Senin, 19 Oktober 2015

/4/ Poesiku

/4/ Mereka mengikat janji di bawah sinar bulan, melalui sebuah obrolan sampai pagi yang menguras perasaan. Di rona-rona pipi perempuan itu, si lelaki melihat pohon cintanya tumbuh merindang. Mereka saling membacakan sajak Chairil secara bergantian, disaksikan laron dan serangga malam yang berjatuhan di lampu minyak di meja pekarangan. “Kupilih kau dari yang banyak… // Aku pernah ingin benar padamu,” bujuk si lelaki. Si perempuan tersipu. Ia lalu membalas, “aku sekarang orangnya bisa tahan // sudah berapa waktu bukan kanak lagi // tapi dulu memang ada satu bahan // yang bukan dasar perhitungan kini.” Ia lalu bercerita mengenai pengalaman buruknya ditinggal lelaki. Ia mengaku bahkan sempat ingin bunuh diri karenanya. Si lelaki menggapai tangannya. Ia lalu membacakan kembali Chairil: “Kalau kau mau kuterima kau kembali // Dengan sepenuh hati // Aku masih tetap sendiri // Kutahu kau bukan yang dulu lagi // Bak kembang sari sudah terbagi // Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani.” Mereka bersitatap, lalu saling tersenyum. Ada satu masa ketika si lelaki itu juga pernah memendam frustrasi sebenarnya. Ia telah mengenal perempuan itu sejak kecil, tapi tak pernah bisa memahaminya. Setiap hari ia mengiriminya puisi, tapi tak pernah berbalas. Sampai suatu saat ketika frustrasinya membuncah, ia mengirim sebuah puisi pendek kepada perempuan itu: “Yang kutakut bukan tak kau buka pintumu // Yang kutakut aku kan bosan mengetuk.” Lalu berjumpalah mereka malam itu. Sebuah malam yang menguras perasaan. ‪#‎poesiku‬ (Nun Poem)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...