Minggu, 31 Mei 2015

Infrastruktur dan "Drainage" Kapital Asing

Dalam pledoinya yang terkenal, “Indonesia Menggugat”, yang disampaikan di muka pengadilan kolonial Hindia-Belanda, Agustus 1930, Soekarno banyak menyinggung soal pembangunan infrastruktur. Berkali-kali ia menggunakan istilah “drainage” untuk menggambarkan bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah kolonial sebenarnya hanya untuk memuluskan bekerjanya kapital internasional, untuk menguras keluar kekayaan kita.

Ia mengibaratkan, dengan meminjam Multatuli, pembangunan infrastruktur laut dan darat di masa itu sebagai pembangunan pembuluh darah untuk menghisap dan mengangkut kekayaan Indonesia. Sebab, di balik semua pembangunan itu hanya ada kepentingan modal partikulir (baca: modal swasta) dan kapital asing, dimana kaum Bumiputera hanya menjadi penonton saja.

“O, memang, zaman imperialisme modern… mendatangkan djalan-djalan jang menggampangkan perhoeboengan antara tempat-tempat di Indonesia, mendatangkan djalan-djalan kereta-api, mendatangkan pelaboehan-pelaboehan dan perhoeboengan-perhoeboengan kapal jang sempurna, … tidakkah itu bagoes sekali bagi rakjat Indonesia?

O, memang, kami mengakoei faedahnja alat-alat pengangkoetan, jakni faedahnja alat-alat laloe lintas modern itu, … djikalaoe oempamanja rakjat Indonesia itoe sekarang kehilangan semoea itu, nistjaja ia merasa roegi, tetapi tak dapat disangkal bahwa alat-alat laloe lintas modern itoe, menggampangkan geraknja modal partikulir. Tak dapat disangkal, bahwa alat-alat laloe lintas itu menggampangkan modal itu djengkelitan di atas padang peroesahaannja, membesarkan diri dan beranak dimana-mana, sehingga rezeki rakjat menjadi kotjar-katjir oleh karenanja.”

Jadi, kalau hari ini kita mewanti-wanti agar pemerintah berhati-hati dalam melakukan pembangunan infrastruktur, apalagi jika itu melibatkan dan bahkan didominasi oleh modal asing, itu bukan karena kita “xenophobic”, atau “rasis”, melainkan karena kita punya pengalaman sejarah yang panjang mengenai hal itu. Celakanya, meskipun kita punya pengalaman sejarah yang panjang mengenai hal itu, banyak dari kita mengidap amnesia sejarah yang akut.

Van Gelderen, dalam buku “Voorlezingen Over Tropisch-Koloniale Staathuishoudkunde” (1927), yang juga dikutip Soekarno, memaparkan panjang lebar bagaimana cara kerja kapital asing dalam menekan supaya tidak terjadi proses pembentukan kapital domestik di kalangan Bumiputera. Para produsen Bumiputera, tulisnya, didesak sedemikian rupa sehingga terputus aksesnya dari pasar dunia. Mereka juga melakukan berbagai rekayasa dagang dan tata niaga, yang pada intinya untuk mencegah munculnya kelas majikan dan saudagar di kalangan Bumiputera.

Soekarno menyebut proses itu sebagai tendensi untuk “meng-kromo-kan” dan “memarhaenkan” secara abadi kaum Bumiputera, agar bangsanya tetap menjadi “een loontrekker onder de naties”, budaknya bangsa-bangsa lain.

Jadi, ketika dalam forum KTT APEC di Beijing kemarin Presiden mendapatkan komitmen investasi ratusan triliun untuk membangun berbagai pelabuhan, bandara dan jalan raya dari para investor asing, sementara pada saat yang bersamaan kita semakin terpuruk pada proses deindustrialisasi, dan modal domestik terus-menerus tergerus, kita memang tidak boleh lengah.

Dari proyek pembangunan infrastruktur yang sudah dikerjakan oleh dua periode pemerintahan SBY kita bisa menilai bahwa pembangunan infrastuktur memang hanya memfasilitasi mobilitas kepentingan kapital saja, dan bukan untuk memenuhi kepentingan rakyat.

Apakah kita sedang mengulang kembali proyek “drainage” yang dulu dilawan Soekarno? Jangan lupa, kolonialisme yang dulu pertama menaklukan negeri kita bukanlah kolonialisme oleh negara, melainkan kolonialisme oleh serikat dagang asing yang berkomplot dalam Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), alias Persekutuan Dagang Hindia Timur.

Tarli Nugroho, Peneliti Mubyarto Institute Yogyakarta

Sumber: Berisik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...