Kamis, 24 Maret 2016

Fiksi Motivasi di Gerbong Neoliberal

Mungkin paradoks, tetapi kita patut berterima kasih kepada Tere Liye atas status FB-nya yang tuna sejarah itu. Saya senang karena banyak tanggapan, baik yang halus maupun kasar, yang satir hingga yang sinis, yang memberi kita wawasan mengenai peran non-ulama dalam revolusi kemerdekaan, tentang politik anti-komunis Orde Baru, tentang politik pemisahan Islam—kafir yang semakin menguat belakangan ini. Penulis tuna sejarah di zaman ini ternyata tidak bisa diterima begitu saja! Bukankah itu menggembirakan?

Selain itu, tanggapan terhadap status Tere Liye mungkin telah sampai titik yang tidak pernah dibayangkan Tere Liye sendiri: bukan hanya membantah Tere Liye dengan fakta-fakta sejarah, tetapi berusaha menunjukkan kenapa orang seperti dia bisa lahir. Beberapa pengkritik, seperti Bilven Sandalista[1] dan Bonnie Triyana[2], mengaitkan Tere Liye dengan propaganda anti-komunis Orde Baru. Artinya, Tere Liye justru menjadi gerbang untuk memasuki persoalan yang lebih besar, yang struktural, yang memungkinkan Tere Liye-Tere Liye bisa hidup nyaman dan merasa benar. Mengikuti jejak itu, saya ingin mengaitkan Tere Liye dengan kondisi di bidang yang lebih khusus lagi, yaitu sastra Indonesia, tetapi juga mengaitkannya dengan kekuasaan ekonomi politik saat ini.

Dalam tulisan sebelumnya di literasi.co[3], saya telah menerangkan dinamika internal sastra Indonesia pasca-reformasi serta hubungannya dengan kekuasaan eksternal [neoliberalisme] yang memungkinkan lahirnya Andrea Hirata dan Denny JA. Saat ini, sebagian agen sastra Indonesia sudah enggan mengakui pemisahan Sastra-fiksi populer dan cenderung lebih percaya pada legitimasi pasar. Sepertinya ada orkestra nir-konduktor saat kita serentak mengkritik legitimasi kritikus sekaligus mengangkat pembaca sebagai pemberi legitimasi paling sahih dari sebuah karya sastra. Thousand people can’t be wrong, kata laman Best-Seller Gramedia. Tidak mengherankan bila Andrea Hirata bisa mendapat kekuasaan untuk bicara mengenai apa itu sastra yang baik![4]

Saya akan bergerak lebih jauh lagi dari pembicaraan itu, meski tentu saja tetap berkaitan, dengan menyelidiki dua persoalan: a] sastrawan/pengarang vs penulis, dan b] motivasi atau swa-bantu (self-help) dalam sastra Indonesia. Lalu, apa hubungannya dengan Tere Liye? Pertama, baik Tere Liye atau Andrea Hirata atau beberapa orang yang menulis karya fiksi jarang sekali disebut sebagai sastrawan. Mereka lebih sering menyandang label penulis, bukan sastrawan. Seperti akan kita lihat, dua label itu berkaitan erat dengan sejarah. Kedua, karya dan status FB Tere Liye bisa disebut masuk dalam gerbong tulisan ‘penggungah jiwa’, ‘pembangkit semangat’, ‘motivasi diri’, dan lain sejenisnya.

Singkatnya, ia menghasilkan karya motivasi, sama seperti pidato mahal Mario Teguh. Kita bisa menyebut karya-karya semacam itu sebagai ‘fiksi motivasi’—baik fiksi sebagai ‘karya rekaan’ maupun fiksi sebagai ‘tidak benar’. Saya akan menunjukkan ide dasar dari karya-karya semacam itu dan mengaitkannya dengan, lagi-lagi, neoliberalisme sebagai kekuasaan eksternal paling kuat saat ini.

