Jumat, 23 Oktober 2015

Surat untuk Julia

Julia,

Hujan telah lama lewat, tapi dingin yang dibawanya masih terus membekap. Hawa di tengah tahun ini memang mengigit. Dan hujan di ujung malam tadi telah menambah dingin pagi ini. Pagi ini juga terasa “dingin”, karena di gedung ini tinggal kamarku yang masih bersuara. Bunyi kipas menguar memecah gumpalan udara kamar yang kusewa. Aku menghidupkan radio untuk mengusir sepi, sekaligus untuk menemaniku menyusun huruf demi huruf surat ini.

Kamis, 22 Oktober 2015

/7/ Poesiku

/7/ “Aku tidak pernah mencintaimu!” hardik perempuan itu kepada lelakinya, ketika mereka bertengkar hebat malam itu. “Jangan pernah mengatakan itu!” bentak lelakinya. Mereka bersitatap dengan mata nanar.

Rabu, 21 Oktober 2015

/6/ Poesiku

/6/ Akal sehat selalu membuat luka kecil menjadi bernanah. Maka, pada hari pertama ketika mereka berpisah dulu, si lelaki masih sempat menulis puisi. Puisi terpendek yang pernah ditulisnya, dan sekaligus yang mungkin paling disesalinya: “Setan sekali Kau, Tuhan!” Barangkali benar, cinta itu seperti arak, semakin lama rasanya semakin lezat, semakin memabukan, dan tentu saja semakin mahal harganya. Tentu, arak yang baik hanya lahir dari bahan yang baik dan racikan yang tepat. Lama dan baru hanyalah kondisi, dan bukan syarat. Tapi bukan itu yang merisaukannya. Hal yang paling merisaukannya adalah ia sungguh tak tahu, apakah ia sedang menyimpan nanah, ataukah arak? Ketika ia sudah tak lagi sanggup menulis, yang bisa dilakukannya hanyalah membaca puisi-puisinya yang telah silam.

Selasa, 20 Oktober 2015

/5/ Poesiku

/5/ Mereka berdua menyukai rempah-rempah dan merencanakan kelak memiliki rumah yang akan dikelilingi kebun rempah, selain sayur dan buah. Setiap senja mereka akan mendiskusikan mimpi-mimpi itu. Mereka menyukai film Paul Mayeda yang sangat hidup bercerita mengenai rempah dan kehidupan, serta buku Turner yang dengan apik mampu meyakinkan pembacanya bahwa alasan pelayaran bangsa-bangsa Utara ke Selatan pada zaman dulu bukanlah untuk merebut makam suci dari kaum kafir, atau untuk menyebar ayat-ayat Tuhan, melainkan karena makanan mereka yang sangat memprihatinkan. Mereka setiap hari makan dengan daging asin dalam kondisi yang seringkali hampir basi dan membusuk. Bangsa Sparta, misalnya, hanya bisa menyedapkan makanan mereka dengan kerja keras dan rasa lapar. Tak ada yang mampu menolong mereka dari penderitaan itu kecuali sedikit lada, jahe atau kayu manis. Hanya rempah-rempah itu yang bisa menyamarkan bau daging dan asinnya garam. Dan untuk itulah mereka rela menyabung nyawa membelah lautan. Betapa puitisnya sejarah yang demikian. Tak heran, Edward Said menyebut bahwa rempah adalah imajinasi orientalisme yang paling kental. Ketika membicarakan rempah, lelaki dan perempuan itu akan saling tatap dengan mata berbinar. Dalam semua dongeng dan kitab kuno, rempah adalah simbol gairah dan eksotisme. “Bau tubuhmu seperti gaharu,” kata si lelaki kepada perempuannya. Dengan tatapan manja, perempuannya tersipu. “Hanya seperti gaharu?” tanya perempuannya, menggoda. “Tadinya aku mau bilang seperti kemenyan sih,” jawab si lelaki. Keduanya terbahak. “Kamu itu seperti pekak, alias kembang lawang,” kali ini si perempuan memberikan penilaiannya. “Kenapa pekak?” tanya si lelaki. “Karena cuma di masakan yang ribet ada pekaknya. Dan masakan yang ribet itu adalah masakan yang enak. Berkelas,” jelasnya, dengan mimik yang serius. Kali ini giliran si lelaki yang tersipu. “Sementara, aku adalah cabe Meksiko,” lanjut si perempuan, “yang peddeeessnya minta ampun.” Keduanya kembali tertawa. “Aku pikir kamu memang seperti cabe,” kata si lelaki tenang. Dengan tatapan mendalam ia menyapu wajah perempuannya. “Kamu bisa membakar mulut dan membuat sakit perut,” imbuhnya. “Tapi itu hanya terjadi di tangan koki yang salah. Aku menyukai sambal dan makanan pedas, jadi tak akan gampang sakit perut,” katanya, sembari meraih jemari perempuannya. Tubuh mereka merapat, meruapkan aroma mur, gaharu, nilam dan cendana. ‪#‎poesiku‬ (Nun Poem)

