Sabtu, 27 Juni 2015

Delusi Kick Andy

Sebuah ulasan mengenai tayangan Kick Andy di MetroTV.

Apa formula tayangan infotainment yang berlaku secara umum di televisi Indonesia? Sederhana: tampilkan hal-hal biasa yang terjadi pada orang-orang yang dianggap luar biasa. Dalam hal ini para pesohor, bintang film, model, atau siapapun yang beruntung terkenal selama lima belas menit. Apapun yang terjadi pada manusia-manusia ini diandaikan sudah memiliki nilai berita, entah Julia Perez yang mengatakan bahwa mendapat penghargaan rasanya lebih enak daripada berhubungan seks, entah Dian Sastro yang ganti behel, atau soal sibuknya persiapan mudik Baim Wong menjelang lebaran. Tak jadi soal bila informasi semacam itu tidak penting bagi publik, karena ketersohoran dengan sendirinya akan mendatangkan berita yang harus dibicarakan khalayak. Ukuran ”informasi yang layak untuk publik” di Indonesia memang terlanjur absurd. Seakan-akan Dian Sastro ganti behel akan mempengaruhi harga beras di pasar; seakan-akan jambak-jambakan Julia Perez dan Dewi Persik adalah sinyal untuk menaikan upah minimum regional.

Tayangan Kick Andy (Metro TV) adalah pembalikan dari rumusan tersebut: tayangkan hal-hal luar biasa yang terjadi pada orang-orang biasa secara mengharukan. Anak-anak usia Sekolah Dasar dengan segudang prestasi yang tak lazim, para orangtua yang merawat anak-anak mereka yang terkena penyakit langka, dan anak-anak muda yang kaya dari usaha sendiri di usia belasan atau 20-an awal, adalah sajian utama Kick Andy. Sebetulnya, beberapa kali Kick Andy mengundang narasumber-narasumber kondang. Iwan Fals atau Tiara Lestari, misalnya. Namun, nampaknya ini bukanlah perhatian utama Kick Andy. Sebaliknya, sosok-sosok tak dikenal publik yang berpotensi menguras air mata, yang tak lazim muncul dalam siaran berita televisi (apalagi infotainment) inilah yang menempati urutan terbanyak dalam daftar episode Kick Andy.

Mengambil perbandingan dengan tayangan berformat serupa, Kick Andy adalah Oprah Winfrey Show-nya Indonesia (atau jika kembali ke layar kaca 2000-an awal, kita ingat ada tayangan Tali Kasih di RCTI). Resepnya sama: seorang pembawa acara yang simpatik, Andy F. Noya, berbincang-bincang dengan narasumber orang biasa tentang topik-topik yang dianggap inspiratif dan mampu menerbitkan rasa haru. Sejak awal posisi inilah yang diambil oleh Kick Andy. Penonton diajak untuk menyaksikan persoalan sehari-hari orang biasa. Kisah-kisah mereka ditampilkan sebagai sesuatu yang otentik, karena dituturkan secara langsung oleh orangnya sendiri, tanpa mediasi pakar dan ahli—sebagaimana dalam segmen tertentu dalam siaran-siaran berita—dan seolah tanpa manipulasi lewat penyuntingan—walaupun kita tahu bahwa Kick Andy tidak disiarkan secara langsung.

Episode “Para Pengusaha Belia” (23 Maret 2013) adalah salah satu contohnya. Episode ini menampilkan tiga orang wirausahawan sukses dalam usianya yang masih sangat muda dan memulai bisnisnya dari nol. Putri, seorang gadis yang baru berusia 25 tahun, mengisahkan kesuksesannya mengelola bisnis kopi. Memulai karirnya dari bawah—dari pekerjaan-pekerjaan serabutan, aku Putri—akhirnya ia memiliki beberapa ratus hektar kebun kopi dan jejaring importir di sejumlah negara. Narasumber lain, Nicholas, seorang pemuda berusia 20-an, mampu membiayai kuliahnya dari sebuah bisnis yang kelihatannya tidak mentereng: berjualan ikan hias. Kesuksesan Nicholas salah satunya bersumber dari strategi yang barangkali sebelumnya tak pernah dilirik oleh penjual ikan hias mana pun. Ia bergerilya lewat situs jual-beli online bernama Kaskus. Seperti halnya Putri, Nicholas dikisahkan lahir dari keluarga tak mampu dan memiliki bakat dagang sejak kecil. Putri berjualan gorengan dan pulsa telepon ke teman-teman sekolahnya, sementara Nicholas berdagang mainan.