Sastrawan dan Penulis

Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis yang terkenal dengan konsepnya tentang medan kultural, mengkategorikan-ulang oposisi budaya tinggi vs budaya rendah menjadi medan produksi skala-terbatas dan medan produksi skala-besar. Keduanya dicirikan, antara lain, melalui [a] perbedaan bentuk legitimasi dominan: yang pertama lebih banyak ditentukan oleh legitimasi spesifik [misalnya: ahli seni], sedangkan yang kedua oleh pasar; [b] hubungannya dengan kekuasaan eksternal: semakin otonom sebuah medan kultural, semakin ia bersikap anti-kekuasaan eksternal; semakin heteronom, semakin ia ditentukan oleh kekuasaan eksternal, khususnya ekonomi. Dalam medan sastra, mengikuti Ken Gelder, keduanya direpresentasikan oleh Sastra [sastra serius] dan fiksi populer [sastra populer].[5]

Salah satu bentuk nyata heteronomi Sastra Indonesia pasca-reformasi adalah populernya gelar ‘penulis’ bagi subjek-yang-berkarya. Dari beberapa kali obrolan dengan beberapa kawan sastrawan, saya menangkap bahwa sebagian orang memilih label penulis alih-alih sastrawan karena ingin menunjukkan kerendahan hati. Namun, kita mesti ingat bahwa kenyamanan atau perasaan rendah hati semacam itu pasti lahir dari perubahan penting yang terjadi terkait polarisasi dan hierarki Sastra-fiksi populer. Di masa Orde Baru, label ‘penulis’ hampir selalu disematkan pada orang yang menghasilkan fiksi populer atau yang dianggap demikian oleh agen Sastra. Sedangkan orang yang menghasilkan karya Sastra disebut sastrawan.[6]

Di masa ini, meski label ‘penulis’ tetap punya konotasi fiksi populer, tetapi penggunaannya cenderung meningkat dan konotasi negatifnya juga terkikis. Andrea Hirata adalah contoh sahih dari fenomena ini. Ia tidak mau disebut sastrawan, melainkan penulis, tetapi mendapatkan kekuasaan istimewa untuk mewakili Indonesia dan mewakili sastrawan Indonesia di berbagai ajang internasional. Ia juga seperti diberi hak untuk bicara mengenai kondisi Sastra Indonesia.

Dalam pengertian yang cenderung negatif saat ini, gelar ‘sastrawan’ menyimbolkan otonomi mutlak, hierarki, dan elitisme. Gelar sastrawan juga mengandung konotasi ‘agung’, ‘tak tersentuh’, ‘sastrawi’, dan ‘dekat dengan filsafat’. Karya-karya mereka yang berkualitas tinggi adalah “yang samar, susah dipahami, subtil dan sublim…”[7]. Sebaliknya, ‘penulis’ membawa konotasi makna lebih egaliter, lebih demokratis, mudah dipahami, dan dekat dengan pembaca.[8] Kini, tidak seperti masa Orde Baru, yang menjadi samar justru keterkaitan antara penulis dengan fiksi populer. Agen Sastra tampaknya ingin mengambil makna positif dari fitur makna ‘penulis’.

Selain konotasi-konotasi di atas, sebenarnya ada fitur makna lain dari ‘sastrawan’ dan ‘penulis’ yang jarang disentuh, yaitu keterkaitan dengan tradisi sastra. Posisi seorang sastrawan dan karyanya umumnya dilihat dalam koridor tradisi sastra yang ada. Karenanya, ada ‘beban tradisi’ yang dipikul oleh seorang sastrawan. Saya yakin tidak akan ada orang yang berani mengaku dirinya sastrawan tanpa mengetahui sejarah sastra di negaranya! Setidaknya, dia pasti sudah ‘berdarah-darah’ bergulat dengan karya-karya yang ditulis sebelum dia menulis. Namun, prasyarat yang sama tampaknya tidak berlaku bagi penulis. Andrea Hirata dengan bangga mengaku baru membaca satu novel saat menulis Laskar Pelangi. Dalam wawancara-wawancara yang dilakukan terhadap para ‘penulis’, kita tidak akan mendapatkan pernyataan-pernyataan yang mentautkan diri secara intensif dengan tradisi sastra.

