Rabu, 21 Oktober 2015

/6/ Poesiku

/6/ Akal sehat selalu membuat luka kecil menjadi bernanah. Maka, pada hari pertama ketika mereka berpisah dulu, si lelaki masih sempat menulis puisi. Puisi terpendek yang pernah ditulisnya, dan sekaligus yang mungkin paling disesalinya: “Setan sekali Kau, Tuhan!” Barangkali benar, cinta itu seperti arak, semakin lama rasanya semakin lezat, semakin memabukan, dan tentu saja semakin mahal harganya. Tentu, arak yang baik hanya lahir dari bahan yang baik dan racikan yang tepat. Lama dan baru hanyalah kondisi, dan bukan syarat. Tapi bukan itu yang merisaukannya. Hal yang paling merisaukannya adalah ia sungguh tak tahu, apakah ia sedang menyimpan nanah, ataukah arak? Ketika ia sudah tak lagi sanggup menulis, yang bisa dilakukannya hanyalah membaca puisi-puisinya yang telah silam.

aku membacamu, sebagai puisi yang tak berkesudahan
seperti laut yang dibayangkan takdir
seperti pantai yang ditulis goenawan

meski waktu bukan kubus
dan ufuk bukan entah
aku membacamu, sebagai puisi yang tak berkesudahan
‪#‎poesiku‬

Sumber: Nun Poem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...