Tentu ada tema-tema perjuangan dalam narasi mereka. Putri sempat melarat, sampai-sampai ia hanya mengantungi dua keping Rp500, yang lalu ia sumbangkan satu kepingnya untuk pengemis. Nicholas sempat ditipu oleh calon pembeli hingga kehilangan Rp 10 juta rupiah. Padahal, modal yang ia miliki cuma sekitar Rp11 juta. Tapi tentunya juga ada keajaiban dan keteguhan yang mirip-mirip iman. Tiba-tiba saja Putri menyaksikan selembar sepuluh ribuan melayang dari jembatan yang ia lewati. Hidupnya tertolong untuk hari itu. Usaha Nicholas sempat bangkrut di tahun 2010. Namun setahun kemudian ia bangkit, dan bisnisnya kembali berjalan dengan omset yang lebih besar.

Apa yang dibicarakan dalam “Para Pengusaha Belia” sebenarnya merupakan sekadar variasi dari tema-tema from rags to riches. Inti ajaran moralnya sangat generik: kendati terlahir miskin, Anda tetap berkesempatan untuk kaya asalkan rajin bekerja. Anda malas, Anda miskin; Anda bekerja keras dan jujur, Anda kaya. Pesan-pesan seperti ini punya efek motivasional yang besar jika dikontraskan dengan, katakanlah, penggambaran tipikal generasi tua yang senantiasa dicitrakan korup, kolot, puas diri, dan lebih gawat lagi, menguasai jejaring ekonomi dan politik—sehingga nyaris tak ada kesempatan bagi anak-anak muda untuk sukses di jalur mainstream yang telah dikuasai generasi tua.

Sebagai narasi motivasional, Kick Andy tidak pernah membahas struktur ekonomi yang dominan itu. Alih-alih, pesan yang mau disampaikan adalah bahwa kesuksesan (atau sebaliknya, kemiskinan, kemalangan) adalah urusan niat dan usaha semata. Mungkin juga soal siapa yang paling kuat sembahyang dan berderma, karena keajaiban seperti selembar sepuluh ribuan bisa datang tanpa dinyana. Kaya atau miskin, dalam semesta Kick Andy, adalah problem moral.

Episode lainnya, “Aku Ingin Terus Hidup” (1 September 2013), menampilkan beberapa keluarga dengan anak-anak mereka yang didera penyakit langka. Saking langkanya penyakit-penyakit ini, kita hanya bisa menyebutnya dalam istilah medis bahasa Latin (Epidermolysis Bullosa, Congenital Rubella Syndrome, dan seterusnya). Langka tidaknya sebuah penyakit ternyata berpengaruh pada seberapa jauh ia dikenal khalayak setempat: semakin banyak penderitanya, semakin mendesak kebutuhan untuk menerjemahkannya dalam bahasa lokal. Semakin langka dan tak ada obatnya, akan semakin Latin ia, sebagaimana yang diperlihatkan dalam “Aku Ingin Terus Hidup”.

Habiba, seorang bayi asal Jambi berusia tiga tahun, menderita Epidermolysis Bullosa, sebuah penyakit yang konon sudah muncul dari dalam kandungan. Penyakit ini menyebabkan kulit Habiba gampang lecet dan berdarah ketika disentuh. Jari-jari tangannya harus diberi sela agar tak bergesekan dan lengket seperti yang telah terjadi pada jari-jari kakinya. Untuk berobat, Habiba dan keluarga harus bolak-balik Jambi-Jakarta, Dan untuk menutupi ongkos perjalanan itu, rumah pun terpaksa dijual. Ibu Habiba, Leni, adalah seorang mantan atlet dengan prestasi gemilang. Di sebuah kejuaraan dunia di Hong Kong, ia pernah memenangkan satu medali emas dan dua perak. Selain bekerja serabutan, kini Leni bekerja sebagai asisten pelatih olahraga dayung, sementara sang suami bekerja di luar kota.

Dua pasangan orangtua lainnya berasal dari kelas sosial yang berbeda dari orangtua Habiba. Namun rupanya ongkos pengobatan di Indonesia sangat tinggi, sehingga dalam kasus penderita kanker, misalnya, keluarga yang setia mendampingi pasien niscaya akan frustrasi lantaran kondisi finansial yang mendadak morat-marit. Salah satunya contohnya adalah keluarga Michelle, seorang gadis belia penderita leukimia atau kanker darah. Sebelum Michelle lahir, Johan dan Tami, orangtua Michelle, telah kehilangan anak kedua mereka karena penyakit yang sama. Michelle dikisahkan harus menjalani proses kemoterapi sebanyak 19 kali yang merontokkan rambutnya. Yang lebih menyayat lagi, dalam proses pengobatan sang anak, Tami divonis terkena kanker payudara. Namun keluarga Michelle tak menyerah, kendati nyaris jatuh miskin akibat tarif pengobatan argo kuda. Pengobatan Michelle dibantu oleh Yayasan Bunda Kasih, sebuah lembaga yang didirikan oleh Anne Avanti, seorang perancang busana yang juga memfasilitasi minat modelling Michelle. Lembaga ini awalnya membantu anak-anak penderita hydrocephallus. Baru belakangan setelah bertemu Michelle, Yayasan Bunda Kasih menghimpun bantuan untuk penderita leukimia.