Perbedaan fitur makna ini penting kalau kita bicara soal penulis tuna sejarah seperti Tere Liye. Struktur medan Sastra yang ada, yang mengakomodasi dan justru ingin mengambil konotasi positif dari penulis dan fiksi populer secara umum, memang menyediakan ruang bagi seorang penulis untuk tidak mencoba mengerti dan memahami sejarah tradisi seninya sendiri. Apalagi tradisi politik dan ideologi yang lebih besar, yang pasti terkait dengannya. Akan sangat wajar bila ada penulis lain seperti Tere Liye di kondisi medan seperti ini.

Wacana Motivasi dalam Sastra

Di media sosial, setidaknya FB, Tere Liye adalah seorang bintang. Status-statusnya mendapatkan ribuan like dan dibagikan ribuan kali. Apa yang menarik dari status-statusnya? Apa yang membuat status-statusnya mendapatkan apresiasi yang begitu besar?

Saya kira Tere Liye harus berterima kasih paling tidak kepada dua penulis: Andrea Hirata dan Habiburrahman El Shirazy. Selain itu, ia pantas memberi hormat kepada Mario Teguh, para motivator, dan penerjemah buku-buku self-help [yang sebagian besar dari Amerika]. Andrea Hirata, penulis best-seller dan motivator seharga 50 juta untuk 90 menit bicara, telah memberi contoh apik mengenai cara untuk tampak elegan, bijak, nyeni, dan tulus sembari mendapatkan uang melimpah. Andrea Hirata telah menyulap ide motivasi dan jargon ‘berpikir positif’ menjadi isi yang dihargai, bahkan dihormati dalam dunia penulisan fiksi. Sedangkan Habiburrahman El Shirazy telah memoles motivasi dengan jargon-jargon ‘islami’ dan berkontribusi pada wajah budaya anak muda ‘islami’ Indonesia. Karena keduanya dan banyak penulis lain yang kurang terkenal dibanding mereka, wacana motivasi dan motivasi islami telah memiliki posisi relatif kuat dalam dunia kepenulisan saat ini. Tere Liye adalah orang yang alhamdulillah ikut menikmati buahnya.

Motivasi, baik yang islami maupun non-islami, berangkat dari satu sumber ilham yang sama: magnetisme. Istilah ini dipakai oleh Barbara Ehrenreich, seorang pengarang dan aktivis politik Amerika, untuk menunjukkan kepercayaan bahwa pikiran dapat mengubah realitas material. Karenanya, berhati-hatilah! Anda harus selalu berpikir positif dan berani bermimpi. Jika Anda berpikir negatif, maka seluruh alam semesta akan mengamini pikiran jelek Anda itu dan mewujudkannya ke bentuk material [misalnya, Anda akan mendapatkan musibah!]. Anda harus bermimpi karena, mengutip Andrea Hirata, “Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu”.

Memang apa salahnya berpikir positif? Menurut Ehrenreich, berpikir positif terus-menerus, seperti ajakan para motivator, adalah delusi [pikiran atau pandangan yang tidak berdasar, tidak rasional, atau keliru]. Penekanan terus-menerus pada berpikir positif—sabar, tenang, tidak marah, menerima keadaan, dll.—membuat emosi-emosi yang penting dalam hidup manusia—seperti marah, takut, geram terhadap keadaan, dll—sebagai buruk belaka. Penekanan ini juga menyederhanakan rumitnya hubungan yang positif dan negatif dalam hidup kita sehari-hari dengan cara membuat garis moral yang tegas antara yang positif-baik dan yang negatif-buruk. Karenanya, dalam fiksi atau status FB motivasi tidak diperlukan ambivalensi atau dilema moral—kalaupun ada hanya dibuat demi sentimentalisme dan ending-nya sudah bisa ditebak.

