena sifat post-factum itu jugalah, kental nuansa cocoklogi pada konsep firasat.

Lalu, apakah sebenarnya firasat itu? Kalau ia sebuah respons atau reaksi, bagaimana bisa seseorang bereaksi atas sesuatu yang belum terjadi?

Demikianlah. Karena hadir hal-hal semacam firasat dan sebangsanya, kematian pun selalu menjadi ajang tarik-ulur antara dua dimensi: rasionalitas dan iman. Akal menerangkan kematian sebagai sebuah akibat atas sebab-sebab. Penyakit, kondisi kesehatan yang buruk, kecelakaan, kecerobohan, human error… Sementara, iman berkata lain. Dan orang yang percaya firasat, alias percaya akan respons-respons pra-kejadian, adalah orang-orang yang lebih cenderung pada iman.

Memang sih, para wartawan tivi itu mengajukan pertanyaan dengan cara yang ngehek tentang firasat para keluarga korban. Nggak peka pada psikologi orang yang sedang berduka, dan nggak layak secara jurnalistik. (Ingat, jurnalistik urusannya mengolah fakta, dan fakta adalah wilayah rasio. Bukan begitu?). Tapi bukan berarti perkara firasat ini nggak berguna di ranah non-jurnalistik. Sebab, ada banyak orang yang percaya padanya.

Saya mungkin salah satunya. Meski saya sudah dituduh liberalis dan semacamnya, itu tidak membikin saya malu untuk bilang bahwa saya sering percaya pada firasat.

Saya percaya bahwa kecelakaan, musibah, kerusakan di muka bumi, adalah perkara-perkara rasionalitas sebab-akibat. Ia adalah tantangan Tuhan agar manusia terus mengolah akalnya, terus meningkatkan ilmu pengetahuannya. Tapi saya juga percaya, bahwa kematian itu sendiri (bukan musibahnya), adalah sesuatu yang acapkali berdiri di luar koridor rasionalitas. Ia sesuatu yang.. memang sudah dirancang.

Innalillahi wainnailaihi raaji’uun. Kita akan kembali, ke tempat kita bermula.

Iqbal Aji Daryono.

Sumber: Berisik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...