Colliq Pujie menciptakan aksara Bilang, digunakan sebagai komunikasi rahasia dalam perjuangan melawan Belanda.
USIA Colliq Pujie sekitar 40 tahun ketika pertama kali bertemu B.F. Matthes, penginjil dari Belanda, di Tanete, pada 1852. Dia juga sudah menjanda, bermukim di Pancana dan mendapat gelar Arung Pancana Toa (Aroe Pantjana). Anaknya Siti Aisyah We Tenriolle menjadi raja Tanete dan tidak bercocok paham.
Colliq Pujie seorang yang keras dan tak mengenal kompromi pada apa yang merugikan rakyat. Temasuk menentang takhta We Tenriolle yang dianggapnya sebagai bayangan dari Belanda. Dia bersama beberapa pengikutnya melakukan perlawanan dengan sistem gerilya dan perang terbuka.
Colliq Pujie, tumbuh dan besar di lingkungan istana Tanete. Dia membaca beragam karya dalam perpustakaan kerajaan, menghapal Alquran dan melagukan sureq I La Galigo pada beberapa kesempatan ritual. Setahun setelah pertemuannya dengan Matthes, dia bertemu Ida Pfeifer dari Austria, seorang perempuan yang melakukan perjalanan mengililingi dunia. “Saya kira nama Colliq Pujie sebagai seorang sastrawan Bugis sudah menjadi referensi bagi para pelancong dari negeri luar,” kata Nurhayati Rahman, Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin.
Bagi Colliq Pujie berbagi ilmu dan pengetahuan sangatlah penting. Untuk itu, kata Nurhayati, datangnya orang asing yang mengunjungi Tanete dengan membawa misi pengetahuan akan disambut dengan baik. Maka tak heran, kerajaan Tanete membangun perpustakaan, koleksi buku dan karya dari tanah Bugis dijaga dengan begitu baik.
“Dalam beberapa naskah lontaraq, dinyatakan sebanyak dua kali kerajaan Tanete kebakaran. Ironisnya koleksi buku dan beberapa catatannya ikut hangus. Dan itu membuat Colliq Pujie sangat sedih,” kata Nurhayati.
Ketika kisruh di kerajaan Tanete, Colliq Pujie diasingkan ke Makassar pada Maret 1857 hingga 1867, karena tidak mendukung kebijakan pemerintah Belanda. Dia menjadi tahanan politik dan kebebasannya dirampas.
Pada 7 Mei 1861, Matthes menuliskan suratnya yang penuh haru pada Bibelgenoshaap, pada apa yang disaksikannya ketika mengunjungi Colliqq Pujie di rumah pengasingannya di Makassar. “Jika membaca syair kepahlawanan Bugis yang lama, sastra La Galigo yang sering dibicarakan dan yang menjadi keahlian ratu tersebut (namanya Aroe Pantjana), saya menemui bahwa dalam segala sesuatu dibuat dari emas atau dihiasi dengan emas yang banyak. Tetapi harus dikatakan zaman sudah sangat berubah. Ya, saya mau bertaruh bahwa kalau Anda dengan pukulan dengan tongkat sihir ditempatkan di istana teman Bugis saya ini, Anda tidak akan berpendapat itu sebuah istana tetapi sebuah kandang babi; ya, juga hampir Anda tidak berani makan sesuatu dari masakannya yang enak. Untung akhirnya bisa menyesuaikan diri dengan segala sesuatu, tetapi tidak menyenangkan hidup di antara pribumi senantiasa.”
Meski demikian dalam masa pengasingan itu, Belanda memberikannya tunjangan sebesar 20 gulden dan dua pikul beras setiap bulan. Belas kasih itu, rupanya tak pernah cukup karena sebagai seorang bangsawan dalam pengasingan Colliq Pujie didampingi beberapa kerabat dan pelayannya.
Akhirnya, beberapa kali Colliq Pujie harus menjual perhiasan dan menerima tawaran Matthes dalam mengerjakan beberapa salinan naskah, dengan bayaran tertentu. Salah satu mahakarya terpeting yang diselesaikannya dalam pengasingan adalah salinan 12 jilid naskah I La Galigo, yang tebalnya mencapai 2851 halaman folio dengan panjang mencapai 300.000 baris. Naskah inilah yang kemudian diperkirakan baru merangkum sepertiga dari semua naskah utuh.