Apa efek wacana motivasi dan berpikir positif ini dalam Sastra? Seperti yang sudah saya singgung di atas, motivasi dan anjuran berpikir positif menjadi isi yang dihormati dalam dunia kepenulisan fiksi. Selanjutnya, setidaknya di level pembaca, ada kecenderungan untuk membangun oposisi biner antara motivasional vs kritis, rekonstruksi vs dekonstruksi, ringan vs berat, dan sejenisnya[9] yang pada dasarnya merupakan pengulangan dan renovasi dari oposisi biner ala Orde Baru [seni yang baik adalah yang apolitis, yang tidak mempertanyakan/mendekonstruksi kekuasaan].

Motivasi dan Neoliberalisme[10]

Oke. Sejauh ini kita sudah bisa melihat status kepenulisan Tere Liye dan wacana motivasi dalam dunia fiksi Indonesia yang membuat Tere Liye menjadi bintang. Sekarang, kita akan beranjak lebih jauh lagi ke persoalan yang wacana motivasi sangat tidak menyukai dan tidak mau menyinggungnya: [struktur] ekonomi politik. Lebih khusus lagi, kita akan melihat bagaimana wacana motivasi mendukung, atau setidaknya tidak bertentangan dengan struktur ekonomi-politik dominan saat ini, yaitu neoliberalisme. Kita akan mulai dari pandangan mengenai hubungan antara diri dan kekuasaan luar diri atau yang biasanya disebut dengan agensi dan struktur.

Seperti ditunjukkan secara langsung oleh kata ‘liberalisme’ dalam ‘neoliberalisme’, paham ini menekankan kebebasan individu sebagai kunci bagi kemajuan umat manusia. Mengutip Margareth Thatcher, Perdana Menteri Inggris (1979-1990), salah satu tokoh penting yang mempraktikkan paham neoliberal, “tidak ada yang namanya masyarakat, hanya ada individu-individu laki-laki dan perempuan” [meski ia kemudian melanjutkan, “dan keluarga mereka”].[11] Dalam praktik pengelolaan rumah tangga publik, hadirnya kebebasan individu konon mensyaratkan adanya ruang yang luas dalam sebuah institusi, yaitu negara, yang bercirikan “strong property private rights, free markets, and free trade.”

Di level kepercayaan atas individu, wacana motivasi dan neoliberalisme berada dalam gerbong yang sama. Keduanya menekankan pentingnya individu—bukan masyarakat. Kalau magnetisme menganggap pikiran individu mampu mengubah realitas material yang mengitari kehidupannya, neoliberalisme menekankan bahwa individu merupakan satu-satunya definisi atas kemanusiaan. Keduanya mengembalikan semua persoalan duniawi ke persoalan individu. Dalam neoliberalisme, struktur—ekonomi, politik, hukum, norma—boleh seperti apa saja asal menjamin kebebasan individu, asal tidak ada aturan yang menghambat kebebasan pasar. Dalam motivasi, struktur apapun diakui keberadaannya, tetapi disangkal keberfungsiannya dalam membentuk individu.

Dalam praktiknya, wacana motivasi kompatibel dengan neoliberalisme. Seperti sudah dibahas secara kritis oleh banyak orang, neoliberalisme menggunakan struktur—terutama negara—untuk menyokong pasar bebas dan perdagangan bebas yang ujung-ujungnya menguntungkan segelintir orang [kapitalis dan negara-negara maju], merendahkan standar hidup sebagian besar lainnya, dan menyebabkan ketidakpastian ekonomi [krisis]. Di dalam ketidakpastian inilah wacana motivasi masuk. Ia menjadi obat penenang, membuat orang merasa yakin bisa mengatasi dunia hanya dengan bersandar pada dirinya sendiri. Dengan motivasi, orang diajak untuk tidak mempertanyakan struktur, tidak mempertanyakan ketimpangan sosial, tidak mempertanyakan segala di luar dirinya. Kalaupun semua itu ada dan mempengaruhi hidup, orang hanya harus terus-menerus mempertanyakan dirinya sendiri! Bahagia itu pilihan: kalau Anda tidak bahagia, itu salah Anda sendiri karena Anda tidak memilih bahagia. Hidup itu pilihan: kalau Anda miskin, berarti Anda kurang iman pada diri Anda sendiri, kurang keras bermimpi menjadi orang kaya.

