Kasus dugaan pemerkosaan yang menimpa RW, seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan melibatkan sastrawan Sitok Srengenge terus bergulir.
Kali ini, RW angkat bicara pada media untuk pertama kalinya lewat sebuah rekaman dan surat terbuka. Berikut cuplikannya:
Kepada yang terhormat, Bapak Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia.
Salam sejahtera dan doa saya semoga selalu dalam keadaan sehat selalu. Bapak, maksud saya menulis surat ini karena saya sangat khawatir dan prihatin terkait kasus yang melibatkan saya sebagai korban kejahatan seksual.
Akibat perbuatan pelaku yang tidak bertanggung jawab saya hamil dan dan melahirkan seorang anak perempuan pada 31 Januari 2014.
Bapak, Saya hanya minta keadilan dan penyelesaian secara hukum yang tidak memakan waktu yang lama. Apakah tidak cukup untuk menzalimi saya dan anak saya, terlebih anak saya, yang belum mengerti apa-apa tentang dunia?
Saya tidak meminta apa-apa yang sifatnya materi dan saya juga tidak pandai merekayasa sesuatu agar saya mendapat perhatian. Tidak terbersit apapun dari pikiran saya tentang hal itu semua.
Yang pasti yang saya alami adalah ketidakadilan ada di pihak saya dan masa depan anak saya juga terancam gelap terutama dari sisi psikisnya, sama dengan ketika saya pada awalnya, semua menjadi gelap dan sampai sekarang pun kegelapan itu masih terasa, masih untung saya mendapatkan kawan-kawan yang baik, yang siap selalu memompa semangat saya.
Untuk bekerja saja, awalnya berat, ada perasaan malu, tidak layak, serta takut. Di lingkungan masyarakat saja, saya merasa ketidakadilan berpihak pada saya sebagai korban.
Sekarang ditambah dengan proses hukum yang sangat lama dan cenderung berbelit belit, tidak kunjung usai, sungguh saya tidak mengerti?
Yang ada, saya dipanggil beberapa kali untuk ditanya dan menandatangani berkas. Akhirnya saya mengetahui dari pengacara saya, bahwa berkas kasus yang saya alami, bolak-balik dikembalikan dari kepolisian ke Kejaksaan dan sebaliknya.
Banyak kawan membicarakan tentang pelaku atas kasus yang menimpa saya ini, mereka terlihat geram namun mereka segera tersenyum ketika saya mulai menanyakan ada apa?
Mereka tidak mau saya sakit lagi tapi yang saya tahu mereka tetap berusaha membantu mencarikan keadilan buat saya dan anak saya.
Saya tutup telinga, tapi mata batin saya terbuka lebar, tidak bisa terpejam, saya merasakan ada cahaya gelap ketidakadilan masih diterangi dengan upaya upaya kotor, agar kasus yang menimpa saya ini geraknya menjadi lambat.
Saya mengerti banyak kawan yang berempati dan terus berupaya agar kasus ini terus diungkap di ranah hukum, makanya dari tindakan kalian lah, saya bertahan dan kuat, apalagi bila malam saya terjaga.
Saya melihat anak saya terbaring, tidur, saya tidak kuat untuk menahan air mata kepedihan saya.
Saya tahan. Supaya air mata saya tidak jatuh. Anak saya lucu, pastinya mengerti pergiulatan batin ibunya walaupun usianya tidak sebanding dengan apa yg dia alami di hari ini dan akan terjadi pada dia di kemudian hari.
Demikian surat curahan hati ini saya buat, dengan harapan bapak Luhut Binsar Panjaitan dapat memberikan dukungan kepada saya, dan mendorong terciptanya penegakan hukum yang benar, bukan tercampakan.
Saya selalu berharap bapak Luhut Binsar Panjaitan sebagai bapak kami bersama, ada di belakang perjuangan kami dalam menegakkan keadilan dan kebenaran atas peristiwa yang sebetulnya tidak patut terjadi dan pantas dilakukan oleh seorang yang punya atribut sebagai seniman, tentu idealnya perilaku seorang seniman harus terintegrasi pada sikap perilaku yang beradab dan berbudaya.
Atas kesediaan bapak Luhut Binsar Panjaitan membaca surat ini, saya ucapkan terima kasih.
Jakarta, 15 Oktober 2015. —Dengan laporan dari Febriana Firdaus/Rappler.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar