Sabtu, 16 Mei 2015

Kesalahan Ketiga

HANYA ada dua kesalahan dalam jurnalisme. Pertama, mengungkapkan keadaan tidak sesuai fakta. Kedua, melanggar hukum. Pelanggaran etika berada di luar itu, dalam wilayah abu-abu yang bersifat relatif. Etika bergantung pada penghayatan untuk norma yang menjadi konsensus masyarakat. Ia tidak mengenal sanksi, kecuali teguran dan cela. Karena itulah semua hal yang menyangkut kepatutan dalam jurnalisme menjadi topik yang senantiasa diwarnai tarik-ulur dalam berpendapat.

Begitu terbetik berita tentang pesawat AirAsia QZ8501 jurusan Surabaya-Singapura hilang kontak Minggu (28/12/2014) pagi, segera terbuka kemungkinan munculnya persoalan “yang patut versus yang tak pantas” dalam laporan tentang peristiwa itu. Kejadian ini menyangkut nasib 155 manusia—18 di antaranya anak-anak, seorang di antaranya masih bayi—serta tujuh awak pesawat. Nasib manusia, oleh jurnalisme dijadikan sebagai salah satu unsur yang menentukan tinggi rendahnya nilai berita (news value). Peristiwa tersebut juga mengandung unsur drama —pesawat terbang yang tengah mengangkasa lenyap, dan baru diketemukan pada hari ketiga— yang juga menjadi unsur penentu nilai berita. Ia menggetarkan perasaan, mengandung sensasi.

Sensasi adalah bumbu penyedap dalam laporan media massa. Sikap yang mengutamakan “bumbu penyedap” di atas “gizi” sebuah laporan, dalam praktik telah mendorong bertaburannya laporan tentang musibah ataupun bencana yang disajikan bagaikan cerita yang semata-mata hendak melayani emosi manusia. Nasib buruk dipotret kian detail. Dukacita sering dilukiskan dengan kata-kata deskriptif oleh media cetak, disajikan dengan gambar serta dukungan narasi yang menembak perasaan manusia oleh televisi.

Menyangkut korban manusia, pertanyaan reporter pada narasumber biasanya menyangkut firasat, perasaan, kata-kata terakhir, kenangan yang ditinggalkan. Uraian dibumbui kata-kata pemukul sanubari —sendu, isak tangis, histeris, maut, direnggut ajal— disertai gambar yang membuat dukalara menyayat hati. Manakala itu terbaca atau terlihat di media massa, sebenarnya pada saat itu audience tengah berada di dalam pasar, tempat air mata dijadikan komoditas yang diperdagangkan.

Itukah yang dibutuhkan publik? Sebagian pendapat tidak menjawab pertanyaan ini, dan berlindung di belakang kata-kata “itu disukai khalayak.” Apakah audience menuntut atau menerima? Di situ terjadi silat lidah yang menyamaratakan apa yang diperlukan publik dengan apa yang disukai publik. Menjual sensasi demi tiras media cetak ataupun rating siaran televisi, akhirnya membuat publik yang dapat dicekoki dengan apa saja berhadapan dengan media yang semata-mata memakai ukuran bisnis sebagai patokan dalam membawakan peran jurnalisme.

Media adalah institusi sosial sekaligus institusi ekonomi. Ia harus menciptakan profit untuk bertahan hidup, yang —celakanya— sering bertabrakan dengan kepedulian sosial (mendistribusi informasi, mendidik) yang harus ia punyai. Hanya moral dan profesionalisme yang baik yang mungkin membuat kedua-duanya dapat berimbang.

Pedagang sensasi perlu tanya, apakah berita tentang musibah hanya akan disajikan dengan cara membuat publik dirundung sendu. Selera sensasional perlu diperiksa-ulang. Jangan jadikan berita AirAsia QZ8501 dan nasib buruk yang kelak bisa saja terjadi sebagai kisah yang menenggelamkan publik dalam air mata. Membicarakan semua itu dalam keprihatinan yang bernalar, membuka mata khalayak memahami bencana —lewat berbagai angle dan perspektif masalah— dan membuat keadaan buruk dapat ditiadakan atau dihindari, tidak berarti kehilangan empati atau mati-rasa.

Hanya ada dua kesalahan dalam jurnalisme: pengungkapan kenyataan yang tak sesuai dengan fakta, dan pelanggaran ketentuan hukum. Abai atau tidak merasa patut mempertimbangkan kembali apa yang pantas dan apa yang tidak patut, hendaknya tidak menjadi kesalahan yang ketiga.***

Sumber: Prisma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...