Makin banyak orang suka minum kopi. Konsumsi kopi terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan di Jerman, negeri bir, kabarnya kopi telah menyalip minuman beralkohol itu sebagai minuman favorit.
Namun, tahukah kopi yang kita seduh sebenarnya hanya sebagian kecil dari setiap biji yang dipetik dari pohonnya? Setiap tahun sekitar 7 juta ton kopi diproduksi di seluruh dunia dan jutaan ton kulit bijinya dibuang begitu saja sebagai limbah.
Di Amerika Latin dan Afrika, beberapa perusahaan perkebunan kopi kini memperoleh pendapatan tambahan dengan mengolah limbah itu. Limbah kulit biji kopi ternyata merupakan medium bagus untuk mengembangbiakkan beragam jamur yang bisa dimakan. Limbah lainnya jadi pakan ternak.
Dengan sedikit pengetahuan dan teknologi, plus manajemen kewirausahaan, kita bisa memanfaatkan barang yang semula tak bernilai. Penciptaan nilai ekonomi tersebut tidak membutuhkan biaya dan energi besar, karena itu masuk kategori ekonomi bersih atau istilah kerennya clean economy.
Ekonomi limbah kopi hanya satu saja wujud dari konsep ekonomi biru. Konsep ekonomi yang digagas ekonom Belgia Gunter Pauli ini pada dasarnya mengambil prinsip sederhana dari bekerjanya alam, planet kita yang biru. Kita tahu, alam tidak meninggalkan limbah. Yang tersisa dan terbuang dari sebuah proses dimanfaatkan oleh proses lain.
Sudah banyak kajian menunjukkan bahwa penciptaan ekonomi sekarang, yang bertumpu pada pemanfaatan energi minyak dan batu bara, atau yang disebut ekonomi cokelat, tidak akan bertahan. Jenis ekonomi ini bersifat merusak alam, dan pada akhirnya juga manusia.
Namun, ekonomi hijau yang belakangan diajukan sebagai pengganti juga tidak memenuhi harapan. Model green economy, seperti pemanfaatan panel surya sebagai sumber energi atau budi daya sayur dan buah organik, terbukti mahal.
Produk ekonomi ramah lingkungan membutuhkan investasi tinggi. Ekonomi hijau terlalu mewah bagi masyarakat miskin. Bahkan di negeri kaya, energi surya, misalnya, masih harus disubsidi terus-menerus. Dan itu menggerus sumber anggaran pemerintah.
Kunci model ekonomi ini adalah menciptakan lapangan kerja, membangun modal sosial, dan menghasilkan uang dengan mengembangkan model-model bisnis yang baru. Badan-badan usaha harus menggunakan semua sumber daya dan meningkatkan efisiensi dalam prosesnya, untuk mengembangkan portofolio bisnis yang menguntungkan bagi perusahaan itu sendiri dan bagi masyarakat.
Berbeda dari konsep cokelat ataupun hijau, ekonomi biru bertumpu pada “apa yang sudah ada”; bukan pada investasi, melainkan pada inovasi.
Konsep ini mengingatkan pada prinsip pengembangan ekonomi desa yang bertumpu pada modal yang sudah ada, atau yang dikenal dengan asset-based community development.
Desa-desa kita pada dasarnya kaya sejak dulu kala: hutan, laut, lahan luas, keragaman hayati, dan sumber air bersih, untuk menyebut beberapa contoh. Namun, penyeragaman ekonomi modern menjadikan masyarakat desa mengabaikan dan melupakan modal hidup mereka. Masyarakat desa makin bergantung pada perkotaan, bahkan untuk sumber pangan sehari-hari melalui pasar-pasar swalayan yang kian menjamur.
Pembangunan ekonomi desa yang bertumpu hanya pada suntikan uang dari luar, seperti gagasan memberi tiap desa dana Rp 1 miliar atau model Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri yang sumbernya dari utang pada Bank Dunia, bisa memperburuk keadaan. Di samping bersifat “dari atas” sehingga mempersempit ruang partisipasi dan inisiatif, model pemberdayaan seperti itu cenderung memicu konflik ketimbang mendorong kerja sama di kalangan masyarakat desa.
Pemberdayaan ekonomi pedesaan pertama-tama bukan soal uang. Desa pada umumnya sudah memiliki modal dasar yang kaya, namun orang tidak menyadari karena kurangnya pengetahuan. Modal itu juga terpecah-pecah kepemilikannya, akibat kecenderungan individualisme, sehingga tidak efisien dan terlalu kecil untuk menggerakkan roda ekonomi.
Selain memerlukan masukan sains-teknologi sederhana dan keterampilan manajerial, masyarakat pedesaan juga membutuhkan dorongan untuk menemukan kembali semangat kebersamaan. Badan usaha seperti koperasi merupakan model yang cocok.
Model ekonomi biru tak hanya membangkitkan kesejahteraan ekonomi dan mengurangi tingkat urbanisasi ke perkotaan. Ekonomi biru juga memupuk jiwa sosial, atau modal sosial, yang dibutuhkan di tingkat nasional. ***
Sumber: Geotimes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar