Kamis, 22 Oktober 2015

/7/ Poesiku

/7/ “Aku tidak pernah mencintaimu!” hardik perempuan itu kepada lelakinya, ketika mereka bertengkar hebat malam itu. “Jangan pernah mengatakan itu!” bentak lelakinya. Mereka bersitatap dengan mata nanar.

“Bahkan, jikapun itu adalah kebenaran, jangan pernah mengatakan itu!” tambah si lelaki. Tapi kali ini dengan lirih.

“Kenapa? Kamu tak sanggup mendengarnya?” si perempuan menantang.

“Tidak, aku tidak ingin menantangmu,” jawab si lelaki. “Entah kamu menganggapku apa saat ini, tapi jangan pernah mengatakan itu.” Dia mengatakannya dengan lembut, tapi dengan luka yang mendalam. “Bukan karena aku tak ingin mendengarnya, meskipun itu salah satu kenyataannya. Tapi bukan itu.”

Perempuan itu masih menatapnya nyalang.

“Kamu tidak akan pernah tahu kapan cinta bisa menghampirimu. Jadi, jangan pernah mengatakan hal semacam itu. Termasuk kepada orang yang kamu benci sekalipun. Itu hanya akan membuatmu malu.” Lelaki itu membetulkan lengan bajunya yang robek. “Setiap orang harus berusaha untuk menjaga rasa malunya.” Ia terlihat berusaha menenangkan diri.

“Aku sudah memikirkannya. Aku memang tidak pernah mencintaimu!” Lidah perempuan itu masih menyala.

Hening.

“Ya, aku juga berpikir begitu,” balas lelakinya kemudian. “Kadang, aku pikir, kamu mungkin baru akan jatuh cinta kepadaku setelah tua nanti. Bahkan mungkin setelah itu, selepas aku mati. Sepertinya akan begitu.”

“Kenapa kamu pikir begitu?” nada angkuh itu masih belum reda.

“Karena, ketika kamu tua nanti, orang-orang akan pergi, tak lagi mencintaimu. Kamu hanyalah seorang perempuan tua, waktu itu. Dan, pada saat bersamaan, kamu juga mungkin masih miskin pengertian seperti saat ini. Tak ada orang yang ingin mencintai perempuan tua yang miskin pengertian.” Ia mengatakannya dengan tertunduk. “Sementara, aku tidak akan pernah pergi. Dan aku mungkin memang tidak bisa pergi. Itulah masalahku.” Lelaki itu melempar pandangannya ke luar jendela. “Aku tak bisa pergi karena aku mencintaimu. Bahkan, ketika aku ingin membencimu sekalipun, aku tak pernah bisa berhenti mencintaimu.” Kali ini lelaki itu mengucapkannya dengan serak.

“Kenapa kamu masih saja naif seperti itu?” si perempuan mulai memelankan suaranya.

“Aku tidak pernah mencari-cari alasan untuk mencintai seseorang,” ujar si lelaki. “Dan aku juga tidak akan pernah mempermalukan orang yang telah menyakitiku,” imbuhnya. “Jika kamu ingin pergi, kamu boleh pergi. Aku tidak akan memohon agar kamu tidak pergi.”

Mata perempuan itu membasah. Keduanya kini sama terluka. Di luar jendela, bunyi jangkrik dan serangga malam terdengar semakin nyaring. Sementara, bulan bersembunyi malu-malu di balik pohon randu. ‪#‎poesiku‬

Sumber: Nun Poem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...