Kamis, 21 Mei 2015

Politik dan Ilmu

Politik menetapkan tujuan, baru kemudian ilmu datang untuk mengabdi. Itulah ajaran Bung Hatta mengenai bagaimana politik perekonomian Indonesia seharusnya digariskan. Para teknokrat ekonomi, sejak generasi Mafia Berkeley, membalik pemikiran ini. Politik perekonomian, oleh mereka, didesain untuk tunduk kepada ilmu ekonomi. Persoalannya, ilmu ekonomi yang mereka rujuk adalah ilmu ekonomi yang lahir dari sejarah Revolusi Industri, yang menyimpan kepentingan ekspansi barang dan kapital negara-negara maju.

Itu sebabnya, setelah menyaksikan bagaimana Mafia Berkeley mendesain pembangunan ekonomi di Indonesia selama dua Pelita, pada 1979, Hatta membidani lahirnya Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila, yang dipimpin oleh Soerowo Abdulmanap. Proyek pemikiran itu, yang bermaksud untuk mengembangkan ilmu ekonomi yang membumi, yang berpijak di atas realitas Indonesia, kemudian disambut dan dikembangkan oleh para ekonom seperti Mubyarto, Hidajat Nataatmadja, M. Dawam Rahardjo, dan Sri-Edi Swasono.

Seperti disampaikan Mubyarto dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada 1979, tujuan kemakmuran bagi rakyat Indonesia tidak bisa dicapai hanya dengan mengubah kebijakan, melainkan harus dilakukan dengan mengubah teorinya. Mubyarto sangat menyadari, bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah kita, terutama ilmu ekonomi yang dia tekuni, tidak selalu kompatibel dengan cita-cita Proklamasi.

Rongrongan terbesar untuk menunaikan cita-cita itu memang kadang justru berasal dari perguruan tinggi, karena banyak sarjana kita tak menyadari adanya bias-bias ideologi negara maju yang tersembunyi di balik ilmu-ilmu yang mereka tekuni. Itu sebabnya dulu Soekarno juga berkali-kali mengingatkan bahwa jalan kemakmuran itu tidak akan kita temukan dari buku-buku teks bikinan Harvard, Cambridge, atau Yale.

Apakah sikap kesarjanaan kita hari ini masih sehaluan dengan Hatta, Soekarno, atau para pendiri Republik lainnya?! Ataukah kita sudah sepenuhnya sehaluan dengan para “profesional” di kabinet yang menyebut bahwa subsidi BBM adalah “maksiat”, atau “sumber kemalasan rakyat”, dengan berbagai data yang mereka kemukakan?!

Tarli Nugroho, Peneliti Mubyarto Institute Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...