Selasa, 20 Oktober 2015

/5/ Poesiku

/5/ Mereka berdua menyukai rempah-rempah dan merencanakan kelak memiliki rumah yang akan dikelilingi kebun rempah, selain sayur dan buah. Setiap senja mereka akan mendiskusikan mimpi-mimpi itu. Mereka menyukai film Paul Mayeda yang sangat hidup bercerita mengenai rempah dan kehidupan, serta buku Turner yang dengan apik mampu meyakinkan pembacanya bahwa alasan pelayaran bangsa-bangsa Utara ke Selatan pada zaman dulu bukanlah untuk merebut makam suci dari kaum kafir, atau untuk menyebar ayat-ayat Tuhan, melainkan karena makanan mereka yang sangat memprihatinkan. Mereka setiap hari makan dengan daging asin dalam kondisi yang seringkali hampir basi dan membusuk. Bangsa Sparta, misalnya, hanya bisa menyedapkan makanan mereka dengan kerja keras dan rasa lapar. Tak ada yang mampu menolong mereka dari penderitaan itu kecuali sedikit lada, jahe atau kayu manis. Hanya rempah-rempah itu yang bisa menyamarkan bau daging dan asinnya garam. Dan untuk itulah mereka rela menyabung nyawa membelah lautan. Betapa puitisnya sejarah yang demikian. Tak heran, Edward Said menyebut bahwa rempah adalah imajinasi orientalisme yang paling kental. Ketika membicarakan rempah, lelaki dan perempuan itu akan saling tatap dengan mata berbinar. Dalam semua dongeng dan kitab kuno, rempah adalah simbol gairah dan eksotisme. “Bau tubuhmu seperti gaharu,” kata si lelaki kepada perempuannya. Dengan tatapan manja, perempuannya tersipu. “Hanya seperti gaharu?” tanya perempuannya, menggoda. “Tadinya aku mau bilang seperti kemenyan sih,” jawab si lelaki. Keduanya terbahak. “Kamu itu seperti pekak, alias kembang lawang,” kali ini si perempuan memberikan penilaiannya. “Kenapa pekak?” tanya si lelaki. “Karena cuma di masakan yang ribet ada pekaknya. Dan masakan yang ribet itu adalah masakan yang enak. Berkelas,” jelasnya, dengan mimik yang serius. Kali ini giliran si lelaki yang tersipu. “Sementara, aku adalah cabe Meksiko,” lanjut si perempuan, “yang peddeeessnya minta ampun.” Keduanya kembali tertawa. “Aku pikir kamu memang seperti cabe,” kata si lelaki tenang. Dengan tatapan mendalam ia menyapu wajah perempuannya. “Kamu bisa membakar mulut dan membuat sakit perut,” imbuhnya. “Tapi itu hanya terjadi di tangan koki yang salah. Aku menyukai sambal dan makanan pedas, jadi tak akan gampang sakit perut,” katanya, sembari meraih jemari perempuannya. Tubuh mereka merapat, meruapkan aroma mur, gaharu, nilam dan cendana. ‪#‎poesiku‬ (Nun Poem)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...