Senin, 08 Februari 2016

Jakarta dan Revolusi Pemuda

Saat Bang Pi’i mengorganisir preman di seputaran Pasar Senen untuk melawan Belanda, tentu ia berharap negaranya maju setelah bebas dari belenggu penjajahan. Sebagai anak Jakarta, secara khusus, ia tentu menginginkan juga Jakarta bisa tumbuh menjadi kota yang mengayomi rakyat jelata setelah Belanda dan Jepang diusir. Dibesarkan dalam kerasnya dunia preman di Pasar Senen, Bang Pi’i tentu paham sulitnya mencari sebutir nasi. Tapi sayang, Jakarta sekarang jauh dari harapan Bang Pi’i. Jakarta tumbuh menjadi kota yang ramah bagi pengusaha dan pemodal, tapi kejam bagi rakyat jelata.

Lingkungan saya dibesarkan hampir sama dengan lingkungan Bang Pi’i. Saya tumbuh di daerah Cipinang Muara, Jakarta Timur. Tempat saya tinggal tak jauh dari Stasiun Kereta Api Jatinegara. Lingkungan yang keras telah menempa semenjak saya masih kecil. Bapak saya meninggal waktu saya masih SD. Ibu saya tak kuat membianyai hidup kami sekeluarga membuat saya hanya sempat sekolah sampai kelas 3 SD.

Seperti Bang Pi’i, selapas bapak meninggal, saya hidup menjadi preman jalanan di seputar Jatinegara. Umur saya masih 10 tahun ketika memulai hidup menjadi preman. Saya memilih jalan itu karena harus terus hidup. Ibu saya hanya buruh cuci yang penghasilnya tak pernah cukup untuk menyumpal mulut 3 orang anaknya. Saat itu kakak saya sopir angkot dan harus kehilangan pekerjaanya akibat dipenjara setelah memukul polisi yang memalaknya.

Sebagai preman saya pernah melakoni pekerjaan sebagai pemulung, preman pasar dan tukang parkir tikungan. Aksi-aksi kriminal juga pernah saya lokoni. Bergaul dengan obat terlarang seperti pil BK juga sudah saya alami. Semua itu telah mewarnai hidup saya di masa masih belia.

Terus terang saya bukan anak yang cerdas. Walaupun sekolah sampai kelas 3 SD, saat itu saya tak bisa baca tulis. Pengaruh minuman keras dan obat-obatan membuat otak saya terasa tumpul. Tapi saat itu saya selalu mempunyai cita-cita yang besar. Bagi teman-teman kecil saya, kata-kata saya dianggap bualan. Maka mereka memanggil saya Togop (orang kecil yang mempunyai mimpi besar).

Sekitar tahun 1999, saya menjadi tukang parkir di daerah Jalan Basuki Rahmat, Jakarta Timur. Saat itu saya sering teler di emperan toko di daerah itu. Hidup saya dari teler ke teler, di samping menjadi tukang parkir, tentunya. Sampai akhirnya seorang bernama Acong menghampiri saya. Ia mengajak main gitar dan minum di garasi tempat tinggalnya, setiap malam. Saat itu, tempat tinggal Acong selalu ramai. Setelah beberapa hari, saya baru sadar kalau tempat itu adalah kantor. Ya, kantor KPP PRD (Partai Rakyat Demokratik).

Saya tak paham apa itu PRD. Acong beberapa kali mengajak saya membagikan selebaran dan poster di siang hari. Saya ikut saja karena saya tahu setelah kerja itu, maka malam harinya akan diajak minum-minum gratis oleh Acong. Begitulah yang terjadi selama beberapa bulan.

Lambat laun saya mulai mengenal para penghuni yang tinggal bersama Acong. Saya mulai berkenalan dengan Faizol Reza, Andi Arief, Ida Nasim, Wilson dan orang-orang PRD lainnya. Saya mulai mengikuti acara-acara diskusi yang dilakukan di kantor itu. Selama diskusi memang saat itu saya tak mengerti apa yang menjadi pembicaraan. Kalau sudah puyeng, di tengah-tengah diskusi saya memilih mojok di garasi untuk menghisap gelek. Begitulah hari-hari saya.