Pada masa lalu, naskah I La Galigo merupakan tradisi lisan yang dituturkan dengan sureq (bernyanyi). Sekuel naskah ini tersebar di banyak tempat di Sulawesi Selatan. Dimiliki oleh kalangan bangsawan, keluarga kerajaan dan pemuka adat. Bagi para pemilik naskah, dalam aksara lontaraq Bugis, menjadi bagian penting dan menjadi semacam identitas legitimasi status sosial dalam masyarakat Bugis dan Makassar.
Maka, Matthes hanya mampu meminjam dari beberapa orang yang ditemuinya dan menjadi tugas Colliq Pujie menyadurnya kembali. Pada tahap penyalinan inilah, kata Nurhayati, Colliq Pujie bertindak sebagai editor dan menyusunnya menjadi bagian per bagian. “Dia jugalah yang memberi pengantar atas naskah I La Galigo dan menjadi petunjuk pencarian sekuel yang tercecer,” katanya.
Naskah I La Galigo, memiliki satuan lima suku kata pada setiap penggal frase. Penggalan itu tidak tersusun kebawah seperti lazimnya puisi, melainkan ditulis sambung menyambung tanpa alinea baru. Satu-satunya tanda baca pengenal adalah titik tiga (pallawa) yang tersusun ke bawah, digunakan sebagai titik, koma, atau pula garis baru. Namun, ketika ditembangkan tanda baca pallawa digunakan sebagai tanda pengaturan intonasi suara penyanyi.
Tak hanya menyalin naskah I La Galigo, Colliq Pujie dalam masa pengasingan tetap berhubungan dengan para pengikutnya di Tanete, Lamuru, dan Pancana. Untuk itu, dia kemudian menciptakan aksara rahasia yang dikenal sebagai aksara Bilang untuk melakukan korespendensi. Jika ketahuan dipastikan hanya orang-orang tertentu yang dapat membaca dan memahaminya. Aksara Bilang adalah modifikasi dari aksara Bugis dan aksara Arab. Aksara itu terdiri dari 18 huruf.
Aksara ini juga yang dijadikan Colliq Pujie dalam menuliskan puluhan hingga seratusan syair. Dalam Lontaraq Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan, Ahmad Saransi mengumpulkan beberapa syair itu dan mentransliterasikannya dalam bahasa Indonesia. “Penemuan aksara Bilang ini membuktikan kadar kecerdasaan dan ketajaman berpikirnya,” tulisnya.
Dalam pengantarnya, Saransi menulis, bila syair-syair ditulis oleh Colliq Pujie memiliki beragam asosiasi. Misalnya, dalam beberapa syair, Colliq Pujie menggunakan analogi benda, nama buah, pohon atau bahkan nama kampung dalam menyampaikan maksudnya.
Pada tahap bersamaan, Colliq Pujie juga megerjakan naskah Sejarah Tanete. Dalam naskah itu, dia menulis sejarah kerajaan dari mulai raja Tanete pertama hingga ke-20. Setiap tokoh dideskripsikan dengan detail, dari masa kecil hingga meninggal.
Selain itu, Colliq Pujie pun menulis kembali naskah La Toa. Naskah ini dalam kalangan Bugis merupakan aturan dalam mengelola pemerintahan dan bagaimana seharusnya pemimpin bersikap. Pada kesempatan lain, dia juga menulis kelong (nyanyian). Kelong yang dihasilkannya kini tersebar di berbagai perpustakan dan museum-museum dunia.
Karya monumental lainnya adalah Sureq Baweng. Menurut Ahmad Saransi, bagi beberapa orang yang pernah membaca Sureq Baweng, selalu menyimpulkan sebagai sebuah karya yang sangat indah. “Karya ini berisi petuah-petuah dengan nilai estetika dan pendalaman makna yang sangat tinggi,” tulis Saransi.
Kepekaan dan kecerdasan Colliq Pujie inilah yang mendorong beberapa peneliti kebudayaan Bugis dan Makassar mengajukannya sebagai pahlawan nasional pada 2004. Para penganjur termasuk Nurhayati Rahman mengatakan, Colliq Pujie yang berjuang menentang Belanda, kemudian melakukan penyelamatan naskah dan membuat karangan sendiri adalah seorang sastrawan dan sejarawan yang telah melampui zamannya.
“Tapi, rupanya hingga sekarang masih dikategorikan tak layak. Bahkan saya menemukan alasan yang tidak masuk akal, kegagalan Colliq Pujie menjadi Pahlawan Nasional karena dia bekerjasama dengan Belanda,” katanya. “Kan apa bedanya dengan Kartini yang mengirim surat ke orang Belanda dan itu dibukukan?”
==================================================
Eko Rusdianto | Historia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar