Jumat, 23 Oktober 2015

Surat untuk Julia

Julia,

Hujan telah lama lewat, tapi dingin yang dibawanya masih terus membekap. Hawa di tengah tahun ini memang mengigit. Dan hujan di ujung malam tadi telah menambah dingin pagi ini. Pagi ini juga terasa “dingin”, karena di gedung ini tinggal kamarku yang masih bersuara. Bunyi kipas menguar memecah gumpalan udara kamar yang kusewa. Aku menghidupkan radio untuk mengusir sepi, sekaligus untuk menemaniku menyusun huruf demi huruf surat ini.

Barangkali kamu sudah tenggelam di lautan mimpi, Julia, lelap bersama segenap kelelahan sisa hari tadi. Hidup memang melelahkan, selain juga menyenangkan. Karena itu nikmati saja. Toh setiap kelelahan adalah bukti bahwa kita telah menjalani hidup ini dengan sungguh-sungguh.

Ini adalah surat pertamaku untukmu. Ah, ternyata perlu banyak keberanian sekadar untuk mengirimimu surat.

Setiap kali menulis surat aku selalu membutuhkan waktu yang panjang, Julia. Orang lain mungkin akan mengira aku suka mengukir dan membedaki kalimat. Tapi tentu saja tidak begitu.

Menurutku, menulis surat kadang sebenarnya lebih banyak mirip sebuah monolog, percakapan sunyi dengan diri sendiri. Jembatan maksud dengan orang yang dikirimi surat tersambung jika si penulis surat tuntas bercakap dengan dirinya sendiri. Si penerima tinggal menangkap, menafsir, dan mengurai percakapan monologis si pengirim.

Rumit memang. Dan pada kenyataannya, menurutku, memang hanya sedikit orang yang bisa menulis surat, dan juga sedikit orang yang bisa menikmati membacanya.

Proses percakapan dengan diri itu, ketika seseorang menulis surat, selalu membutuhkan kebisuan. Itulah sebabnya kenapa aku memerlukan waktu yang lapang untuk menatah dan menyalin huruf demi huruf percakapan sunyi itu ke dalam halaman-halaman ini. Di keheningan pagi, percakapan itu menjadi kian bening, tak direcoki suara-suara gaduh dari luar.

Dengan begitu, menurutku surat sebenarnya lebih rumit dari sebuah karya sastra. Jika para pembaca sastra memiliki kemerdekaan untuk menafsir sebuah karya, yang menyebabkan pengarang tak lagi memiliki otoritas tafsir atas karyanya, maka pembaca surat selain memiliki kebebasan untuk menafsir juga harus bisa menangkap maksud obyektif si penulis surat. Sebab, surat biasanya ditujukan untuk publik yang sangat kecil, bahkan personal, sehingga ruang tafsir obyektifnya juga terbatas. Tafsir mengenai maksud penulis barangkali tak lagi penting dalam kajian sastra, tapi masih menjadi pokok utama dalam ruang baca secarik surat.

Ah, aku sepertinya mulai melantur kemana-mana. Merumitkan hal yang tak perlu. Aku berharap kamu bisa bersabar dengan kerumitanku, Julia. Maksudku, aku sebenarnya tidak rumit. Hanya saja, sifat pemaluku sering membuat banyak hal yang mestinya sederhana jadi jatuh rumit. Kamu tentu masih ingat bagaimana aku hampir saja membakar gedung pertunjukkan tempo hari, karena kecerobohanku. Dan kecerobohan itu muncul karena ada kamu di situ. Kehadiranmu membuatku grogi, sehingga aku jadi banyak melakukan hal konyol karenanya. Bukan, bukan berarti aku menyalahkanmu untuk soal itu. Tidak begitu maksudnya. Maafkan aku.

Julia, tempo hari aku pernah menulis sebuah puisi. Aku tidak mengirimkannya kepadamu, tapi aku tahu kamu menyimaknya. Barangkali, ada baiknya surat ini dimulai dengan puisi itu.

Ah, ya, ya, ya. Tentu saja aku sudah menulis beberapa halaman surat ini, tapi aku baru saja menyebut soal “memulai”. Itulah. Bahkan, dalam menulis suratpun aku tak bisa bebas dari grogi, Julia. Seorang kawanku bahkan mencarikan sebuah istilah untuk menjelaskan hal itu: “Efek Julia”.