Satu yang mengubah hidup saya ketika di kantor PRD adalah keterampilan baca tulis. Sederhana saja awalnya. Saat itu saya terperangah dengan barang yang bernama komputer. Selama hidup saya, baru saat itu melihat dan menggunakannya. Barang itu ajaib bagi saya. Mengenal komputer membuat saya berkenalan dengan game. Saya keranjingan main game. Saat itulah, syarat untuk bisa main gama di komputer kantor PRD, saya harus bisa membaca. Dari situ saya mulai belajar membaca dengan dibimbing orang-orang PRD. Inilah yang kemudian mengubah arah hidup saya. Setelah bisa membaca dan menulis, dunia saya seperti terbuka lebar.

Pentingnya membaca dan menulis membuat saya merindukan kampung-kampung di Jakarta mempunyai taman bacaan. Saya tak ingin anak-anak miskin di Jakarta bernasib sama seperti saya dulu: tak bisa baca tulis. Beberapa waktu lalu, ketika bertemu Bung Ubaidilah yang mendirikan Taman Baca Multatuli di Lebak, saya sempat bertanya bagaimana cara merintis berdirinya taman bacaan. Saya sadar, lewat kemampuan baca tulis inilah akan membuka bentangan cakrawala yang luas. Dan, kehadiran taman-taman bacaan di perkampungan miskin akan membantu itu.

Masa-masa di PRD tahun 199 mengingatkan saya pada revolusi pemuda. Saat itu gerak di PRD cukup dinamis. Aksi, diskusi, seminar, pengorganisiran sampai penyebaran bahan bacaan, mengisi kehidupan di PRD. Dalam situasi berbeda, saya teringat suasana revolusi pemuda yang diceritakan Pramoedya dalam novelnya “Di Tepi Kali Bekasi”. Pemuda-pemuda dari kalangan rakyat kebanyakan dari berbagai wilayah Jakarta pergi ke front pertempuran yang ada di Bekasi sampai Cikampek. Mereka rela meninggalkan semuanya demi kemerdekaan. Situasi seperti itulah yang saat itu saya rasakan di PRD.

Keberpihakan PRD pada orang-orang miskin itulah yang membuat saya mantab bergabung dengan partai berlambang Gir-Bintang itu. Satu pengalaman yang berkesan dalam periode ini yaitu ketika saya ditugaskan berjualan Pembebasan. Terbitan tersebut merupakan koran PRD. Lewat berjualan Pembebasan, saya banyak berkenal dengan banyak orang, berbicara dan berdiskusi. Semua ini telah menambah wawasan politik saya.

Sebagai penjual Pembebasan juga membuat saya berkenalan dengan kelompok-kelompok mahasiswa. Bersama mereka inilah saya mulai melakukan kerja-kerja pengorganisiran. Sekitar tahun 2001, saya bersama dengan mahasiswa Universitas Jayabaya aktif mengorganisir penduduk miskin di Kampung Pedongkelan (perempatan Coca Cola). Di tempat ini kami membangun lapangan bulu tangkis, membuka sanggar belajar dan membuka posko bantuan banjir. Ini kerja pengorganisiran pertama saya.

Sebagai bagian dari warga miskin Jakarta, saya tak pernah jauh-jauh dari orang-orang miskin. Kiprah politik saya sebagian besar bersama mereka. Pada tahun 2002, saya ditugaskan mengorganisir kaum miskin kota, dan dipercaya sebagai ketua Gerakan Pemuda Kerakyatan (GPK) Jakarta. Sayang organisasi ini layu sebelum berkembang.

Selepas menjadi ketua GPK, bersama Dika Moehammad saya membentuk Ormas Pemuda Laskar Pemuda Rakyat Miskin (LPRM). Saya dipercaya sebagai Ketua Umum dan Dika sebagai sekjen. Lewat LPRM ini saya dan kawan-kawan melakukan pembelaan terhadap warga Jembatan Besi yang akan menjadi korban penggusuran. Inilah untuk pertama kalinya kami melakukan kerja pengorganisiran membela orang-orang miskin yang digusur.

Dari Jembatan Besi, kami mengorganisir warga Kampung Baru, Cengkareng Timur. Kampung ini terancam akan digusur. LPRM berhasil mengorganisir pemuda Karang Taruna Kampung Baru. Sampai pada hari penggusuran, kami memimpin bentrokan dengan aparat keamanan. Tiga jam lamanya perlawanan warga baru dapat dipatahkan oleh aparat gabungan Satpol PP, Polri, TNI dan preman bayaran. Kami sempat mendirikan Posko Perjuangan Anti Penggusuran.

