Selasa, 05 Mei 2015

Hartas

“Anda beruntung jatuh ke tangan kami, bukan yang lain.” Kalimat itu terdengar jelas di telinga lelaki itu. Dan itu cukup menenangkannya. Meski tangannya terikat, dan matanya ditutup rapat, kecemasannya kini berkurang.

Tentu saja ia juga sempat mendapatkan intimidasi verbal. “Segera akan kami rapatkan dengan pimpinan. Kemungkinan keputusannya nanti akan ada tiga alternatif. Yang pertama, bisa saja Pak Haryanto dibebaskan. Tapi, dengan syarat. Kedua, ya disimpan dulu untuk setahun atau dua tahun, sambil melihat perkembangan. Nah, yang ketiga, jangan bilang saya kejam kalau ternyata keputusannya harus dilakukan eksekusi. Secara pribadi, demi prestasi dan kepentingan organisasi, saya lebih suka alternatif yang ketiga. Tidak ada bukti, tidak ada saksi, dan urusannya jadi tidak panjang-panjang.” Begitu kata orang yang sama.

Meskipun tetap cemas, ia cukup berbesar hati. Orang-orang yang hanya bisa ia dengar suaranya itu memperlakukannya relatif baik. Ia adalah penderita hipertensi, dan ia mengetahui bahwa karena penyakitnya itulah menu makannya telah dibedakan dari “kawan-kawan”-nya yang lain. Ia bisa mengetahui itu dari sahutan obrolan “kawan-kawan”-nya di ruangan lain. Mereka juga menyediakan seorang dokter untuk memantau kesehatannya. Ketika suatu kali tekanan darahnya malah anjlok, yang membuatnya hampir pingsan, orang-orang itu selain memberinya obat juga menyediakan secangkir kopi, untuk memacu tekanan darahnya.

Kesaksian itu dituliskan Haryanto Taslam dalam bukunya, “40 Hari Digenggam Kekuasaan” (2008). Dalam buku setebal 300 halaman itu dengan terperinci Hartas, demikian ia dipanggil kawan-kawannya, menuliskan pengalamannya selama menjadi orang hilang pada 1998.

Apa yang ditulis Haryanto memiliki banyak irisan dengan apa yang disampaikan Pius Lustrilanang dalam buku yang juga memuat kesaksiannya, “Pius Menolak Bungkam” (1999). Kalimat, “Untung kau kami yang ambil,” juga diterima Pius. Bahkan, salah seorang lelaki bertutup kepala yang mengambilnya mengatakan, “Hari ini Anda yang ada di dalam (tahanan), besok mungkin kami yang ada di situ.”

Jika membaca kembali laporan Tempo terkait peristiwa pada 1998 tadi, kesaksian serupa juga disampaikan nama-nama lain. Artinya, kalimat serupa “untung kau kami yang ambil”, misalnya, tak hanya diterima oleh Hartas dan Pius.

Apakah arti pernyataan(-pernyataan) itu?!

Ketika Hartas dilepaskan, ia juga dibekali sejumlah uang senilai dengan harga mobilnya. Pada hari ketika ia diambil oleh orang-orang itu, ia memang tengah mengendarai mobilnya. Anggap saja mobil itu dijual, demikian pesan orang-orang itu.

Haryanto Taslam, bersama dengan Erros Djarot, adalah sosok penting di belakang Mega, terutama pada masa-masa sulit sesudah peristiwa 27 Juli 1996. Ketika PDI Pro-Mega dikucilkan penguasa Orde Baru, bahkan dianggap ilegal, Haryanto tetap setia menjaga gawang partai. Dalam kata pengantar untuk buku Haryanto, Amien Rais menulis, “Ketika kebanyakan kader sudah kocar-kacir karena tekanan dan ancaman yang datang dari kekuasaan, pejuang demokrasi yang satu ini bagaikan batu karang yang tangguh.”

Bersama dengan Erros dan kader senior Marhaenis lainnya, Haryanto mundur dari PDI-P selepas kongres partai di Semarang.

Selamat jalan, Bung Hartas!

*) Tarli Nugroho, peneliti pada Mubyarto Institute Yogyakarta

Penulis adalah bukan admin. Tulisan ini dicuri dari: Berisik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...