Dan beginilah puisiku waktu itu:

ketika aku belajar cengeng
aku menjadi angkuh
ketika aku belajar angkuh
aku menjadi cengeng
dalam setiap cengengku ada keangkuhan
dalam setiap angkuhku ada kecengengan
apakah kini aku harus belajar cengeng
karena tiba-tiba aku menyukaimu
atau aku harus belajar angkuh
karena tiba-tiba aku takut kehilangan

ada kalanya, mungkin aku harus menjadi tolol
agar tak terlalu banyak bertanya
dan bisa tenang menatap senyum manismu
setiap hari



Julia,

Sepertinya baru kemarin para fisikawan masih mempercayai determinisme Laplace: jika kita tahu posisi dan kecepatan semua partikel pada satu waktu tertentu, juga hukum dan gaya-gaya yang bekerja pada partikel-partikel itu, maka kita akan tahu posisi dan kecepatan partikel-partikel itu di sembarang waktu di masa depan.

Tapi kini mekanika klasik itu sudah digantikan oleh mekanika kuantum. Bahkan Wolfram, juga Fredkin, sudah mendekonstruksi ulang fundamen fisika menjadi fenomena komputasi digital, tak lagi berbasiskan partikel. Dengan sendirinya, determinisme Laplace mulai disangsikan.

Kamu pasti bertanya, apa hubungan surat ini dan puisi tadi dengan pergunjingan soal fisika barusan? Ah, Julia, tolong jangan buang surat ini ke tempat sampah, hingga kamu menyelesaikannya ya. Kamu hanya perlu sedikit bersabar jika penyakit rumitku mulai kambuh.

Isi puisi tadi, Julia, sebenarnya mirip konsep dualisme gelombang-partikel dalam fisika kuantum. Ya, aku tahu kamu tidak mendapatkan kelas Fisika di Jurusan Seni. Makanya, sebisa mungkin, aku akan memberikan keterangan mengenai metafor yang kugunakan ini. Dan ya, aku memang perlu menggunakan metafor, Julia, karena aku demikian pemalu, sehingga ungkapan yang lebih verbal sering kuanggap sebagai tidak cukup sopan untuk disampaikan. Itulah masalahku selama ini. Mungkin, itu bawaan dari kultur moyangku.

Jadi, Julia, jika dalam fisika klasik gelombang dan partikel dianggap sebagai dua fenomena yang berbeda, atau dua materi yang berbeda, maka dalam fisika kuantum kita diberi tahu bahwa konsep-konsep tadi, yaitu gelombang dan partikel, dalam dunia mikroskopik sesungguhnya tidaklah terpisah satu sama lain. Sebab benda-benda yang sebelumnya kita bayangkan sebagai partikel, di dalam jagad mikroskopik kadangkala bergerak seperti halnya gelombang. Dan masalahnya, baik gelombang maupun partikel sebagai sebuah konsep mandiri, sama-sama tak bisa menjadi representasi dari materi mikroskopik tadi.

Sampai di sini, determinisme Laplace kemudian digantikan oleh azas ketidakpastian Heisenberg. Kita hanya bisa mengetahui kecepatan sebuah partikel, tapi tidak posisinya. Atau, kita bisa mengetahui posisi sebuah partikel, tapi tidak kecepatannya. Inilah dunia yang tak teramalkan, yang sekaligus menampar ambisi para fisikawan untuk menemukan basis fundamental pergerakan benda-benda, menemukan rumus bagaimana Tuhan mengatur alam semesta secara keseluruhan.

Kembali ke puisi tadi, Julia, seringkali aku menjadi orang terhukum atas sikap cengeng dan angkuh sebagaimana yang diceritakan puisi itu. Tapi aku selalu mengajukan pembelaan kepada diriku sendiri, bahwa cengeng dan angkuh tadi tidaklah seperti kelihatannya. Cengeng dan angkuh tadi mirip dengan konsep dualisme gelombang-partikel dalam fisika kuantum, dan karenanya tak bisa dipahami dengan memisahkannya satu sama lain, ataupun dengan membaurkan keduanya sekaligus. Jadi, sikap-sikap tadi tak bisa dinilai sepotong-sepotong sebagai cengeng saja, atau angkuh saja. Dan, pembauran keduanya juga tak akan memberikan penjelasan apapun. Seperti puisinya Amir Hamzah, keduanya, dan turunan-turunan dari keduanya, senantiasa “bertukar tangkap dengan lepas” secara tak berkesudahan.