Tahun terus bergulir. Memasuki tahun 2004 kami dari LPRM melakukan mogok makan di kantor Menkokesra RI. Aksi kami untuk menuntut rumah susun bagi korban gusuran, dan ganti rugi. Dalam aksi ini kami ditangkap dan ditahan di Polres Jakarta Pusat. Tapi semuanya tak pernah membuat kami jera. Setelah bebas, kami melakukan aksi dengan front Persatuan Rakyat Tergusur (PRT) di kantor Menkokesra. Tuntutan kami: kompensasi untuk korban gusuran, rumah susun dan tempat penampungan sementara. Sebagian tuntutan kami terpenuhi.

Sering bersama-sama warga Jakarta yang di gusur membuat saya sering emosional ketika Gubernur DKI saat ini, Ahok, dengan sewenang-wenang melakukan penggusuran. Rupa-rupanya nasib orang miskin di Jakarta belum banyak berubah. Semua ini membuat saya semakin bertekad untuk membela warga miskin Jakarta. Selama ini saya tetap berdiri bersama warga miskin Jakarta, sejak di GPK, PRM, SMRK, SRMI sampai sekarang di SPRI.

Saya tak akan menyampaikan satu per satu pengalaman saya dalam membela warga miskin Jakarta. Apa yang telah saya sampaikan di atas sekadar untuk memperlihatkan kondisi rakyat miskin Jakarta masih seperti dulu. Bergonta ganti gubernur, mereka hanya disapa 5 tahun sekali saat Pilkada. Setelah itu dilupakan dan bahkan sering kali menjadi objek penggusuran dengan alasan pembangunan. Penggalan sajak Wiji Thukul ini bisa menggambarkan kehidupan orang-orang miskin di Jakarta:

“jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang”

Dalam banyak sektor, warga miskin Jakarta selalu di pinggirkan. Salah satu yang penting selain masalah perumahan dan kesehatan adalah akses pendidikan. Saya merasakan betul bagaimana akibat tak mendapatkan kesempatan pendidikan yang layak. Seperti yang sampaikan di atas, saya sekolah formal hanya sampai kelas 3 SD. Sampai akhirnya saya mengikuti persamaan dari tingkat SD sampai SMA. Akhirnya saya bisa menyelesaikan kuliah di Universitas Bung Karno dan mendapatkan gelar sarjana hukum.

Saya tak ingin anak-anak di Jakarta, khsusunya dari warga miskin, kesulitan mendapatkan pendidikan. Program pemerintah sekarang untuk warga miskin berbelit-belit sehingga masih banyak yang tak bisa sekolah. Kondisi inilah yang perlu diubah. Anak-anak Jakarta sudah saatnya mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas.

Saat ini Jakarta memang butuh revolusi. Memang bukan revolusi bersenjata seperti zaman Bang Pi’i, tapi revolusi kepemimpinan. Untuk memperbaiki Jakarta tak cukup lagi berada di pinggiran, tapi sudah waktunya masuk ke kekuasaan. Pilkada merupakan mekanisme demokrasi yang ada untuk bisa memimpin Jakarta. Oleh sebab itu, saya membulatkan diri untuk maju sebagai calon gubernur dalam Pilkada DKI 2017 lewat jalur independen.

Seperti pemuda-pemuda yang mengusir penjajahan pada tahun 1945, sebagai bagian dari pemuda Jakarta, saya yakin bisa mengusir pemimpin penindas orang miskin lewat Pilkada. Kini saatnya revolusi pemuda untuk Jakarta yang berkeadilan dan menyejahterakan.

Saat pendidikan kader SPRI kemarin, saya teringat kata-kata Multatuli yang dibacakan dengan lantang dan penuh semangat oleh Bung Ubai: “Kita bersuka cita bukan karena padi yang kita potong, kita bersuka cita karena padi yang kita tanam.”

Sekarang saatnya kita menanam tekad untuk memajukan Jakarta yang berpihak pada warga miskin, agar kelak bisa bersuka cita karena bisa memanen hasilnya, seperti para petani yang bergembira karena telah menanam padi.***

Marlo Sitompul, Ketua Umum SPRI. Calon Gubernur DKI dalam Pilkada 2017.

Sumber: Tikus Merah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...