Kisah keluarga Habiba dalam “Aku Ingin Terus Hidup” tak berhenti sampai di situ. Mungkin di luar episode ini, ibu-bapaknya akan tetap kerja serabutan agar bisa bolak-balik Jambi-Jakarta. Namun, yang ditonjolkan Kick Andy adalah Yayasan Bunda Kasih yang memberikan pernyataan bahwa mereka akan membantu biaya pengobatan Habiba. Apakah setelah episode tersebut Yayasan Bunda Kasih memperluas perhatiannya ke para penderita Epidermolysis Bullosa di luar layar kaca, atau ke cabang-cabang penyakit langka lainnya, tak jadi soal. Pesan moral yang mau ditawarkan ke penonton sesungguhnya tak jauh dari iklan-iklan Body Shop atau Starbucks. Misalnya, “Saat Anda menggunakan sabun mandi A, Anda membantu proses rehabilitasi ribuan korban pemerkosaan,” atau “Dengan membeli kopi B Anda telah berpartisipasi mengentaskan kemiskinan di Afrika.” Dalam Kick Andy: “Berdermalah sebanyak-banyaknya dan sesering mungkin, karena Anda tidak akan tahu sampai kapan anak-anak ini akan terus bertahan hidup, sampai kapan orangtua mampu membiayai pengobatan mereka secara mandiri, dan sampai kapan pula orangtua mereka dijamin tidak kena penyakit yang sama parahnya lantaran faktor genetis maupun kelelahan mengurusi sang anak.” Bahasa bernada urgensi adalah kata kuncinya.

Saya tak paham bagaimana bahasa-bahasa penuh desakan darurat seperti itu bisa bekerja lalu ditakar dengan nalar. Yang saya tahu, perempuan di India tidak diperkosa karena sebagian orang di Indonesia malas mandi sehingga tidak pernah jadi pelanggan sabun Body Shop yang harganya tidak wajar itu. Pun, asal-usul kemelaratan di Bolivia tidak bersumber dari keengganan orang di Fiji atau Lesotho untuk membayar secangkir kopi seharga lima puluh ribuan plus pajak. Kalaupun berhubungan, Body Shop dan Starbucks tidak pernah berusaha menjelaskannya. Demikian pula Kick Andy. Maka, seruan untuk membantu sesama dalam tayangan ini pada dasarnya adalah seruan reaktif, yang tertuju pada efek yang kelihatan menyedihkan, mengharukan, atau menggugah pada perorangan yang bernasib paling malang.

Lagi-lagi suara ala para pemuda sukses berdengung: anak-anak yang menderita sakit beserta keluarganya ditampilkan sebagai suara otentik, yang berlawanan dengan pendapat analis, komentator, kritikus yang seringkali ditanggapi pemirsa televisi Indonesia secara dingin, dicap “cuma bisa bicara tanpa aksi”, bisa dibeli sesuai cuaca politik, dan sederet cap lainnya yang lazim dilekatkan kepada siapa saja yang disebut intelektual.

Menonton Kick Andy, kita seperti diajak melupakan perbicangan politik, debat-debat ekonomi yang sesak statistik, polemik kebudayaan yang melangit. Karena, kini kita sedang menghadapi sesuatu yang nyata, gawat, di depan mata, dan buruknya lagi, tak pernah disodorkan ke publik, kecuali lewat Kick Andy. Tak perlu analisis mendakik-dakik ketika menyaksikan seorang gadis usia 20-an bisa bisa membeli ratusan hektar kebun, sementara ribuan gadis seusianya yang lain sama-sama giat bekerja dan rajin menabung, namun berakhir dengan bekas sundutan rokok majikan di wajah; tak perlu menyelidiki apakah kemampuan ekonomi berhubungan erat dengan layak-tidaknya konsumsi dan perawatan seorang ibu ketika hamil; dan orang pun tak butuh tahu tentang bagaimana kedokteran kini tak lain adalah medical-industrial complex di mana para dokter kaya berdemo menuntut pembebasan rekan mereka yang dihukum lantaran malpraktek. Yang Anda lihat adalah apa yang Anda dapatkan: ada orang sakit, ada penyelamat; ada saatnya sukses di usia muda, ada saatnya buang-buang duit untuk si sakit dan si tak-beruntung. Betapapun miskin kondisi orangtua, motonya adalah ulet pangkal kaya; apapun penyakitnya, filantropi solusinya.

Seeing is believing, bung!

Sumber: Remotivi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...