Lantas, ke arah mana dualisme cengeng-angkuh tadi akan berlabuh? Mengikuti fisika kuantum, kita hanya bisa mengukur salah satu dari dua hal berikut: koordinat (posisi), atau kecepatan (arah). Dalam kehidupan nyata, hal demikian tentu saja tidak menyenangkan. Kita selalu ingin memastikan masa depan begitu kita tahu posisi kita. Tapi, fisika kuantum dengan gamblang telah memustahilkannya. Kita hanya bisa memastikan salah satunya saja. Sungguh, itu memang tidak menyenangkan.

Azas ketidakpastian Heisenberg sepertinya telah membuat masa depan jadi tidak pasti, karena dalam kehidupan nyata yang bisa kita ketahui memang hanyalah posisi kita hari ini saja. Esok pagi selalu menjadi entah.

Tapi, bukankah hidup tak bisa berdiam diri begitu saja, sekadar membunuh waktu dan menanti ketidakpastian?! Betapa tidak menyenangkannya hidup yang sekadar mengamankan kepastian hari ini bukan?! Itu sebabnya kita harus memilih, secara terus menerus. Pada akhirnya kita hanya bisa mengurangi ketidakpastian dengan melakukan tindakan praktis.

Ah, biarkan aku melantur kemana-mana dulu, Julia. Biarkan… Nanti kamu akan paham maksudnya.

Tindakan praktis yang disebut tadi itu tentunya tak boleh ajeg. Ia harus terus menerus dikoreksi, dirawat, diralat, dipertemukan dengan antitesisnya, agar keluaran dan imbasannya benar-benar mendekati kondisi ideal.

Sampai di sini aku jadi teringat bualan Homer Graham kepada Maggie Carpenter, Julia. Aku selalu menyukai bualan romantis itu.

Aku jamin, suatu hari salah satu dari kita pasti akan pergi
Aku jamin, suatu hari salah satu dari kita pasti akan menyakiti
Aku jamin, suatu hari salah satu dari kita tak lagi menyenangkan
Tapi aku jamin, aku akan sangat menyesal kalau saat ini tak menyampaikan bahwa aku sungguh-sungguh mencintaimu



Barangkali, itulah tindakan praktis untuk mengurangi ketidakpastian, menyederhanakan probabilitas, dan bersiasat terhadap kemaha-entah-an dalam hidup.

Itu adalah ekspresi rasa paling natural. Keinginan dan kepasrahan dihadirkan secara bersamaan, jujur dan bersahaja. Tak ada tendensi untuk bisa meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan, meski mimpi-mimpi tentang hari esok tak pernah diberangus. Mimpi-mimpi itu malah selalu mendapat tempat terhormat. Posisi manusia sebagai subyek yang berkehendak tak dibelenggu oleh azas ketidakpastian. Sebaliknya, tak ada tendensi bahwa semua kehendak tadi akan mewujud. Menurutku, itu imajinasi yang masuk akal sekaligus indah.

Barangkali, menyambung percakapan kita dalam seminar tentang mimpi tempo hari, kenapa kenyataan dianggap oleh banyak orang kalah eksotis dibanding mimpi—yang telah membuat orang-orang tak mau melepas mimpi-mimpinya untuk ditukar dengan kenyataan, adalah karena begitu mimpinya menjadi kenyataan, maka dia menyudahi sama sekali proses bermimpi. Saat itulah kehidupan, dan bukannya kenyataan, menjadi tidak menarik lagi.

Artinya, setiap orang pada dasarnya harus menyiapkan diri untuk bisa menggapai mimpinya, dan sembari mimpi-mimpi itu merangkak mendekati atau menjauhi kenyataan, dia harus bisa me-reka mimpi lain, untuk tetap tak kehilangan keindahan hidup pasca-tercapainya kenyataan, atau—jika yang terjadi sebaliknya—agar tak terluka karena kegagalan merengkuh apa yang diinginkan.

Jadi, Julia, ringkasnya begini. Menurutmu, apakah aku bisa mengajakmu makan malam akhir pekan ini? Hanya kita berdua saja, tanpa rekan-rekan yang lain. Di kedai dekat alun-alun itu. Aku ingin bicara mengenai posisiku. Selebihnya, entahlah, aku juga tak tahu. Aku menuliskan dan melakukan semua ini dengan risiko segera kehilanganmu, seperti bunyi puisiku.

Ah, entahlah… Stop berpikir! Yang jelas, kita ketemu saja nanti.


Sosrokartono

Sumber: Nun Poem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...