Senin, 19 Oktober 2015

/4/ Poesiku

/4/ Mereka mengikat janji di bawah sinar bulan, melalui sebuah obrolan sampai pagi yang menguras perasaan. Di rona-rona pipi perempuan itu, si lelaki melihat pohon cintanya tumbuh merindang. Mereka saling membacakan sajak Chairil secara bergantian, disaksikan laron dan serangga malam yang berjatuhan di lampu minyak di meja pekarangan. “Kupilih kau dari yang banyak… // Aku pernah ingin benar padamu,” bujuk si lelaki. Si perempuan tersipu. Ia lalu membalas, “aku sekarang orangnya bisa tahan // sudah berapa waktu bukan kanak lagi // tapi dulu memang ada satu bahan // yang bukan dasar perhitungan kini.” Ia lalu bercerita mengenai pengalaman buruknya ditinggal lelaki. Ia mengaku bahkan sempat ingin bunuh diri karenanya. Si lelaki menggapai tangannya. Ia lalu membacakan kembali Chairil: “Kalau kau mau kuterima kau kembali // Dengan sepenuh hati // Aku masih tetap sendiri // Kutahu kau bukan yang dulu lagi // Bak kembang sari sudah terbagi // Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani.” Mereka bersitatap, lalu saling tersenyum. Ada satu masa ketika si lelaki itu juga pernah memendam frustrasi sebenarnya. Ia telah mengenal perempuan itu sejak kecil, tapi tak pernah bisa memahaminya. Setiap hari ia mengiriminya puisi, tapi tak pernah berbalas. Sampai suatu saat ketika frustrasinya membuncah, ia mengirim sebuah puisi pendek kepada perempuan itu: “Yang kutakut bukan tak kau buka pintumu // Yang kutakut aku kan bosan mengetuk.” Lalu berjumpalah mereka malam itu. Sebuah malam yang menguras perasaan. ‪#‎poesiku‬ (Nun Poem)

Minggu, 18 Oktober 2015

/3/ Poesiku

/3/ "Untuk mengawali hariku, aku ingin menciummu, setiap hari selama aku hidup," kata perempuan itu. Dan itu adalah janji termanis yang pernah didengarnya, belasan tahun silam. Tetapi, sebuah pertengkaran kecil telah memisahkan mereka. Tak ada lagi tegur sapa dan isyarat yang mengantarkan kasih. Keduanya membiarkan akal sehat merebut ruang-ruang cinta di rumah mereka. Padahal, ketika saling menautkan hati, keduanya sama-sama berikrar, tak akan ada akal sehat di rumah itu. Yang ada hanya cinta. Gunakan akal sehat hanya ketika meninggalkan rumah. Dan akal sehat telah membuat luka kecil menjadi kanker. Itu adalah sebuah perpisahan yang mematikan, tak cuma menyakitkan. Tak ada lagi ciuman mesra tiap pagi yang mendarat di bibir, pipi, dagu, atau keningnya. Sejak itu, ia tak lagi bisa menulis puisi. Setiap hari, sebangun tidur, sembari menatap sketsa Monalisa di dinding kamarnya, ia akan berucap lirih, "Hal pertama yang ingin kulakukan sebangun tidur adalah mencintaimu..." Hanya dinding kamar yang kusam yang menyimak ucapannya. ‪#‎poesiku‬ (Nun Poem)

Sabtu, 17 Oktober 2015

Ekonomi Biru, Ekonomi Baru

Makin banyak orang suka minum kopi. Konsumsi kopi terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan di Jerman, negeri bir, kabarnya kopi telah menyalip minuman beralkohol itu sebagai minuman favorit.

Surat Terbuka Korban Pemerkosaan pada Menkopolhukam Luhut Panjaitan

Kasus dugaan pemerkosaan yang menimpa RW, seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan melibatkan sastrawan Sitok Srengenge terus bergulir.

/2/ Poesiku

/2/ Kamar itu kusam. Sebuah sketsa Monalisa menggantung di dindingnya. Sejak berhenti menulis puisi, ia mengalihkan energinya untuk membuat sketsa. Setiap hari ia membuat puluhan sketsa. Dengan obyek yang sama: Monalisa. Ketika seorang kawannya berkunjung, bertahun kemudian, ia mendapati bahwa di balik semua sketsa yang dibuat sang penyair, ia selalu menuliskan sebait kalimat yang menurut sang kawan adalah sebuah puisi. “Katanya kau berhenti menulis puisi, tapi semua sketsamu ini masih kau tulisi puisi juga?” tanya kawannya. “Itu bukan puisi,” sanggah sang penyair. “Tapi aku merasa ini adalah sebuah puisi. Mungkin dalam bentuk yang lain,” kawannya mencoba menilai. “Itu sekadar persembahan,” sang penyair kembali menyanggah. Di balik setiap sketsa itu, ia memang menulis: “Untuk seseorang, yang diamnya adalah lukisan, dan tuturnya adalah puisi…” ‪#‎poesiku‬ (Nun Poem)

Jumat, 16 Oktober 2015

/1/ Poesiku

/1/ “Jika aku mati, di pusaraku sebaiknya ditulis: ‘Di sini beristirahat seorang lelaki yang setia kepada cintanya’.” Kalimat itu tertulis dalam buku lusuh milik seorang penyair. Tepatnya, bekas seorang penyair. Ia berhenti menulis puisi semenjak ditinggal kekasihnya. Tak ada lagi yang ingin diabadikannya, setelah itu. Ia tak ingin mengabadikan kemurungan dan kerisauan. Pendek kata, semenjak hari yang buruk itu, ia sepenuhnya berhenti menulis puisi. #‎poesiku‬ (Nun Poem)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...