Tere Liye Dan Yang Lainnya

Tere Liye tidak sendirian. Ada ribuan orang di belakangnya, para pecinta status-statusnya, yang mungkin juga tuna sejarah. Tere Liye juga bukan anomali. Dia adalah bagian dari mesin besar industri motivasi dan motivasi islami. Tere Liye-Tere Liye akan terus hadir di sekitar kita, memandang kita dengan tatapan heran campur sinis saat kita sedang marah dan jengkel pada keadaan timpang [termasuk representasi sejarah], pada kekuasaan yang menurut kita tidak adil. Motivasi dan berpikir positif, pada akhirnya, akan menjadi pembantu setia konservatisme, suporter fanatik status quo. Kita hanya boleh menyalahkan diri sendiri. Titik.[]

Catatan:

[1] http://www.rappler.com/indonesia/124545-baca-sejarah-bangsa-tere-liye
[2] http://historia.id/modern/tere-liye-dan-asal-usul-pengingkaran-sejarah-gerakan-kiri-di-indonesia
[3] http://literasi.co/neoliberalisme-dan-otonomi-sastra/
[4] Dengarkan wawancara Andrea Hirata oleh Hernowo Hasim di Youtube.com, khususnya laman berikut: http://www.youtube.com/watch?v=gK0NSWRNtcs (diakses 2014 dan 2015)
[5] Lih. Ken Gelder, Popular Fiction: The Logics and Practices of a Literary Field.
[6] Penyair masuk dalam kategori sastrawan. Belum ada kategori puisi populer, seperti novel populer ala Jakob Sumardjo, di masa Orde Baru.
[7] Status FB, 1 November 2014. https://www.facebook.com/nurhady.sirimorok?fref=ts. Nurhady Sirimorok adalah penulis buku Laskar Pemimpi: Andrea Hirata, Pembacanya, dan Modernisasi Indonesia.
[8] Persoalan hubungan pengarang/sastrawan dengan pembaca ini sebenarnya sudah jadi pembicaraan menarik di tahun 1980an. Lihat, misalnya tulisan NH Dini dan WS Rendra yang maktub dalam Dua Puluh Sastrawan Bicara [1984].
[9] Lih. Downes, Meghan (2013). “On the Absense of Fragnant Film: Changing Images of the Author in Indonesia”. Al-Jami’ah, Vol. 51, No. 2, 2013 M/1435 H. Paparan saya mengenai pembaca ini mengacu pada analisis Meghan Downes mengenai penonton film populer. Namun, saya merasa kecenderungan yang sama juga terjadi pada pembaca sastra [populer].
[10] Neoliberalisme, pertama-tama, mengutip David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism, merupakan sebuah “teori atas praktik-praktik ekonomi politik”. Ekonomi politik sendiri merupakan cabang ilmu sosial yang mempelajari hubungan antara individu-individu dan masyarakat maupun antara negara dan pasar. Dalam mempelajari hubungan-hubungan itu, ekonomi politik memakai alat dan metode yang umumnya diambil dari ilmu ekonomi, ilmu politik, dan sosiologi. Berasal dari bahasa Yunani oikonomos (orang yang mengelola rumah tangga atau perkebunan) dan polis (kota atau negara), secara sederhana ekonomi politik bisa dimaknai sebagai kajian mengenai bagaimana sebuah negara sebagai rumah tangga publik dikelola atau diperintah, sebuah kajian yang mempertimbangkan baik faktor-faktor ekonomi maupun politik. Lih. http://www.britannica.com/EBchecked/topic/467600/political-economy.
[11] Lih. David Harvey, A Brief History of Neoliberalism [2007: 23]

Wahmuji - 10 Maret 2016 - Tarbijah Islamijah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...